Melepas Virgin Full Marathon di Jakarta Marathon 2017

Tahun 2016 lalu aku menyesal memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam Jakarta Marathon (JakMar) karena harga tiketnya yang sangat mahal. Terlepas dari teknis pelaksanaan JakMar 2016 yang dinilai tidak begitu bagus, tapi membayangkan berlari mengelilingi Jakarta di tengah guyuran hujan bersama ratusan pelari lainnya, sepertinya seru. Aku hanya bisa memendam rasa sedikit kecewa ketika membaca cerita keseruan dari kawan-kawan pelari di salah satu grup Whatsap.

Tahun 2017  kemarin, alhamdulillah, aku mendapat tiket Full Marathon (FM) JakMar yang dihadiahkan Retha, salah seorang kawan lari di Couchsurfing Runners. Dan setelah aku mendaftarkan diri di JakMar 2017 di kategori Full Marathon (42,195 km) itu aku tertegun dan nanya ke diri sendiri, “ini beneran mau ikut FM, Cit?”

Full Marathon! Empat puluh dua kilometer! Bukan jarak yang pendek. Berlari menempuh jarak 10 kilometer saja aku membutuhkan waktu kurang lebih 60 menit. Waktu tempuh akan terus bertambah jika jarak tempuh digandakan. Saat itu aku teringat kembali saat menyelesaikan Half Marathon (HM= 21 km) di Borobudur Marathon 2016 lalu. Aku mengalami hitting the wall di 15K, otot paha yang terasa nyeri, pergelangan kedua kaki dan lutut yang kesakitan minta berhenti. Rasanya aku seperti berlari di tempat dan kaki terasa sangat berat untuk diangkat. Pasca HM, aku mengutuk setiap tangga yang harus kulewati. Sakitnya luar biasa!

Masih ada 3 bulan untuk mempersiapkan diri mengikuti FM sejak pendaftaran. Aku mulai mengumpulkan semua saran-saran yang diberikan kawan-kawan lari seperti jenis latihan, nutrisi, dan cara-cara menghindari cedera, dan segala hal yang berhubungan dengan latihan FM ini. Selain program latihan dari kawan lari, aku juga mengumpulkan beberapa program latihan dari youtube.

Latihan lari untuk Jakmar di kota Serang.
Latihan lari untuk Jakmar di kota Serang. Foto oleh SRC.

Di bagian pengumpulan informasi ini, semua masih menyenangkan. Begitu juga ketika latihan di minggu pertama dan kedua dilewati. Minggu ketiga, mulai deh latihan dilakukan dengan terpaksa. Bagaimana tidak? Latihan strenght training setiap senin, hari selasa sampai dengan jumat diisi dengan latihan lari mengumpulkan mileage masing-masing 10k, sabtu strenght training lagi, dan minggu latihan long run yang setiap minggu jaraknya terus bertambah. Minggu pertama 12k, minggu kedua 14k, dan naik terus hingga puncaknya di 30k. Jika aku 100% konsisten berlatih sesuai program latihannya, itu berarti tak ada satu hari pun yang aku lewati tanpa berlatih. Pada bulan pertama, aku merasa seluruh energiku tersedot untuk latihan Jakmar ini. Lelah jiwa dan raga.

Long run 18k bareng komunitas Serang Running Club.
Long run 18k bareng komunitas Serang Running Club. Foto pribadi.

Tak hanya lelah, jenuh juga mulai terasa pada bulan kedua latihan. Perasaan jenuh semakin parah mendekati peak training (latihan puncak), sebelumnya masih kurasa oke karena beberapa kali ada program long run bersama komunitas. Setelah itu, berlatih di minggu-minggu berikutnya semakin menjemukan karena aku melakukannya sendirian.

Tapi yah namanya juga pelari hobi. Latihan-latihan di atas itu ada juga bolong-bolongnya. Pada hari-hari aku bolos latihan ini, perasaan bersalah kerap menghampiri.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, kemudian hari race mulai masuk hitungan hari. Deg-degan banget itu. Rasanya seperti 10 tahun lalu saat mau nembak gebetan tapi bingung cara ngomongnya. Tapi ketika sudah di dekat dia, semua jadi terasa lebih mudah. Begitu juga ketika race tinggal 1 hari lagi, deg-degan hilang. Malam sebelum race, tanpa bantuan pil lelap, aku bisa tidur dengan nyenyak dan terbangun tepat waktu.

Menuju race central Jakmar di Monas.
Menuju race central Jakmar di Monas. Foto pribadi.

Race central Jakmar di Monas sudah dipadati para pelari. Vero, Dicko, dan aku tiba di sana satu jam sebelum pelari FM dilepas yang seharusnya dimulai jam 5. Setelah ke toilet dan say hi ke kawan-kawan Couchsurfing Runners, suara terompet terdengar.

Raung suara terompet sudah berhenti sejak lima menit yang lalu. Sedangkan aku masih berada di tengah kerumunan pelari Half Marathon (HM), berdiri anteng setelah membaca penunjuk waktu di angka 04:50. Masih ada waktu 10 menit lagi untuk pelepasan pelari kategori Full Marathon (FM). Begitu pikirku mengingat jadwal pelepasan FM yang tertera di lembaran race info.

Tapi aku melihat ada banyak orang yang merangsek maju persis di sebelah kiri ku, membelah kerumunan pelari HM. Aku perhatikan warna nomor dada para pelari di sisi kiri dan kanan, kok warnanya beda? Aku tersadar beberapa detik kemudian bahwa raung suara terompet tadi adalah penanda start kategori FM.

Pengabdi Pacer selama beberapa kilometer, pisah, lalu bergabung lagi.
Pengabdi Pacer selama beberapa kilometer, pisah, lalu bergabung lagi. Foto oleh RunGrapher.

Bersama ratusan pelari FM yang lain, aku melangkah tersendat-sendat, bergegas dalam desakan antara peserta FM lainnya yang juga terburu-buru merangsek ke depan untuk segera melangkahi start line.

Canggung rasanya ketika melintasi start setelah flag off berlalu lima menit yang lalu. Dalam hati aku bertanya-tanya, ini beneran FM sudah start yah? Kesan start HM pertama di event besar seperti Jakarta Marathon 2017 ini tak kurasakan dengan euforia yang seharusnya. Dengan perasaan janggal begitu, aku terus saja berlari dan berdoa dalam hati. Kuatur napas dan kulangkahkan kaki dengan hati yang masygul.

Rasa canggung tadi mulai sirna ketika rupa Jakarta tak lagi terlihat samar-samar. Wajah-wajah pelari pun semakin jelas kulihat raut cerianya. Aku masih bisa mendengar senda tawa mereka saat berlari bersama kawan larinya. Ah enaknya berlari dengan kawan-kawan. Tadinya aku berharap bisa berlari mengikuti Coach Dicko sebagai pacer, tapi dia start lebih telat dari aku karena mengantre di toilet. Jadilah aku berlari sendiri dan celingak-celinguk melihat ke depan jika ada kawan dari Couchsurfing Runners yang bisa ditepoki pantatnya.

Di 5 kilometer pertama, aku berjuang kuat mengontrol pace dan emosi agar tak terpengaruh mengikuti para pelari lain yang berlari mendahului. Kalau enggak, pace bisa berantakan dan tenaga pun terkuras habis duluan sebelum tiba di 30k (kilometer 30). Di kilometer awal-awal ini yang biasanya pelari hobi seperti aku rentan sekali terpancing dengan pace pelari lain. Jadi satu-satunya cara agar tak terpancing, aku harus bergabung dalam gerombolan ‘Pengabdi Pacer’.

Pacer adalah pelari yang ditugaskan untuk mengawal pelari untuk berlari sesuai dengan pace(kecepatan lari rata-rata, biasa dihitung per kilometer per jam). Di dalam race, para pacer biasanya ditandai dengan kostum khusus dan balon-balon. Saat latihan selama 3 bulan lalu, pace-ku berkisar antara 6-7 menit/km. Jadi aku harus bergabung ke pacer sub 5 supaya target finish dapat tercapai.

Setiap tim pacer JakMar terdiri dari 3 orang. Mereka memakai kaus biru dan balon-balon yang terlihat kontras di tengah-tengah pelari. Setiap kategori race memiliki beberapa tim pacer yang mengawali pelari untuk finish. Selama 10 kilometer pertama, aku berlari di belakang pacer sub 7 (sub 7 berarti finish dalam 7 jam). Kemudian aku meningkatkan kecepatan dan mempertahankan pace di antara 6.40 dan 6.50 km/jam.

Berlari di tengah lalu lintas Jakarta yang ramai. Photo oleh RunGraphers
Berlari di tengah lalu lintas Jakarta yang ramai. Foto oleh RunGrapher.

Jika di dalam dunia penerbangan ada istilah “critical eleven” (iya, judul film juga), di lari, aku membuat istilah sendiri dengan “critical ten”. 10 kilometer pertama bagiku adalah jarak lari yang menentukan dan banyak tantangan. Mulai dari tantangan menahan emosi agar tak terpancing berlari lebih kencang dari pace sesuai kemampuan dan latihan, menahan emosi karena jalur berlari masih banyak sekali orang dan aku harus fokus juga mencari jalan yang kosong. Juga adaptasi awal tubuh dengan kebiasaan jam lari. Terutama bagi yang terbiasa berlari sore atau malam kemudian beradaptasi dengan race yang selalu dimulai subuh/pagi. Lalu menemukan ritme langkah dan napas. Di fase ini, aku harus benar-benar fokus sama diri sendiri dan gol ‘bayangan’ di depan. Yah sekali-sekali suka memperhatikan juga artis-artis yang kebetulan berpapasan. Hehe…

Biasanya jika sudah melewati 10k pertama, langkah-langkah di kilometer selanjutnya jadi terasa lebih enteng. Napas dengan gerak kaki dan tangan sudah menemukan ritme yang pas. Fase pertama long run sudah dilalui.

Lalu memasuki fase kedua: Fase Endurance & Strength. Mungkin pakar-pakar lari punya fase dan istilah resmi untuk digunakan. Karena aku enggak update, izinkan aku memakai istilah sendiri ini ya. Di fase ini jaraknya 20k setelah melewati 10k pertama. Fase ini adalah fase di mana pelari akan merasakan apakah latihan selama tiga bulan yang lalu itu benar-benar dijalani atau enggak. Dan aku bersyukur banget sudah berlatih untuk JakMar ini. Meski bolong-bolong, paling enggak tetap mengumpulkan mileage lari setiap minggunya. Di sinilah ketahanan dan kekuatan fisik kita aku diuji.

Di jarak 15k, lari memang terasa nyaman karena baru melewati critical ten. Tapi memasuki 20k, pergelangan kaki sudah mulai terasa pegal, sekitar dengkul juga mulai terasa sedikit nyeri. Tapi rasa pegal dan nyeri itu sedikit terobatkan dengan banyaknya water station yang menyediakan minuman isotonik dan air putih. Menuju 30k, tantangan endurance and strenght harus ditambah lagi dengan cuaca yang panas. Untungnya persediaan air putih waktu itu masih banyak di setiap water station, jadi aku membasahi kepala, punggung, dan tangan supaya tak terkena overheating.

Aku nyaris minum setiap melewati water station. Aku khawatir mengalami dehidrasi tapi aku juga kepikiran terjadi overhidrasi yang bahaya keduanya sama saja. Maka tidak semua water station aku ambil untuk diminum tapi untuk menyiram badan yang kepanasan. Fase-fase di atas dan di bawah ini aku bikin sendiri istilahnya sesuai pengalamanku sendiri. Padahal baru FM pertama, sudah sok-sokan bikin istilah dan fase sendiri. Hahahaha… (digampar coach lari).

Anggap sajalah ini kado ulang tahun untuk diri sendiri meski pun telat. Hehe...
Anggap sajalah ini kado ulang tahun untuk diri sendiri meski pun telat. Hehe…

Melewati 30k, aku memasuki fase yang kusebut fase what-am-i-doing-here? Di fase ini, tenaga, semangat, keberanian, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan hati hanya tinggal remah-remahannya. Enggak cuma aku, beberapa pelari juga terdengar menanyakan hal yang sama: what the hell am I doing here??? Ngapain siiih???

Di jalur ini, jarak antar pelari dengan pelari yang lain jarang-jarang dan banyak yang jalan kaki karena saking capeknya. Muka-muka pelari sudah enggak ada yang enak dilihat lagi. Muka-muka letih dan tatapan mata yang tampak memelas. Bagaimana tidak, kami harus berlari di antara kepungan motor, mobil, dan bis Transjakarta. Kudu sabar dengan mobil yang tiba-tiba mau berbelok dan memotong jalan. Kadang jarak antara mobil dengan pelari cuma sejengkal doang. Marshal yang seharusnya sigap mengontrol lalu lintas di persimpangan juga mulai ogah-ogahan menjaga pelari. Bagaimana muka pelari-pelari ini pada enggak kusut coba? Tapi sekusut-kusutnya muka kami, kalau melihat kamera di depan, wajah langsung berubah ceria dan pasang senyum paling manis.

Yang paling bikin senang saat melewati 30k adalah banyak sekali water station komunitas lari yang menyediakan berbagai kebutuhan penting pelari seperti air minum, air kelapa, buah-buahan, jus, teh, sponge yang direndam dalam air dingin, sampai jasa peluk juga ada. Tapi pas aku lewat, enggak ada pula yang bersedia untuk dipeluk. Pffft.

5 kilometer lagi menuju finish adalah bagian terakhir dari fase what-am-i-doing-here ini. Pacer sub 5 yang sudah aku tinggalkan sudah berlari di belakangku dan terus melaju ke depan. Pengikutnya pun cuma tinggal kurang dari 6 orang. Aku sebenarnya sudah enggak sanggup lagi berlari di pace enam koma sekian itu. Tapi kalau aku enggak mengikuti pacer, targetku bisa blong. Dengan sisa-sisa tenaga dan semangat itu, aku berusaha menstabilkan lari dan bergabung lagi menjadi Pengabdi Pacer.

3 kilometer menuju Monas, salah seorang pacer berseru jika kami ingin menamatkan lari di bawah 5 jam, silakan lari mendahului mereka. Saat itu, kedua pergelangan kakiku dan dengkul rasanya mau terbongkar susunannya. Bagian belakang lutut juga sakitnya bukan main. Krim-krim penghilang rasa sakit yang dibalurkan dari lutut sampai ke betis tadi cuma memberi efek instan, dan telapak kaki rasanya seperti terbakar. Oh, jangan tanya teriknya seperti apa di tengah kerumunan warga Jakarta yang memenuhi kawasan Car Free Day minggu pagi itu. Crowded banget!

Memasuki Sarinah, aku bilang ke diri sendiri, ini akan jadi personal best pertamaku untuk FM berapa pun waktu yang aku tempuh untuk finish. Ada sisi hati yang mengatakan enggak masalah kalau nggak sub 5. Tapi sisi hati yang lain mengingatkanku pada masa 3 bulan latihan agar finish sub 5 itu. Tiga bulan latihan hampir setiap hari. Tiap minggu long run yang hampir selalu dilakukan sendiri. Sedih, bro! Dua hari dalam seminggu latihan freeletics yang setiap latihannya bikin aku mual. Belum lagi aku harus menambah porsi nasi selama 3 bulan itu dan merogoh kantong lagi untuk membeli kelapa dan minuman isotonik. Selama 3 bulan aku harus menghindar dari segala jenis olahan cabe. Tiap sore harus pulang cepat dan berkendara sejauh 11 kilometer untuk bisa latihan lari di alun-alun Pandeglang yang lebih minim kendaraan dan pulangnya malam dan kedinginan. Sampai kontrakan, mandi, makan, terus tidur. Selama 3 bulan itu kehidupan sosial dan berumah tangga sudah nggak terurus lagi. Mau enggak capai target, Cit? ENGGAK! AKU HARUS FINISH SUB 5!

Berlari di tengah panas Jakarta. Photo oleh @gapaitinggi.
Berlari di tengah panas Jakarta. Foto oleh @gapaitinggi.

Dengan sisa-sisa tenaga itu, aku mengayunkan kaki lebih cepat namun pendek-pendek untuk mendahului pacer, tatapan mata lurus ke depan, pikiran fokus ke finish line, ke kawan-kawan Couchsurfing Runners yang sudah menanti di sana; kawan-kawan yang sudah memberi semangat, ilmu lari, dan program latihan selama ini.

5 kilometer terakhir itu kurasa aku seperti lari sendirian. Sudah enggak peduli sama siapa di depan, di samping, di belakang. Semakin dekat puncak Monas terlihat, semakin terpompalah semangat ini.

Melihat gerbang finish di depan, leganya bukan main! Gerbang start dan finish yang hampir 5 jam lalu kutinggalkan, kini terpampang jelas. Sorakan-sorakan dari orang-orang yang menunggu di dekat gerbang terdengar samar-samar saat aku mulai merasakan kembali nyeri di kedua kaki. Meski kesakitan, aku malah merasakan seperti nggak bisa berhenti lagi sampai aku melihat wajah-wajah orang yang kukenal. Ada Santi, Vero, dan kawan-kawan CSR lainnya menyambut seusai aku melewati garis finish.

Aaaah…legaaa banget bisa finish strong menyelesaikan full marathon dan plus capai target sub 5. Yeay! Sah sudah menjadi marathoner!

Tawa bahagia setelah finish. Foto oleh Veronica.
Tawa bahagia setelah finish. Foto oleh Veronica.
Sah jadi marathoner!
Sah jadi marathoner! Foto oleh Coach Dicko.
Kawan-kawan CS Runners yang sudah membantu banyak banget selama persiapan Jakmar 2017. Thank you so much, guys. <3
Kawan-kawan CS Runners yang sudah membantu banyak banget selama persiapan Jakmar 2017. Thank you so much, guys. <3

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

78 tanggapan untuk “Melepas Virgin Full Marathon di Jakarta Marathon 2017”

  1. Saya kenal salah satu dari Couchsurfing Runners, yaitu mas Toton. Orangnya ada di foto yang paling atas.
    Hebat lho bang Ocit bisa FM, saya aja blm pernah. Lagipula paling pace saya sekitar pace 8 hahaha

  2. Ini baca tulisannya bikin pengen sambil ngasih semangat, lho! Ayoo.. dikit lagi, dikit lagi, gitu.. hahaha.

    Gila, 42 km bonceng gojek aja pantat bisa kram dan betis kenceng, INI LARI! Hebat kali Bang Ocit ini!

  3. Waaaw keren banget Kak Ocit, 42 km! Duh, ga kebayang deh gimana ngos-ngosannya. Aku cuma pernah ikut fun run 5km dan sekitar setengah perjalanan ga kuat lari, alhasil jalan cepet doang deh 😁

  4. Salut! Lari puluhan kilo itu beneran buat nantang diri sendiri ya bang ocit. Menaklukkan diri sendiri dgn berbagai strategi, rasa sakit & godaan “What the hell am I doing here?”

    Seperti kehidupan… Kadang cobaan terasa begitu berat saat kita udah berusaha terlalu jauh dan bahkan kadang udah hampir finish. Selamat bang ocit buat FM pertamanya!

  5. Best part dari cerita ini adalah ketika kakak Ocit memacu dirinya sendiri mencapai finish. Bacanya bikin mau nangis melihat kesungguhan persiapannya. Satu lagi yang bikin salut, tak hanya piawai bercerita, Kak Ocit juga memperhatikan EBI dalam tulisannya. Keep writing and cheer up

  6. Ishh emang para runner tuh kecebeud… Kadang ku hetan sama kawanku yang cewek bisa setangguh itu klo latihan

    Baru tau ada pacer di tiap sub pace nya.

    Btw bang Ocit, aku kepo, knapa harus menghindari makanan bercabai sblum FM? Ad pengaruhnyakah?

  7. Aku dapet ilmu baru! Dapet program baru Senin-Minggu. Terima kasih, sangat bermanfaat! :) aku paling lama lari 2 jam dan itu ngebosenin. Ini 42 km ahhh kerennn

  8. Ya ampun ikut terharu ngebaca tulisan kaka.. 😢😢
    Salut banget sih ama runner gini.. saya lari 2 kilo aja keknya engap banget ini 42 kilo..
    Nambah pengetahuan juga tentang istilah2 lari..
    Btw kak ocit bisa ajarin gak kak lari dari kenyataan? #eh.. hahah..

    1. Bisa banget kak lari dari kenyataan. Cukup pake sepatu lari, celana dan baju yang bahannya cepat kering dan ringan serta nyaman, terus lari deh keliling lapangan. As simple as that. Wkwkwk…

  9. Wuih. Keren banget! Mirip-mirip fase kalo naik gunung. Penyeseuaian, endurance dan what the hell am I doing here???
    Salut, Kak. Untuk terus berlari dan tidak menyerah.

  10. wihh bang ocit, selain suka bwa mkanan kucing suka lari jga trnyta. Aku lari keliling lapangan sekolah aja mau pingsan rasanya.

    Modalnya lumayan ya, segala harus beli kelapa muda sgala

Tinggalkan Balasan ke Hayati Ayatillah Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.