Dihajar Badai di Tanjung Kedungu

Semenjak musim penghujan pertengahan tahun 2018 lalu dan lokasi kamping favoritku di Gunung Pulosari, Banten, ditutup akibat longsor, aku pun ‘libur’ dari dunia perkampingan. Ditambah pula dengan kepindahanku ke Bali, proses adaptasi kerja dan timpat tinggal baru membuatku harus menahan dulu kerinduan untuk kamping.

Untuk memudahkan proses pindah dari Serang ke Banten, aku terpaksa harus menjual banyak sekali barang-barang seperti buku-buku dan juga ‘rumah portable’-ku yang sudah menemani selama 5 tahun itu. Padahal masih sayang banget sama dia. Tapi hidup yah kekginilah ya. Kita harus rela melepas meski sudah cinta sekalipun. Halah!

Bekas sawah yang berubah menjadi lahan ternak sapi.

Bali punya banyak sekali lokasi berkemah yang bagus banget. Bahkan di beberapa lokasi juga menyediakan glamping seperti di Bukit Asah, Karangasem. Tentu keseruan antara glamping dan kamping mandiri berbeda banget sensasinya. Setelah aku punya tenda lagi, aku mulai membuat daftar dan mencari pantai-pantai yang relatif sepi dan aman untuk kamping.

Dari beberapa daftar yang kubikin, baru mendatangi dua lokasi saja. Tempat pertama berada di Tanjung Kedungu.

Tanjung Kedungu

Tanjung Kedungu ini lokasinya dekat sekali dengan Pura Tanah Lot yang terkenal itu. Ketika pertama kali survey ke sana, aku girang bukan main karena pemandangan dan lokasinya yang cukup bagus. Kontur datarannya serupa perbukitan kecil-kecil bekas persawahan yang berakhir ke bibir laut. Sebuah pantai kecil tersembunyi diapit dua tebing karang. Pantai ini sendiri bernama Pantai Panggungan. Pada salah satu sisi tebing karang, mengalir sebuah sungai kecil mengalirkan air kecoklatan. Pantai pasirnya terasa lembut di telapak kaki.

Menyaksikan sesi pemotretan yang penuh drama.

Aku tiba di situ pada sore hari dan gerimis turun perlahan ketika aku berdiri di Pantai Panggungan. Sepasang calon suami istri sedang dipotret di tengah pantai untuk foto pre-wedding, beberapa pasangan terlihat duduk di atas pasir, asyik berangkulan di bawah ceruk tebing. Hmm, dingin-dingin begini, berangkulan, mencamil kudapan, sempurna banget dah!

Menjaring ikan di perairan dangkal di Pantai Panggungan, Tanah Lot, Bali.

Dari atas bekas pematang sawah, aku bisa melihat dengan bebas ke arah bawah. Ada onggokan karang besar sisa-sisa gempuran ombak. Seorang nelayan sedang berusaha melemparkan jaringnya di perairan dangkal yang airnya lebih tenang. Dua orang anaknya yang masih bocah berlarian di pinggir pantai.

Pantai Panggungan di bawah, Tanjung Kedungu di atas.

Kemudian hujan turun amat lebat dan lama. Untung ceruk di dalam tebing karang itu cukup besar untuk berteduh oleh belasan orang yang terjebak.

Hujan baru berhenti sesaat sebelum matahari tenggelam dari cakrawala. Segera orang-orang berlarian meniti pematang sawah menuju parkiran dan pulang. Aku tetap tinggal, seperti ada yang menahanku untuk jangan beranjak dulu dari sana. Sama seperti setiap kali selesai menonton film-film Marvel dan DC di bioskop, ada after credit-nya.

Sebelum badai mengamuk di Tanjung Kedungu

Rupanya after credit setelah hujan di Tanjung Kedungu adalah gradasi cahaya matahari dari balik awan yang baru saja menuntaskan hujannya. Langit diseliputi warna jingga yang membuat tiupan dingin angin laut terasa hangat di dada.

Aku menikmati ‘kehangatan’ petang itu di atas sebuah bukit, di tengah sebuah dataran yang sedikit miring yang telah berdiri tendaku. Warnanya hijau, senada dengan warna rerumputan dan semak di sekitarnya.

Before sunset.

Semakin dekat matahari ke cakrawala, makin pekat pulalah warna di daratan. Semua menjadi siluet. Hanya langit dan awan saja yang bermandikan kirana beberapa rupa. Biru, ungu, jingga.

After sunset.

Saat itu semesta memamerkan after credit termegahnya kepada seorang anak rantau yang belum genap satu tahun di pulau dewata ini.

Berkemah di tempat terbuka, apalagi di pinggir laut, memang agak seram. Selain karena anginnya yang kuat, memiliki pengalaman mistis kamping di pinggir laut membuat hati kebat-kebit sendiri. Malam itu, setelah menghabisi seporsi Nasi Campur dan menyesap kopi Kintamani di depan tenda, gerimis pun turun yang kemudian disusul angin kencang dan hujan lebat.

Tenda serasa akan diterbangkan oleh badai. Kibar lapisan luar tenda berkelepak sangat keras hingga aku khawatir angin akan merobeknya.

Aku memegangi frame tenda untuk menopang agar tak patah atau tercabut akibat serbuan angin kencang. Hati berkecamuk memikirkan apa yang akan terjadi di gelap malam ini jika hal terburuk terjadi. Tapi badai pasti berlalu. Setelah beberapa jam mendera, angin berhenti bertiup. Ini kesempatanku untuk memasak indomie kemudian menyeduh kopi jika badai tak buru-buru kembali ke Kedungu.

Tiba-tiba ingin jadi anak indie yang menjaring senja dengan secangkir kopi.

Ketika air sedang dipanaskan, rintik-rintik hujan menetes ke dalam panci. Udara dingin laut masih berhembus. Terbayang betapa hangatnya malam ini jika aku mengurung diri di dalam kamar Soka Indah Bungalow tak jauh dari lokasiku berkemah. Berbaring di bawah selimut tebal, menonton acara televisi atau aliran video dari gawai. Besok paginya, sarapan sudah tersedia. Ah, nyamannyaaa… Harusnya liburan akhir pekan yang santai sajalah, pikirku. Tapi ini sudah kepalang tanggung. Kalau mau menginap di hotel di Bali ya booking dulu lah sehari sebelumnya dan enggak seru juga kalau dalam gelap gulita di pinggir tebing dan basah begini malah ngacir ke hotel. Cemen amat ya kan? Entar deh kapan-kapan staycation-nya.

Rencana liburanmu bisa banget diatur lebih mudah dengan Pegi-pegi. Ini adalah sebuah website spesial di mana kamu bisa melakukan pemesanan hotel, pesawat, dan kereta untuk memudahkan liburan kamu. Kamu tinggal browsing di pegipegi.com dan kamu bisa nikmati juga berbagai promo menarik di dalamnya. Setiap pemesanan yang kamu lakukan dapat dibayar dengan banyak opsi seperti transfer atau di swalayan. Untungnya lagi kamu bisa mendapatkan rewards menarik berupa poin yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai potongan harga. Mau perjalananmu mudah dan menyenangkan? Pegipegi aja yuk?

Hotel portable-ku.

Memang paling menyenangkan kamping di lokasi baru. Lebih greget lagi jika di tempat itu hanya aku sendiri. Rasanya lebih tenang, lebih sepi. Aku bisa bebas berkontemplasi. Memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Menikmati dingin malam, tarian kunang-kunang, kelip lampu pesawat,  meteor jatuh dan spiral bimasakti jika beruntung.

Kalau kamu senangnya berkemah sendiri atau harus ada temannya? Atau lebih memilih untuk menginap di hotel atau villa di Bali?

Iklan

Kenapa Harus Kamping di Pantai Tanjung Kelayang dan Penyabong – Belitung

Pantai Tanjung Kelayang memang sudah terkenal banget gara-gara film Laskar Pelangi yang booming beberapa tahun lalu itu. Pantai ini sudah menjadi destinasi wajib para turis. Tak ke pantai ini, rasanya belum sah jika ke Belitung. Tapi jika kamu memang belum pernah ke Belitung

Lanjutkan membaca “Kenapa Harus Kamping di Pantai Tanjung Kelayang dan Penyabong – Belitung”

Setoples Nastar di Pulau Pari

Secangkir kopi arabika dan setoples nastar di Pulau Pari. Nikmat hidup mana lagi yang kaudustakan?

Udara dingin menembus jaket abu-abu yang kukenakan saat melintasi jalanan sepi Serang-Tangerang pada dini hari itu. Sepeda motor kukebut sampai lampu jalan terlihat seperti berkelebat di sisi kiri dan kanan jalan. Jika tak terlihat lubang di depan, maka tak kukurangi lajunya. Bukan karena ingin cepat tiba. Tapi aku khawatir hujan turun dan aku bisa terhambat lama karena harus berteduh.

Perjalanan dari Serang ke Muara Angke ini menghabiskan

Lanjutkan membaca “Setoples Nastar di Pulau Pari”

Mendaki Gunung Cikuray

Aku bukan tipe orang yang gampang mengeluh pada kesulitan. Sekali dua kali pernahlah ya, tapi biasanya langsung tersadarkan kalau mengeluh saja itu enggak cuma membuat mood menjadi lebih buruk. Tapi di hampir setengah perjalanan turun dari puncak Gunung Cikuray beberapa bulan yang lalu, aku tak kuasa menahan diri untuk tak mengeluh pada beratnya perjalanan yang sedang aku hadapi.

Seperti yang aku baca-baca dari catatan pendakian di beberapa blog, mendaki Gunung Cikuray termasuk pendakian yang lumayan berat karena tak ada

Lanjutkan membaca “Mendaki Gunung Cikuray”

Kamping Horor di Pulau Weh

Sejauh ini, traveling bersama keluarga atau dengan salah satu anggota keluarga bagiku cukup menyenangkan. Seru, konyol, dan asyik. Tapi di balik keseruan itu, selalu saja ada drama yang menghantam. Enggak di rumah, di mana pun kalau berdekatan pasti berantam juga akhirnya. Seperti beberapa tahun lalu ketika traveling dengan adikku, Titi, ke Thailand. Di hari terakhir di Bangkok, drama hebat bak sinetron terjadi di hostel. Sudahlah sama-sama keras kepala dan emosian, enggak ada yang mau mengalah. Tapi pada akhirnya tetap saja, yang tua harus mengalah sedikit. SE-DI-KIT.

Berbeda banget jika traveling bareng teman. Jika ada ketidakcocokkan, biasanya timbul perasaan tidak enak dan salah satu dari kita berusaha untuk bersabar dan mengambil jalur damai. Atau kalau sudah bikin kesal, ya diem-dieman. Tapi kalau dengan adik sendiri? Langsung gencat senjata!

Di kali yang lain, saat traveling dengan Hanif, dramanya lain lagi. Aku mengalami kejadian seram yang bikin jatung serasa mau meloncat keluar dari kerongkongan. Bila diibaratkan sebuah film, perjalanan dengan Hanif saat liburan Idul Adha lalu adalah film horor.

Menatap Pulau Weh dari Pantai Alue Naga.
Menatap Pulau Weh dari Pantai Alue Naga.

Aku membawa Hanif jalan-jalan ke Sabang, Pulau Weh sebagai hadiah khitanannya, sekaligus menunaikan janji akan membawanya kamping suatu hari saat libur panjang sekolah. Lanjutkan membaca “Kamping Horor di Pulau Weh”

Camping Horor di Pulau Weh

Sejauh ini, traveling bersama keluarga atau dengan salah satu anggota keluarga bagiku cukup menyenangkan. Seru, konyol, dan asyik. Tapi di balik keseruan itu, selalu saja ada drama yang menghantam. Enggak di rumah, di mana pun kalau berdekatan pasti berantam juga akhirnya. Seperti beberapa tahun lalu ketika traveling dengan adikku, Titi, ke Thailand. Di hari terakhir di Bangkok, drama hebat bak sinetron terjadi di hostel. Sudahlah sama-sama keras kepala dan emosian, enggak ada yang mau mengalah. Tapi pada akhirnya tetap saja, yang tua harus mengalah sedikit. SE-DI-KIT. Lanjutkan membaca “Camping Horor di Pulau Weh”

Pendakian Tak Terduga ke Gunung Kencana – Puncak

Awan berarak dan menggumpal-gumpal di langit, menyisakan sedikit warna biru di beberapa penjurunya. Aku meramalkan sebentar lagi langit akan sepenuhnya tertutup warna putih dan abu-abu dan malam ini akan hujan. Cuaca seperti ini cuaca yang paling tak diharapkan bagi siapa pun yang akan berkemah. Termasuk aku.

Lewat tengah hari pada hari Sabtu tanggal 6 Agustus lalu, aku telah tiba di Telaga Warna, Puncak. Mengusahakan izin untuk berkemah di camping ground yang ternyata tak kudapatkan dari petugasnya, seorang ibu geulis dengan riasan wajah maksimal.

Salah satu lokasi kamping tanggal 6 Agustus lalu tapi gagal. Telaga Warna, Puncak Pass, Bogor, Jawa Barat
Salah satu lokasi kamping tanggal 6 Agustus lalu tapi gagal.

Lanjutkan membaca “Pendakian Tak Terduga ke Gunung Kencana – Puncak”

Camping di Pantai Sakura Pulau Untung Jawa

Pantai Tanjung Pasir pagi itu ramai sekali oleh pengunjung. Lalu lintas ratusan kendaraan yang masuk ke lokasi wisata di Teluk Naga ini didominasi oleh kendaraan beroda dua. Mobil yang kutumpangi maju dengan lambat mengikuti arus di jalan aspal kecil yang rusak itu. Di sisi kiri jalan, puluhan laki-laki  bersahut-sahut menawarkan kapal penyeberangan ke Pulau Untung Jawa.

Sopir Uber menurunkan kami di area parkir dan sialnya tepat di depan petugas penagih parkir yang langsung sigap memalak retribusi sepuluh ribu per orang! Karena kebelet kencing, aku malas cek-cok dan langsung membayar saja. Lalu ngacir mencari toilet sambil dibuntuti calo kapal.

Pantai Tanjung Pasir, Perahu ke Pulau Untung Jawa, Tangerang
Suasana antrean perahu di Pantai Tanjung Pasir.

Karena musim libur lebaran, semua harga jadi naik. Termasuk biaya penyeberangan ke Pulau Untung Jawa yang  Lanjutkan membaca “Camping di Pantai Sakura Pulau Untung Jawa”

Mendaki Gunung Papandayan & Mencari Keromantisan Edelweis

Pada tepi Hutan Mati pada pagi hari. Tebing jurang hutan mati.
Pada tebing jurang Hutan Mati pada pagi hari.

Ide mendaki Gunung Papandayan dengan Vero sudah tercetus sejak lama. Saking lamanya, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali pembicaraan itu bermula. Obrolan itu tenggelam dengan rencana-rencana lain dan bermacam-macam percakapan. Kemudian ia muncul kembali setelah Makcik Zarah mengumumkan open trip pendakian 3 gunung dalam seminggu di salah satu akun sosial medianya. Membaca nama Papandayan dalam daftar terakhir pendakian dan jadwalnya yang tepat dengan libur panjang, aku segera mendaftarkan diri, kemudian diikuti Vero dan Kak Nur.

Beberapa minggu kemudian, kami berkumpul di Lanjutkan membaca “Mendaki Gunung Papandayan & Mencari Keromantisan Edelweis”

Beratapkan Bintang di Tanjung Kelayang

Sebagai salah satu destinasi wisata terpopuler di Belitong, Pantai Tanjung Kelayang patutlah ramai dikunjungi orang. Dampaknya, banyak warung-warung dan penginapan dibangun di kawasan pantai. Karena letaknya yang tak jauh dari pemukiman warga, pada perairan pantai banyak perahu nelayan dan perahu angkutan wisata yang bersauh. Lanjutkan membaca “Beratapkan Bintang di Tanjung Kelayang”

%d blogger menyukai ini: