Medan memiliki banyak tempat wisata sejarah dan budaya, terutama terkait masa lalunya sebagai area perdagangan kosmopolitan. Jika kamu berwisata dengan kereta api Medan, jangan lewatkan kunjungan ke Museum Tjong A Fie. Tempat ini merupakan salah satu peninggalan sejarah terkenal di Medan yang masih terawat, dan menawarkan wawasan Lanjutkan membaca “Menengok Museum Tjong A Fie, Pengusaha Dermawan Asal Tiongkok”
Tag: sumatera utara
Kulineran di Samosir
Jalan-jalan di Danau Toba kemarin itu aku terus-terusan mengulangi kebodohan yang sama. Malas bertanya dan sok tahu. Seperti ketika kesasar mencari Makam Raja Sidabutar pada hari pertama dan kedua, setelah sarapan di sebuah warung Padang, dengan yakin aku membawa motor terus ke arah barat tanpa melihat petunjuk jalan. Sampai akhirnya benar-benar yakin aku sudah terlalu jauh berjalan. Setelah sadar kesasar, biasanya cuma menghibur diri begini: “ah paling di depan ada belokan ke jalan raya”, “nanti belok ke kanan”, “gampang, nanti tanya-tanya orang di warung”. Tapi memang dasarnya malas ya, semua persimpangan dilewati, semua warung/kios dilewati, bukannya berhenti dan bertanya arah. Akhirnya malah capek sendiri. Bikin cepat lapar.
Melihat Danau Toba dari Dekat dan Jauh
Selain digunakan untuk jalur pintas penyeberangan ke Parapat, danau Danau Toba juga dimanfaatkan untuk banana boat, jet ski, dan cebar-cebur lucu di pinggiran. Selebihnya dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari oleh warga seperti mencuci, mandi, dan mencari kepiting, udang, dan ikan. Pemandangan ini baru bisa aku saksikan saat menyeberang ke Parapat dari Tuktuk. Lanjutkan membaca “Melihat Danau Toba dari Dekat dan Jauh”
Melihat Situs Parulubalangan dan Makam Raja Sidabutar
Situs Parulubalangan Kursi Batu Sira
Situs ini adalah salah satu peninggalan tertua dari Raja Siallagan yang letaknya tak jauh dari Tuktuk. Namun situs yang aku kunjungi ini belum begitu terkenal dibandingkan Hatu Siallagan di Ambarita. Karena situsnya sendiri baru dibuka untuk umum sekitar satu tahun yang lalu.
Jika situs Hatu Siallagan nyaris tanpa pohon peneduh, di Kursi Batu Sira ini dinaungi banyak pepohonan. Situs ini berada di tebing dan terdiri dari beberapa undakan. Setiap undakan Lanjutkan membaca “Melihat Situs Parulubalangan dan Makam Raja Sidabutar”
Kesasar di Danau Toba
Gelap, sepi, dan mencekam adalah kesan pertama ketika aku keluar dari mobil dan menapakkan kaki di tanah Dairi, Sumatra Utara. Saat itu hari masih sangat dini. Pukul 3 pagi. Berbagai jenis pikiran buruk melintas di benak yang segera aku tepis. Kutarik ke dua sisi jaket lebih rapat lalu bergegas mengangkat ke dua ranselku dan berjalan ke sisi jalan yang lebih terang.
Mataku awas mencari tempat untuk beristirahat. Sebuah tempat yang kemudian kukenali sebagai warung kopi kudapati setengah terbuka. Menyempil di tengah deretan ruko khas bangunan tahun 90an. Spanduk bertuliskan Siang Malam di depan warung mulai tercerabik karena cuaca. Aku bergegas memasukinya. Seorang pria berumur sekitar 35 tahun duduk di tengah ruangan dengan kepala ditutupi kupluk, menengadah ke atas. Siaran dari sebuah saluran televisi berbayar sedang menyiarkan program alam liar. Sementara anjing-anjing melolong dari kejauhan. Lanjutkan membaca “Kesasar di Danau Toba”
Mendaki Sinabung
Rasa ingin mendaki gunung Sinabung itu sudah lama ada. Sekali pernah gagal. Tapi kali ini Monza Aulia yang punya rencana. Merayakan kelulusan kuliah, katanya. Tapi aku sudah tiba di Medan lebih dulu. Dan menginjakkan kaki di puncak Sinabung lebih dulu. Sebab Monza tak melihat kalender dan tak menyadari kalau tanggal 29 Maret 2013 adalah hari libur nasional. Jadilah aku sendiri yang berangkat dan taheue (bengong) di pinggir Danau Lau Kawar menunggu dua pendaki lagi yang belum pernah kulihat rupanya: Bang Khalil dan Bang Manoek.
Gunung Sinabung yang terletak di dataran tinggi Karo, Sumatera Utara ini memiliki tinggi 2.460 mdpl yang pada kakinya terdapat sebuah danau kecil yang disebut Lau Kawar. Di sinilah para pendaki berkumpul dan bersiap untuk mendaki baik malam atau pagi hari. Untuk menuju Lau Kawar, dibutuhkan waktu kurang lebih 3 jam dari Medan. Estimasi waktu ini tergantung pada ketersediaan angkot yang ngetem di pasar Berastagi. Jadi bisa lebih lama lagi jika angkot belum penuh. Waktu menunggu yang mungkin saja akan lama bisa kamu gunakan berjalan-jalan dulu melihat-lihat boru-boru suasana di dalam pasar.
Angkutan ke Berastagi di Medan berpusat di Jalan Jamin Ginting/Padang Bulan, aku menaiki mini bus Sutra yang berwarna biru jurusan Berastagi-Kabanjahe dan membayar ongkos Rp.15.000. Aku tiba di Berastagi dan diturunkan di depan pasar. Dari sini aku melanjutkan perjalanan dengan angkot bertuliskan Rio berwarna oranye yang sudah dipenuhi dengan inang-inang dengan bakung sugi mencuat dari balik bibir dan juga boru-boru (gadis dalam bahasa Karo) yang tatapannya bikin jantung berdesir-desir. Saking gugupnya, aku sampai menanyakan berkali-kali ke bang sopir jika angkot yang aku naiki ini sudah benar angkot yang jurusan ke Lau Kawar. Ongkosnya kalau tidak lupa Rp.7.000. Memasuki gerbang danau, setiap pengunjung akan membayar retribusi sebesar Rp.4.000,-
Bang Khalil dan Bang Manok tiba sekitar pukul 3 siang. Kami bergabung dengan tim mahasiswa dari Pangkalan Brandan yang mendirikan kemah di pinggir danau. Mereka terdiri dari 14 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Kami bertiga sepakat bergabung dalam rombongan ini yang mendaki pada jam 11 malam nanti, jadi besok subuh kami sudah tiba di puncak sebelum matahari terbit.
Tepat jam 11 malam, sesuai dengan rencana, setelah briefing dengan semua anggota tim, kami bergerak meninggalkan lokasi kemah, berjalan dalam formasi anak bebek-memanjang ke belakang. Kami bertiga masing-masing memanggul ransel dan 2 orang kawan dari tim ini memanggul carrier yang ukurannya lebih tinggi dari kepala pemanggulnya sendiri. Yang satu berisi penuh dengan persediaan air dalam berbotol-botol kemasan air dan yang satu lagi stok makanan dan tenda.
Kami membentuk lingkaran dan berdoa semoga perjalanan nanti dilalui dengan lancar dan aman. Lalu beriringan kami menaiki dakian memasuki ladang tomat, jagung, dan cabe. Tiba-tiba satu-satunya anggota yang perempuan, Kak Neyla, tiba-tiba rebah. Debu dari jalan bertanah kering berterbangan karena langkah panik. Kak Neyla terbaring dengan kepala dipangku. Matanya terpejam namum kelopak mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti menahan sakit. Dia mencoba mengangkat badannya sambil bilang “beraaat…beraaaat” berkali-kali. Panggilan dan ucapan kami seperti tak terdengar olehnya. Kami segera mengangkat dan menurunkannya kembali ke lokasi perkemahan.
Satu jam menunggu Kak Neyla tapi tak kunjung sadar juga. Tapi kami tetap harus naik malam itu. Kak Neyla ditunggui oleh pacarnya dan seorang kawan yang tak jadi ikut dan tidur di sebuah warung di pinggir danau. Dengan sedikit perasaan tak enak, kami melanjutkan perjalanan.
Pada pintu rimba, kami berhenti untuk meletakkan sesajen berupa rokok yang dibakar lalu diselipkan di ranting dan dipancang di tanah. Mereka bilang untuk menghormati penunggu gunung dan untuk keselamatan bersama. Di sini kami kembali berdoa dan diingatkan agar tidak terlalu ria dan jangan sampai ‘kosong’. Jika melihat sesuatu yang ‘aneh-aneh’, kami disarankan untuk diam saja dan tidak menceritakan apa-apa selama perjalanan ini dan nanti. Begitulah, perjalanan kembali dilanjutkan memasuki hutan lebat nan kelam.
Penerangan hanya berasal dari senter. Selebihnya adalah sinar bulan yang menerobos dari rimbun pepohonan dan memantul pada daun-daunnya. Hanya suara serangga malam, suara kawan-kawan dan suara dengus nafas kami yang terdengar. Selebihnya hanya pekat malam dan bayang-bayang pohon yang membentuk bayangan-bayangan dan kelebat aneh. Aku segera mengalihkan pandangan ke depan dan sekali-kali melihat ke belakang.
Dari kelimabelas orang ini, tidak sampai setengahnya yang pernah mendaki gunung. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 4 jam, molor sampai 5 jam. Bagaimana tidak, sepertinya hampir setiap 20 menit kami berhenti untuk beristirahat. Aku yang baru pertama kali mendaki gunung mengaku benar-benar capek luar biasa. Tak terasa lagi udara dingin. Baju sudah basah hingga merembes ke celana. Slayer yang kupakai bahkan harus diperas berkali-kali saking banyaknya keringat selama perjalanan ini.
Entah sudah berapa pos yang sudah kami lewati, aku ingat pada pos terakhir, pepohanan mulai jarang-jarang tapi tetap rapat dengan batang pandan duri dan semak-semak pakis. Jalan setapak dari tanah berganti dengan bebatuan dan akar-akar pakis yang empuk ketika dipijak. Dari sini aku bisa melihat pendar lampu-lampu dari rumah warga di bawah sana. Sepertinya puncak sudah semakin dekat.
Benar saja, setelah merangkak ala Spider Man di tebing-tebing batu selama setengah jam, kami tiba di sebuah dataran kecil. Di depan kami terhampar pemandangan lampu-lampu kota Berastagi. Mendekati jam 6 pagi, gelap malam berangsur pudar berganti ungu, biru dan kemerahan. Matahari perlahan-lahan terbit. Namun awan sedikit enggan mempertunjukkannya pada kami yang mulai kedinginan karena tak banyak bergerak. Kilat menyambar-nyambar dari balik awan yang menutupinya. Dramatis.
Aku memanjat tebing batu menuju puncak tertinggi gunung Sinabung dan berdiri di tengah-tengah rombongan pendaki ABG cewek yang sebagian terkapar di tanah dan sebagian lainnya malah riang berfoto dengan latar matahari terbit.
Tatapanku mengarah ke ujung cakrawala yang tertutup awan bersemburat jingga. Nun di bawah sana, halimun menutupi permukaan bumi. Seperti menjadi batas waktu bagi orang yang sedang tidur lelap di kasur empuknya dengan para pendaki yang sedang menikmati dingin yang menusuk kulit dan cahaya matahari yang dibiaskan awan. Awan tipis bergerak cepat terbawa angin dari lereng gunung menutupi puncak tempat kami berdiri. Udara dingin membuat kering rongga hidung dan kerongkonganku. Aku melilitkan lipatan kain sarung di sekitar leher hingga menutupi hidung agar tetap hangat.
Ketika sedang menyaksikan warna-warna ajaib ketika matahari terbing, tiba-tiba aku merasa tempat ini menjadi sangat ideal untuk merenung. Tapi ketika itu juga aku tidak bisa memikirkan apapun lagi selain takjub memandang keindahan alam yang begitu sempurna di depan mata.
Setelah hari terang, aku mendaki satu bukit kecil di dekat kawah, dari atas sana aku bisa melihat asap seperti gelegak air panas berbau belerang membubung dari balik bukit berbatu-batu. Begitu juga puncak Sinabung tempat aku berdiri tadi dan orang-orangnya yang terlihat begitu kecil, seperti aku melihat diri sendiri di atas sana sedang menyaksikan kabut menutupi tanah Karo yang amat subur. Ketika di bawah sana, rasanya aku bisa menggenggam dunia, tapi di atas sini, aku menyadari betapa kesombonganku selama ini cuma sampah, bukan apa-apa. Semakin lama aku melihat ke bawah, rasanya aku semakin kecil, menjadi kerdil ketika matahari mulai bersinar garang. Ah, sudah waktunya pulang.
Rekaman singkat saat di puncak Sinabung:
Beberapa foto diambil saat perjalanan turun dari puncak.
Taheue adalah bahasa Aceh yang berarti bengong.
Boru-boru adalah bahasa Batak yang berarti gadis. Bahasa Karo-nya adalah Diberu. Sedangkan Inang-inang dalam bahasa Batak berarti ibu-ibu, bahasa Karo-nya adalah Nande-nande.
Menikmati Kuliner India di Medan
Sebelumnya aku belum pernah tahu kalau ada restoran India di Medan. Iya, sungguh terlalu baru tahu setelah membaca tulisan Kak Noni yang berjudul Dikecewakan Bollywood, aku merasa rugi sekali sudah beberapa kali ke Medan tapi baru tahu ada restoran ini di dekat Sun Plaza. Bukannya illfeel tapi malah penasaran,pelayanannya yang payah yang diceritakan Kak Noni di blognya tidak mengurangi rasa penasaranku untuk mencoba makan di restoran yang menurutku lebih tepat disebut dengan rumah makan ini.
Restoran ini bernama Bollywood Food Center yang beralamat di Jalan Muara Takus. Letaknya persis di belakang mal Sun Plaza. Jika dari areal parkir belakang mal, jalan kaki saja 10 meter lalu belok ke kiri, lihat papan berwarna merah dan bertuliskan Bollywood Food Center.
Sepertinya rumah makan ini berawal dari usaha katering rumah tangga yang dikelola seorang ibu yang saat aku memesan makanan terlihat terlalu sibuk untuk melayani tamu yang datang. Setelah meletakkan daftar menu, si ibu cepat-cepat pergi ke dapur. Tinggallah aku yang bengong membaca daftar makanan yang sama sekali asing. Yang kuingat hanya Thali yang dulu pernah aku makan sewaktu di Selangor, Malaysia. Jadilah aku memesan Thali Non Vegetarian yang seharga Rp.35.000,-.
Seperti yang terjadi juga pada Kak Noni, aku pun ditanyai berkali-kali oleh si ibu apakah aku bisa makan makanan India. Anak perempuannya tiba-tiba keluar dari dapur dan bertanya: pandai darimana bisa makan makanan India, dek? Aku hanya menjawab dengan cengar-cengir saja.
Sambil menunggu makanan pesanan dimasak, aku berpikir, mungkin ibu ini tidak suka orang-orang yang menyisakan makanan dan dia harus membuangnya. Makanya si ibu sampai berkali-kali meyakinkan agar tidak ada makanan yang mubazir nantinya. Meskipun toh nanti kita yang bayar, makanan sisa tetap saja makanan sisa yang terbuang sia-sia. Aku sendiri pun tidak suka menyisakan makanan dan berharap semoga Thali-nya enak! :D
Pesananku datang. Sebuah piring aluminium seperti piring-piring di restoran India pada umumnya tiba. Dua lembar roti, kari ayam, terong tumbuk, semacam sambal berwarna hijau di tengah, dan bubur kacang hitam terhidang di hadapanku. Hmmm…kelihatannya enak!
Dan, memang enak! aku suka kari ayam dan terong tumbuknya, sayangnya rasa kari dan makanan yang lainnya agak kurang nendang, seperti takaran bumbunya dikurangi agar tidak terlalu tajam. Mungkin agar sesuai dengan lidah orang Indonesia? Tapi rasa satu set Thali ini tetap nikmat. Si ibu (aku tidak sempat menanyakan namanya karena beliau terlalu sibuk) malah menyodorkan dua lembar roti lagi yang masih hangat. Nyam!
__________________
Tulisan ini juga dimuat di Jajandimana’s Reader Issue di blog Jajandimana.
Kamu juga bisa menyumbangkan tulisanmu dan dimuat pada blog tersebut. Silahkan baca ketentuannya di sini: Undangan Menulis di Jajandimana’s Reader Issue.
Info lebih lanjut hubungi :
Email : jajandimana@gmail.com
WeChat ID : J-rule
Pesona Alam Tersembunyi di Langkat
Pesona alam di Indonesia sepertinya masih begitu banyak yang tersembunyi dan belum terjamah tangan dan kaki manusia. Letaknya nun jauh di dalam pelosok perkampungan yang untuk ke sananya saja mungkin harus melewati ladang dan rimba, menuruni tebing dan tangga yang curam dan berjalan melawan arus sungai.
Lau Balis adalah salah satu pesona alam yang tersembunyi itu. Letaknya di Desa Rumah Galo, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Untuk menuju Desa Rumah Galo ini harus ditempuh selama lebih kurang 3 jam menaiki sepeda motor. Jika dari kota Medan akan melewati kota Binjai lalu berbelok ke kiri dari samping Binjai Supermall. Perjalanan akan terus menanjak selama lebih kurang 1 jam. Lanjutkan membaca “Pesona Alam Tersembunyi di Langkat”
Sipiso-piso, Destinasi Wisata di Tanah Karo
Butiran air hujan tiba-tiba jatuh besar-besar ketika kami sedang self-picking buah stroberi di salah satu kebun di pinggir jalan dekat Taman Alam Lumbini. Aku, Aiko, Kemal, Erna dan Riza berlari di antara tanaman stroberi ke pondok untuk berteduh dan sekalian menimbang dan membayar buah yang kami petik. Hujan baru berhenti 10 menit kemudian. Kami melanjutkan perjalanan menuju Simpang Tongkoh dan segera menemukan angkot yang akan membawa kami ke Merek.
Perjalanan dari Tongkoh ke Merek memakan waktu sekitar setengah jam dengan ongkos Rp.5.000. Aku yang berasal dari Aceh merasa tarif angkot di sini tergolong murah. Ada beberapa hal yang aku kagumi menyangkut transportasi di sini. Jika di Aceh dengan jarak sejauh antara Tongkoh-Merek tarifnya berkisar antara Rp.10.000-Rp.15.000. Juga ketersediaan angkutan umum ke banyak daerah sangat membantu para pejalan seperti kami untuk mendapatkan transportasi yang murah dan juga menyenangkan. Lanjutkan membaca “Sipiso-piso, Destinasi Wisata di Tanah Karo”