Sejauh ini, traveling bersama keluarga atau dengan salah satu anggota keluarga bagiku cukup menyenangkan. Seru, konyol, dan asyik. Tapi di balik keseruan itu, selalu saja ada drama yang menghantam. Enggak di rumah, di mana pun kalau berdekatan pasti berantam juga akhirnya. Seperti beberapa tahun lalu ketika traveling dengan adikku, Titi, ke Thailand. Di hari terakhir di Bangkok, drama hebat bak sinetron terjadi di hostel. Sudahlah sama-sama keras kepala dan emosian, enggak ada yang mau mengalah. Tapi pada akhirnya tetap saja, yang tua harus mengalah sedikit. SE-DI-KIT.
Berbeda banget jika traveling bareng teman. Jika ada ketidakcocokkan, biasanya timbul perasaan tidak enak dan salah satu dari kita berusaha untuk bersabar dan mengambil jalur damai. Atau kalau sudah bikin kesal, ya diem-dieman. Tapi kalau dengan adik sendiri? Langsung gencat senjata!
Di kali yang lain, saat traveling dengan Hanif, dramanya lain lagi. Aku mengalami kejadian seram yang bikin jatung serasa mau meloncat keluar dari kerongkongan. Bila diibaratkan sebuah film, perjalanan dengan Hanif saat liburan Idul Adha lalu adalah film horor.
Menatap Pulau Weh dari Pantai Alue Naga.
Aku membawa Hanif jalan-jalan ke Sabang, Pulau Weh sebagai hadiah khitanannya, sekaligus menunaikan janji akan membawanya kamping suatu hari saat libur panjang sekolah. Lanjutkan membaca “Kamping Horor di Pulau Weh”
Sejauh ini, traveling bersama keluarga atau dengan salah satu anggota keluarga bagiku cukup menyenangkan. Seru, konyol, dan asyik. Tapi di balik keseruan itu, selalu saja ada drama yang menghantam. Enggak di rumah, di mana pun kalau berdekatan pasti berantam juga akhirnya. Seperti beberapa tahun lalu ketika traveling dengan adikku, Titi, ke Thailand. Di hari terakhir di Bangkok, drama hebat bak sinetron terjadi di hostel. Sudahlah sama-sama keras kepala dan emosian, enggak ada yang mau mengalah. Tapi pada akhirnya tetap saja, yang tua harus mengalah sedikit. SE-DI-KIT. Lanjutkan membaca “Camping Horor di Pulau Weh”
Hari keduaku di Sabang tanggal 28 Mei lalu, Mus mengantarku ke Danau Aneuk Laot. Lokasi camping berada di tempat pemancingan milik Bang Fatwa yang pernah aku ceritakan sebelumnya di SINI. Kami tiba sudah agak sore. Tampak ada tiga orang sedang memancing di atas dermaga yang ternyata adalah guru Mus di SMA. Lima ekor ikan nila sebesar telapak tangan berhasil dipancing dari danau.
Selain tempat memancing, danau juga dimanfaatkan untuk berbagai hal. Beberapa kegiatan kurekam dalam beberapa foto di bawah ini:
Sebuah anjungan kapal kayu besar terlihat menjulang tinggi dari balik pagar beton di pinggir jalan Kota Bawah, Sabang. Dinding luar kapal yang mengelupas dan terlihat lapuk menarik perhatianku. Kuparkirkan motor di depan pintu pagar dan bergegas masuk ke areal docking. Kapal kayu itu sepenuhnya berada di atas rel besi yang ditopang supaya tidak terbalik. Cat dan oli berceceran dimana-mana. Bercampur air laut sehingga mengeluarkan aroma yang khas. Sebagian pelapis dinding lambung kapal sudah mengelupas dan sebagian lainnya sudah dilumuri oli dan ditempeli seng. Dua tangga besi disambungkan sebagai akses pekerja naik ke atas kapal. Tapi tak tampak seorang pun yang bekerja. Hanya beberapa alat berat tergeletak di samping kapal, berlumur oli.
Jalan-jalan ke Sabang bermula dari docking kapal ini. Perjalananku kemudian dipandu oleh Musrizal, seorang blogger Sabang dan calon mahasiswa Geofisika yang bersedia mengantarkanku ke beberapa tempat berkemah di pesisir Pulau Weh. Sambil menunggu Mus datang, aku menemui Pak Saifullah yang sedang duduk santai di atas tumpukan batangan besi sambil menghisap rokok kreteknya. Sebuah cangkir kopi yang tinggal tahinya dibiarkan dikerumuni semut di samping kanannya. Pak Saiful inilah mandor yang mengurusi kapal yang sedang docking itu. Beliau berusia empat puluh delapan tahun. Laki-laki paruh baya asal Langsa ini sudah menggeluti dunia pelayaran selama puluhan tahun. Beliau mulai melaut sejak umur empat belas, akunya. Pun begitu, tak terlihat kesan rapuh dan lemah dari wajahnya. Sambil berbincang, mata coklatnya terus menatap kapal di depan kami. Seolah sedang menatap kekasih yang sedang tertidur pulas.
Cerita terus mengalir. Dari perpolitikan hingga ke perompak. Ternyata perompak yang sering dihadapi para pelaut atau kapal-kapal barang itu tak hanya ada di perairan Thailand dan Laut Jawa saja. Aceh pun punya perompak. Timbul rasa kagum, meski bukan hal yang bisa dibanggakan sebenarnya. Tapi mengetahui kenyataan kalau orang daerah ‘timur-utara’ sana selain keras di darat, keras di laut juga rupanya. Ah, bodohnya aku. Bukankah para leluhur Aceh sejak dulu memang ahli berperang di berbagai medan? Mungkin sekarang mereka tidak berperang untuk memperjuangkan kedaulatan kerajaan seperti dulu, tapi keberanian itu sepertinya belum pudar. Jika perompak sudah merapat di kapal, beliau bercerita, tak ada yang dapat diperbuat lagi selain mengabulkan apa-apa yang mereka inginkan.
Beliau juga bercerita tentang anak gadisnya (ehem) yang sedang kuliah dan anak laki-lakinya yang sudah bekerja di perusahaannya sendiri. Juga tentang docking yang sedang dikerjakan bersama beberapa anak buah yang dia komandoi. Normalnya, docking selesai dalam satu bulan. Docking sendiri dijadwalkan setiap satu tahun sekali. Sayangnya, tempat docking di Sabang ini adalah satu-satunya di Aceh dan itu pun milik swasta. Beliau menaruh harapan bila suatu saat pemerintah dapat membangun setidaknya satu unit tempat docking di daerah lain untuk mempermudah kapal-kapal di kabupaten lain untuk docking. Semoga pihak-pihak terkait segera mengetahui kebutuhan para pelaut seperti Pak Saiful ini. Amin.
Tepat pukul dua, Mus datang dengan senyum mengembang. Aku berpamitan ke Pak Saiful dan menyambut Mus di pintu gerbang. Tak banyak basa-basi, kami memacu motor menuju ke Benteng Jepang. Perjalanan dari kota bawah ke Anoi Itam memakan waktu sekitar satu jam dengan sepeda motor melewati pantai-pantai berbatu dan berpasir putih. Beberapa spot pantai sudah dipadati dengan resort-resort dan bungalow. Meski banyak bangunan baru, tapi pohon-pohon tak lantas ditebas habis. Aku masih melihat banyak pohon memayungi pondok-pondok di kawasan Sumur Tiga sehingga suasana pantai dan jalan tetap asri dan sejuk.
Mus mengaso sejenak di pantai Pasir Putih ketika mengantar backpacker cilet-cilet keliling Sabang.
Jalan aspal lumayan mulus saling menghubungi dua kecamatan bahkan hampir setiap gampong di sepanjang pesisir barat pulau Weh. Jika salah belok, kamu bisa-bisa tiba di sisi lain pulau. Tapi tak ada ruginya jika ingin melihat-lihat suasana kampung yang masih asri di Pulau Weh. Seperti Gampong Batee Shok yang tanpa sengaja kulewati ketika mencari jalan menuju sumber air panas di Jaboi. Parit besar di pinggir jalan dialiri air sungai yang jernih dengan serbuk-serbuk kuning menyelimuti akar-akar pohon dan semak, anak-anak bermain di pekarangan, ibu-ibu sibuk mengangkut pinang dan cengkeh yang lalu dijemur di pekarangan dan tepi jalan. Kadang-kadang aku harus memelankan laju motor karena ada kerbau, kambing, atau ayam yang melintas di tengah jalan.
Benteng Jepang
Menurut informasi dari Mus, Benteng Jepang adalah kompleks benteng terbesar yang ada di Pulau Weh. Ada beberapa bangunan pos yang saling terhubung yang jaraknya berdekatan. Setidaknya ada empat pos yang tampak. Satu berdiri persis di pinggir tebing karang, satu yang paling besar di atas bukit dan dua lagi di jalan masuk. Masing-masing pos saling terhubung lewat lorong-lorong bawah tanah. Katanya, lorong-lorong itu memanjang hingga ke pusat kota Sabang yang terhubung di beberapa gedung peninggalan Jepang yang sekarang menjadi kantor kepemerintahan. Tapi pintu masuk semua lorong itu sudah ditutupi dengan beton. Pasti seru kali ya, kalau dibikin wisata bawah tanah dengan menyusuri beberapa lorong yang nantinya perjalanan berakhir di Benteng Jepang ini. Tapi pemkot lebih memilih untuk menutup akses bungker demi kepentingan keamanan dan keselamatan.
Awalnya aku berencana mendirikan tenda di lokasi benteng. Karena tak ada sumber air tawar di sekitarnya, aku memilih untuk bermalam di Balik Bukit saja. Balik Bukit adalah nama kawasan yang memang berada di balik bukit yang dapat diakses lewat Iboih atau Jaboi. Aku tiba di lokasi saat magrib dan mendirikan kemah dalam gelap di samping pagar tembok setinggi dua meter yang mengelilingi sebuah bangunan tua peninggalan depo PAM (Perusahaan Air Minum). Sebuah sumur sedalam tak lebih dari dua meter berada di sudut di dekat pintu pagar. Meski letaknya hanya sepuluh meter dari pantai, airnya sangat jernih dan rasanya tawar.
Lampu-lampu resort yang letaknya persis di jalan masuk ke lokasiku berkemah mulai dinyalakan. Tapi cahayanya tertahan oleh pagar dinding bekas depo PAM. Selama sejam pertama, mataku harus beradaptasi dalam gelap. Gempuran ombak di karang-karang dan suara serangga membuat suasana malam itu terasa sedikit mistis. Ditambah lagi ternyata ada sumur lain di samping pohon di dekat tenda, sempat membuat otakku memikirkan yang aneh-aneh. Tapi sejam kemudian, aku dapat mengontrol rasa takutku lalu berbaring di atas puing tembok bekas penahan ombak. Menatap gemintang di langit yang berkelap-kelip ditutupi awan.
Sabang menawarkan destinasi wisata alam yang lumayan komplit. Selain taman bawah laut dan keindahan pantainya yang memang sudah dikenal di mana-mana itu, Sabang juga memiliki Air Terjun Pria Laot, Gunung Api dan sumber air hangat di Jaboi, Danau Aneuk Laot, dan hutan yang masih cukup lebat. Bagi pencinta kupu-kupu, kamu akan menemukan banyak sekali jenis kupu-kupu di pinggiran hutannya.
Seekor Graphium Agamemnon sedang hinggap pada sehelai daun. Kupu-kupu tropis ini adalah objek penelitian Agus Adhiatsyah di Sabang. Foto-fotonya yang lain bisa kamu lihat di http://superbiologi.blogspot.com
Keunikan wisata kuliner di Kota Sabang pun bukan cilet-cilet. Mie Jalak dan Mie Sedap adalah dua tempat makan yang menyajikan mie kocok dengan rasa kaldu yang unik. Sate guritanya pun tak kalah memanjakan lidah. Meski porsinya sedikit dan kecil-kecil, tapi lontong dan sambal kacangnya lumayan membuat kenyang. Apalagi makannya di sore hari sambil menikmati matahari tenggelam, perut pun segera tenang.
Danau Aneuk Laot
Setelah dipilih-pilih antara pantai lagi atau di dekat air terjun, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di pinggir danau. Sayangnya Mus tidak bisa ikut menemani meski rumahnya tak jauh dari situ. Tapi sebagai ganti, seorang jurnalis muda dari Banda Aceh meminta ikut, Makmur Dimila. Lokasi berkemah kali ini berada di areal tambak ikan milik Bang Fatwa. Sebuah pondok yang berfungsi sebagai meunasah kecil dibangun di pinggir danau. Di belakangnya, sebuah dermaga kecil apung menjadi tempat memancing warga sekitar. Beberapa buah sampan bersandar mengelilingi dermaga.
Camping selalu menjadi lebih menarik jika langit bersih dari awan, cahaya bulan, dan lampu kota. Malam lebih indah jika kita benar-benar dalam kegelapan total. Hanya samar pepohonan dan milyaran bintang di angkasa. Kadang, jika suhu udara tak terlalu dingin, milyaran bintang itu yang menjadi atap sampai subuh menjelang. Apalagi jika berkemah ketika milkyway berada di garis lintang yang tepat. Tak terperikan bagaimana ketakjubanku ketika menyaksikannya sambil berbaring. Tapi sayangnya malam itu milkyway baru tampak selepas tengah malam. Hanya beberapa gugusan rasi bintang saja yang berpendar di antara arakan awan. Semakin malam, gugusan bintang semakin condong ke timur lalu hilang dibalik awan tebal. Belum tiba tengah malam, aku dan Makmur sudah meringkuk di dalam tenda, tidur lelap hingga subuh.
Traveling cilet-ciletku di Sabang berakhir seiring menjauhnya KMP Papuyu dari daratan dan mengantarkanku kembali ke Banda Aceh. Ada sedikit rasa sedih ketika melihat Weh dari kejauhan. Beberapa hari lagi, tak akan kulihat lagi sosok pulau ini dari ujung Banda Aceh seperti biasanya. Seperti ketika berkemah di Krueng Raya misalnya, Pulau Weh seperti punya magnet yang selalu menarik tatapanku untuk memandanginya lama-lama. Membayangkan keindahan bawah lautnya, rencana belajar diving, jogging di hutan bakau Iboih, dan rencana berenang ke Pulau Rubiah dari Iboih. Tapi rencana-rencana itu sepertinya harus disimpan dalam-dalam dulu.
Ah…Sabang, Mus, dan Makmur, sampai ketemu lagi. Bakalan rindu kali aku sama kalian nanti. :)
Pulau Weh itu seperti magnet. Setiap kali namanya terlintas di pikiranku, selalu timbul rasa tertarik ingin kembali ke sana. Begitu juga setiap kali melihat pulau ini dari kejauhan di tepi Pantai Ulee Lhee, daya tariknya semakin kuat. Meski sekarang aku tinggal di Lhokseumawe, daya tariknya tak melemah sedikitpun. Hingga akhirnya pada suatu akhir pekan gaya magnetisnya berhasil menarikku dengan kekuatan penuh. Lanjutkan membaca “Pulau Weh, Tidak Melulu Pantai dan Snorkeling kok”
Perjalanan ke Pulau Weh kali ini memang ga sia-sia. Sekalipun saya ga mendapatkan cerita komplit tentang legenda Pulau Rubiah dari penduduk setempat, tapi saya berkesempatan berkunjung ke sebuah makam. Yaitu makam suami Rubiah. Sayang sekali saya sendiri lupa namanya. Saya sempat bertanya sih ke seorang imeum (imam) mesjid di kampung Iboih, beliau sempat bercerita sedikit tentang Rubiah.
Rubiah adalah seorang wanita yang konon memiliki peliharaan anjing yang kemudian diusir oleh suaminya menggunakan kata “Weh!”. Yang menurut versi Pak Teungku tersebut Weh menjadi nama untuk pulau tersebut, yaitu Pulau Weh yang artinya “pergi” atau minggat (kata perintah). Rubiah mengasingkan diri ke sebuah pulau yang kemudian dikenal dengan Pulau Rubiah. Pulau ini sendiri terletak tepat di depan desa Iboih. Sebuah pemandangan yang akan terlihat setiap hari bagi warga di sini : Pulau Rubiah.
Penjelajahan saya mulai dengan melihat keunikan-keunikan binatang-binatang peliharaan yang bebas berkeliaran. Seperti kambing dan sapi yang bebas berkeliaran di sekitar bungalow. Saya menyebut mereka sapi dan kambing gunung. Soalnya mereka bebas saja nangkring di atas bebatuan di bukit-bukit Iboih.
Saya lebih senang mengikuti garis pantai yang berbatu-batu. Seru juga loncat-loncatan sambil mengintip keindahan taman bawah laut dari atas bebatuan cadas yang berjubel-jubel di pantai. Sumpah keren sekali melihat semuanya dari sini!
Sepanjang perjalanan saya ini, tepatnya di bawah dan di dalam laut itu (persis laut di dalam foto ini) adalah terumbu karang dan tempat snorkeling paling keren di Iboih. Ga perlu jauh-jauh dari bibir pantai, di dekat bebatuan itu saja sudah dipenuhi dengan berbagai terumbu karang dan ikan-ikan berwarna-warni. Keren!!
Selama treking ini pun saya menemukan beberapa hal unik. Saya menemukan banyak kepiting batu yang sudah mengering dan berwarna merah terbakar matahari. Nih saya foto, hitung-hitung belajar makro :p Uniknya dari kepiting-kepiting ini adalah mereka matinya di atas batu karang hitam itu. Mereka saya ketemukan sudah nangkring saja di situ dan siap dengan pose untuk difoto.
Setelah sejam loncat-loncatan di atas batu karang dan naik turun bukit, melewati semak belukar dan pohon-pohon tumbang, saya dapat beristirahat di sebuah pantai berbatu-batu dan berkarang. Sekalian deh foto-foto sebagai bukti kalo saya sudah ke sini. :p
Sekitar 150 meter dari tempat saya berdiri itu, ternyata ada sebuah makam yang dari informasi Pak Teungku Imeum adalah makamnya Teungku-suami Rubiah. Makamnya sendiri tepat di atas sebuah bukit kecil. Saya harus berjalan mendaki sebuah bukit melalui jalan setapak yang sepertinya baru beberapa hari dibersihkan. Kelihatan semak-semaknya masih sangat baru dibersihkan.
Makam Teungku (suami Rubiah)
Dari cerita versi Pak Teungku Imeum, Suami Rubiah ini memiliki saudara kandung yang tinggal di Sare dan beliau mengirimkan bibit durian kepada suami Rubiah yang hingga kini pohon durian tersebut masih hidup dan berbuah. Bagi warga di sini menyebutnya Durian Keramat. Karena buah durian ini tidak boleh dijual. Bisa celaka katanya. Sayang sekali saya ga bisa ke sana. Letaknya terlalu jauh sih dari tempat saya menginap. Ah tapi ga apa-apa lah. Yang penting bisa ke makam ini saja sudah luar biasa sekali perjuangannya.
Bagi yang suka treking atau jelajah dan sedang di Iboih, silahkan berkunjung ke makam ini dan nikmati pemandangan dan suasana hutan yang masih sangat asri sepanjang perjalanan. Pas pulang, foto-foto dulu deh. Cukup puas walopun cuma pake timer. :D
Ga sempat (malas) edit makanya fotonya miring gini :p
Ketika rencana tak berjalan seperti yang diharapkan, hasilnya bisa macam-macam. Hasil yang kurang memuaskan sering kali terjadi. Dan begitu juga backpacking saya kali ini. Sekalipun tidak begitu memuaskan tapi tidak pula begitu mengecewakan.
Pulau Weh
Perjalanan ke Pulau Weh pada awalnya direncanakan pada minggu kedua di bulan Maret. Segala sesuatunya sudah saya siapkan, beberapa tujuan ke objek wisata sudah ditentukan. Tapi…ah dasar saya yang tidak konsisten pada rencana! Ketika ada teman yang mengajak ke Sabang langsung saya iyakan.
Akhirnya saya memutuskan berpergian dengan budget Rp. 500.000,-. Saya menantang diri sendiri apakah dengan budget segitu saya mampu survive di Pulau Weh selama dua hari? Cekidot! :p
Bisa dibilang kalau perjalanan saya ini adalah semi backpacking. Karena teman jalan saya ini bukanlah tipe backpacker yang mau mendapatkan harga yang murah. Jadi kadang-kadang saya harus mengalah untuk beberapa hal.
Kami berangkat dari Meulaboh pada hari selasa malam menaiki mobil travel dengan tarif 120.000 rupiah (padahal bisa hemat 20.000 jika naik L300) dan menginap di Wisma Sacita di Peunayong. Letaknya tepat di depan Sulthan Hotel. Harga kamar termurah di wisma ini 100.000. Cocok lah untuk backpacker.
Sekitar jam setengah sebelas siang, kami berangkat ke pelabuhan Ulee Lhee menaiki (lagi-lagi saya harus ngalah) taksi! 30.000/orang. Padahal kalau naik becak dengan uang segitu bisa untuk bertiga. Tapi ya sudahlah. Lha saya dibayarin! :p
Berlayar dengan Kapal Lambat (slow ferry) dari Ulee Lhee ke Balohan menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Beberapa sopir angkot menawarkan jasanya. Setelah tawar menawar, kami mendapatkan sopir yang mau membawa kami ke Iboih dengan harga 30.000 dari 50.000.
Sesampai di Iboih saya langsung nyari bungalow untuk menginap. Melewati jalan setapak yang menaiki bukit kecil berbatu. Ada banyak sekali pondok-pondok kecil beratapkan daun nipah berdiri di lereng-lereng bukit dan di atas bebatuan karang. Untuk harga kamar di tiap bungalow bervariasi. Tapi pada umumnya mereka menetapkan tarif sesuai letak bungalow. Yang di tepi pantai harganya berkisar antara 200ribu s/d 350ribu. bungalow yang letaknya di lereng bukit atau yang agak dekat pantai harganya berkisar 150ribu s/d 200ribu dan bungalow yang agak jauh dari pantai atau posisinya di atas bukit antara 100ribu s/d 150ribu. Semakin lama kita menginap semakin murah pula harganya.
Tapi sebenarnya harus pintar-pintar juga menawar sama yang punya bungalow dan mau bercapek –capek nanya ke setiap bungalow. Nanti saya kasih daftar bungalow dengan tarif yang negotiable.
Teman saya mendapatkan bungalow di O’ong’s bungalow. Setelah beberapa lama menunggu sambil memasang wajah kecapaian dan putus asa akhirnya saya mendapatkan juga kamar murah di Mama Mia! Cuma 100.000 untuk dua malam. Haha…ternyata saya punya bakat acting yang lumayan. :p
Di setiap bungalow, mereka memiliki restaurant sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak berbentuk restaurant. Menurut saya seperti kios makan biasa di pinggir jalan. Hanya saja menunya yang ala barat dan mahal pastinya. Mereka memasak sesuai dengan pesananan. Uniknya yang memasak adalah pemilik bungalow itu sendiri. Saya merasa lucu ketika mendengar mereka berbahasa inggris dengan bule-bule.
“eat, mister? What you want to eat? Ooo Acehnese food? Spicey! Your friend eat curry just now then go…goooo…”. “you want barracuda?banana milkshake?wait ya…”
Beberapa koki yang lain cukup dengan sepatah dua patah kata saja. “noodle?” “with ketchup?” “oke, coffee” “with sugar?” (maaf, bukan untuk meledek. Bahasa Inggris saya juga hancur kok! :p )
Setelah mendengar banyak tentang pelayanan para koki-koki itu saya mencari tempat untuk snorkeling. Ada beberapa tempat yang saya lihat ada bule yang melakukan snorkeling. Tapi tempat yang paling bagus untuk itu ada di Yulia’s, bungalow ini adalah bungalow terakhir di Iboih. Tentu saja letaknya paling jauh.
Suatu pagi di Iboih
Taman laut di sini yang menurut saya paling bagus. Terumbu karangnya lebih beragam dengan ikan-ikan yang luar biasa cantik, berwarna-warni dan biota laut yang mengagumkan. Biasanya cuma liat di tivi, kali ini saya bisa melihat langsung dan berdekatan pula dengan mereka. :D
Wow. Ini benar-benar pengalaman yang luar biasa. Ini juga pengalaman pertama kalinya saya snorkeling dan merasakan kepanikan yang menggelikan karena belum terbiasa bernafas dengan alat bantu. Tapi lama-lama terbiasa juga. Snorkling di hari pertama benar-benar mengesankan. Tidak hanya dikelilingi ikan dan terumbu karang tapi juga dikepung ubur-ubur! Tepatnya bayi ubur-ubur! Saya merasa seperti Spongebob yang mengapung di permukaan air dan bayi ubur-ubur itu sesuka hatinya menyengat saya.
Beberapa kali saya terkena sengatan dan kulit saya jadi gatal-gatal karena bersentuhan dengan ubur-ubur. Mungkin sekitar setengah jam saya menikmati panorama bawah laut dan akhirnya saya menyerah dengan bayi ubur-ubur yang ‘kegatalan’ itu.
Hari kedua. Kamis. 25/02/2010
Saya ingin ke Gapang. Tapi uang saya tidak memungkin lagi untuk menyewa motor yang seharga 80.000/hari. Saya cari akal bagaimana caranya supaya dapat menyewa motor dengan harga miring. Kebetulan sekali Mama Mia menanyakan saya ingin ke mana hari ini. saya bilang deh mau ke Gapang. Tentu dengan keluhan saya tentang harga sewa yang mahal plus pasang wajah kere. Gayung pun bersambut! Si Mama menawarkan motornya ke saya dengan syarat membantunya berbelanja.
Pantai Gapang
Siiiip! Saya bersemangat empat lima membonceng Mama ke pasar dan keringat bercucuran ketika menenteng belanjaan Mama dari kampung di bawah sana menaiki bukti demi bukit ke bungalownya. Beban yang saya bawa adalah sekantung plastik besar berisi sayur-sayuran berat seperti kol dan sekantung plastic besar penuh dengan ikan laut segar.
Alhamdulillah. Saya berhasil juga ke Gapang dan saya terbengong-bengong melihat Gapang yang sepi! Damn! Kirain di sini bisa berenang! Saya paling tidak bisa nyebur ke laut kalau tak ada orang lain yang juga ikut nyebur. Dari ujung ke ujung tak ada pengunjung. Beberapa bule sedang bersiap untuk diving. Lah..saya mana punya uang buat diving! Lalu saya kepikiran untuk ke Tugu Nol Kilometer. Tapi ketika melewati Iboih, saya terima telepon dari teman saya kalau mereka mau snorkeling. Saya segera membatalkan ke Tugu dan pulang ke Iboih untuk snorkeling. Toh saya sudah pernah ke Tugu.
Bahasa dan karakter
Saya pikir, bahasa daerah Pulau Weh berbeda dengan bahasa Aceh pada umumnya sering digunakan di Banda Aceh. Ternyata bahasa daerah di Pulau Weh tidak jauh berbeda dengan bahasa Aceh umumnya. Walaupun terbata-bata saya mampu juga berkomunikasi menggunakan bahasa Aceh dengan mereka.
Ini adalah penilaian yang bersifat individual. Hanya penilaian pribadi saya saja tentang karakter warga Iboih yang menurut saya cenderung keras namun ramah. Mereka adalah pribadi yang enak diajak ngobrol dan mau bercerita. Mama, pemilik bungalow tempat saya menginap malah sering curhat tentang anak-anaknya, tentang prilaku pengunjung dan pandangannya terhadap perubahan pada masyarakat karena kehadiran turis-turis mancanegara di kampung mereka.
Berikut adalah daftar-daftar bungalow dengan harga kamar yang (sebenarnya) bisa nego :
Bungalow Fatimah (unrecommended) bungalow-bungalownya kotor, tak terurus.
Mama Mia, harus pintar ngambil hati si mama, tapi jangan terlalu manja. Ingat, mereka adalah orang-orang yang keras dan terbiasa gaul sama bule!
Olala, yang punya bungalow ini pria Jerman. Istrinya juga merangkap sebagai koki. Kalau sama istrinya susah minta kurang harga kamar. Tapi saya tidak ketemu sama suaminya.
O’ong. Yang punya cewek. Pintar-pintar nawar deh. Ingat, bungalow yang jauh dari pantai lebih murah!
Yulia’s bungalow. Pengelolanya cowok-cowok enerjik dan pintar masak. Bungalow yang paling atas (jauh dari pantai) lebih murah.
Ada satu bungalow yang teman-teman backpacker lewatkan aja, yaitu Iboih Inn. Bungalow paling mewah yang ada di Iboih. Harganya juga mahal. Jangan harap bisa nego harga. Semua kamar di sini memiliki kamar mandi di dalam.
Ingat lho…kalau mau menawar harga bungalow yang di posisinya jauh dari pantai tarifnya lebih murah. Kalau beruntung bisa dapat 30.000/malam! Jadi siapkan argumentasi kalau mereka menyodorkan tarif yang mahal untuk bungalow yang jauh dari pantai. J
Berikut adalah rincian biaya yang saya keluarkan selama di Pulau Weh.
Bus (travel) Mbo – Bna : 120ribu
Penginapan di wisma Sacita-Peunayong : 100ribu (bagi dua : 50ribu)
Penginapan (Mama Mia bungalow) : 50ribu/malam <<bisa nego (dua malam = 100ribu)
Makan di warung di kampong Iboih : 10ribu 2x makan = 20ribu (pake telor + tempe = MAHAL!!!)
Sarapan nasi bungkus (nasi uduk + lauk ikan balado) : Cuma 6ribu saja (murmer!)(2x makan : 12ribu) beliin buat kawan 2 bungkus : 12ribu. total : 24ribu
Sewa snorkle : 15ribu/item/hari (2 hari : 30ribu.hari pertama bayar sendiri, hari kedua dibayarin kawan) total : 15ribu.
Pinjam motor (gratis karena bantuin Mama Mia belanja) isi bensin seliter : 7ribu
Beli minum Aqua ukuran gede di kampung 3 botol : 6ribu/botol = 18ribu, di Yulia’s bungalow : 7ribu. total : 25ribu
Beli rokok (not for me yaa) : 12ribu (A Mild 2 bungkus)
Pulsa : 23ribu
Ongkos mobil dari Iboih ke Balohan : 50ribu/orang (dibayarin(bisa dipesan aja di tiap bungalow)) kalo di kampung bisa dapat 40ribu (tp harus pinter ngomongnya :p)
Ojek dari Balohan ke Kota Bawah Sabang : 20ribu. Narik duit di ATM lg L
Kapal cepat : 60ribu/orang. 3 orang = 180ribu (tarif ekonomi dewasa) <<g ada pilihan lain krn pulang hari jumat dan budget ludes.
Becak dari Ulee Lhee ke Peunayong : 40ribu
Total seluruhnya : 616ribu! (free : 147ribu)
Kesimpulannya : budget 500.000 ga cukup untuk bertahan hidup di Iboih selama dua hari!!