Sebelumnya aku mau cerita dulu tentang enaknya warga Desa Seuleukat di Bakongan. Sebuah kampung tempat kami melewati dua malam yang penuh damai. Kampung dengan keasriannya, gunung yang hijau, suara siamang bersahut-sahutan pada pagi hari, udara segar yang selalu tersedia.
Alhamdulillah, hutan di daerah ini masih alami. Tidak begitu rusak oleh penebang-penebang liar. Buktinya, siamang masih terus bersuara setiap pagi. Lagi, air yang tak pernah berhenti mengalir. Sebuah mata air yang tak pernah kering terus memasok kebutuhan air bersih warga. Mereka tak perlu memompa air. Jadi sekalipun listrik padam, mereka tetap bisa mandi dengan air yang sejuk dan bersih. Aku paling senang mandi di sini. Airnya dingin dan kalau selesai mandi, badan betul-betul terasa sangat segar.
Selesai shalat subuh, aku dan Iwan berjalan-jalan sebentar. Kami melewati sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir sungai yang berbatu-batu. Lalu kolam-kolam ikan yang permukaannya dihiasi teratai. Di pinggir jalan beraspal, terhampar buah pinang yang sedang dijemur. Dalam perjalanan kembali ke rumah aku menyempatkan diri melihat kolam ikan mas di depan kompleks SD.

Foto di atas adalah gunung Kapur. Jalannya yang mendaki tinggi dan sangat ekstrim sering menjadi momok bagi para sopir angkutan yang berangkat dari arah Subulusalam. Banyak yang mengalami kecelakaan di sini. Pak Guru bilang, kalo ada pengendara motor yang jatuh disitu, kecil sekali kemungkinannya selamat atau hidup. Uniknya, warga disekitar situ malah sudah terbiasa dengan keadaan jalan yang sangat berbahaya itu. Malah ada yang berani membonceng dua orang di belakang motor.
Sekitar jam sembilan, kami melaju dengan Suzuki Arashi menuju Tapaktuan. Kami berhenti sebentar di Puncak Panorama Hatta dan mengambil beberapa foto.

Sampai di Tapaktuan, satu-satunya tempat yang paling ingin aku datangi cuma kolam yang di Lhok Bengkuang itu. Kami pun ke sana dan berenang sepuasnya. Sejam kemudian kami jalan lagi dan singgah di Meukek. Kampungnya Iwan.
Di rumah Iwan, lagi-lagi aku dijamu dengan cara yang sangat khas. Aku jadi malu sendiri karena merasa hal ini terlalu berlebihan. Tapi begitulah cara orang-orang di kampung menghargai tamu mereka. Sunggu budaya, adat dan tradisi Aceh masih terjaga dengan baik di sini.
Jamuan spesial itu terjadi ketika makan siang, mereka sudah menyiapkan nasi beserta lauk dan sayurnya di atas sebuah talam besar. Biasanya jamuan makan siang seperti ini cuma untuk tamu-tamu yang datang dari jauh dan saudara dekat atau orang yang dianggap istimewa/penting.
Makanannya sederhana saja tapi rasanya benar-benar enak dan nikmat! Cuma gulai ikan, sayur daun kates (pepaya) yang sudah tidak begitu pahit lagi. Ada sambal terong, ikan goreng balado dan yang paling istimewa itu adalah sambal kelapa. Itu yang piringnya diantara gulai ikan dan ikan goreng balado. Cobalah kawan rasakan sedikit, pedas, asin dan segar kelapanya benar-benar menyusup sampai ke dalam lidah dan ingin tambah lagi dan lagi. Kuliner asli Aceh ini hanya dapat kita temukan di kampung-kampung seperti di Meukek ini.