Aku bukan tipe orang yang gampang mengeluh pada kesulitan. Sekali dua kali pernahlah ya, tapi biasanya langsung tersadarkan kalau mengeluh saja itu enggak cuma membuat mood menjadi lebih buruk. Tapi di hampir setengah perjalanan turun dari puncak Gunung Cikuray beberapa bulan yang lalu, aku tak kuasa menahan diri untuk tak mengeluh pada beratnya perjalanan yang sedang aku hadapi.
Seperti yang aku baca-baca dari catatan pendakian di beberapa blog, mendaki Gunung Cikuray termasuk pendakian yang lumayan berat karena tak ada
Awan berarak dan menggumpal-gumpal di langit, menyisakan sedikit warna biru di beberapa penjurunya. Aku meramalkan sebentar lagi langit akan sepenuhnya tertutup warna putih dan abu-abu dan malam ini akan hujan. Cuaca seperti ini cuaca yang paling tak diharapkan bagi siapa pun yang akan berkemah. Termasuk aku.
Lewat tengah hari pada hari Sabtu tanggal 6 Agustus lalu, aku telah tiba di Telaga Warna, Puncak. Mengusahakan izin untuk berkemah di camping ground yang ternyata tak kudapatkan dari petugasnya, seorang ibu geulis dengan riasan wajah maksimal.
Salah satu lokasi kamping tanggal 6 Agustus lalu tapi gagal.
Ide mendaki Gunung Papandayan dengan Vero sudah tercetus sejak lama. Saking lamanya, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali pembicaraan itu bermula. Obrolan itu tenggelam dengan rencana-rencana lain dan bermacam-macam percakapan. Kemudian ia muncul kembali setelah Makcik Zarah mengumumkan open trip pendakian 3 gunung dalam seminggu di salah satu akun sosial medianya. Membaca nama Papandayan dalam daftar terakhir pendakian dan jadwalnya yang tepat dengan libur panjang, aku segera mendaftarkan diri, kemudian diikuti Vero dan Kak Nur.
Liburan ke Puncak saat akhir pekan? Ide yang kurang bagus memang. Tapi bagi perantau macam aku yang mulai berkarat di Tangerang, alternatif liburan ke Puncak patut dicoba. You’ll never know until you try, ya kan?
Sudah sering aku dengar kalau perjalanan ke Puncak pada akhir pekan itu pasti macet parah. Tapi ketika berangkat dari Stasiun Bogor ke Puncak masih mending CUMA dua jam. Tapi ketika pulang, seperti Kata Bang Badai, pada sore minggu bisa berjam-jam. Ho oh banget! Tapi ya demi mengikis karat-karat di jiwa ini, kukuatkan niat menyambangi Telaga Warna di hari Minggu tanggal 13 Maret lalu.
Puncak, atau sering juga disebut dengan nama Puncak Pass, sejatinya adalah jalan perlintasan antara Kota Bogor dan Bandung. Melewati lereng Gunung Gede-Pangrango, Puncak adalah tujuan wisata yang sangat terkenal di Jawa Barat. Letaknya yang relatif dekat dengan Jakarta membuat Puncak menjadi tujuan wisata banyak warga Jakarta yang ingin melepas penatnya kesibukan dan panasnya udara ibu kota, di masa-masa akhir pekan atau liburan panjang.
Kelokan Puncak Pass, dengan Masjid At-Ta’awun di tengahnya.
Udara segar pegunungan dan hijaunya pemandangan kebun teh memang menjadi pemikat utama para pelancong yang datang ke Puncak. Seringkali, orang-orang akan pergi ke Puncak di sore hari selepas bekerja di kantor, rela bermacet-macet ria di sepanjang jalan tol Jagorawi – Ciawi hingga ke Puncak agar dapat menikmati pemandangan malam dari Puncak. Menyaksikan kelap-kelip lampu kota di bawah sana dari pelataran Masjid At-Ta’awun atau pelataran Restoran Rindu Alam, sungguh menyegarkan mata dan pikiran yang lelah. Jagung bakar, mie rebus dan teh panas atau secangkir bandrek siap menemani kamu melewatkan malam di Puncak.
Puncak, atau sering juga disebut dengan nama Puncak Pass, sejatinya adalah jalan perlintasan antara Kota Bogor dan Bandung. Melewati lereng Gunung Gede-Pangrango, Puncak adalah tujuan wisata yang sangat terkenal di Jawa Barat. Letaknya yang relatif dekat dengan Jakarta membuat Puncak menjadi tujuan wisata banyak warga Jakarta yang ingin melepas penatnya kesibukan dan panasnya udara ibu kota, di masa-masa akhir pekan atau liburan panjang.
Kelokan Puncak Pass, dengan Masjid At-Ta’awun di tengahnya.
Udara segar pegunungan dan hijaunya pemandangan kebun teh memang menjadi pemikat utama para pelancong yang datang ke Puncak. Seringkali, orang-orang akan pergi ke Puncak di sore hari selepas bekerja di kantor, rela bermacet-macet ria di sepanjang jalan tol Jagorawi – Ciawi hingga ke Puncak agar dapat menikmati pemandangan malam dari Puncak. Menyaksikan kelap-kelip lampu kota di bawah sana dari pelataran Masjid At-Ta’awun atau pelataran Restoran Rindu Alam, sungguh menyegarkan mata dan pikiran yang lelah. Jagung bakar, mie rebus dan teh panas atau secangkir bandrek siap menemani kamu melewatkan malam di Puncak.
Meski badan terasa remuk setelah hiking ke air terjun Lau Balis kemarin, rasanya bangun pagi di hari jum’at itu sangat menyiksa, apalagi ketika harus berhadapan dengan air dingin di kota Medan ini. Dengan setengah memaksakan diri aku hanya menyikat gigi dan mencuci muka lalu buru-buru diantar ke bandara Polonia oleh Ijah, seorang kawan dari Backpacker Medan.
Pukul 10. 45 aku mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Yang meski sederhana tapi bersih dan nyaman. Cuma aku bingung harus mengambil jalan mana untuk keluar dari kompleks bandara ini. Maklum, jarang-jarang masuk-keluar bandara. Masih udik. Untungnya ada dua orang kawan yang ternyata sudah menunggu dan kami berangkat ke Lanjutkan membaca “[Trip Bandung] Bermain Angklung”