Mengikuti Kisah Kembara di Bumi Nusa Tenggara

Lombok

Suatu hari, aku pernah membuat janji mengunjungi Lombok menjumpai teman-teman yang kujumpai di Pare, Kediri. “Kapal penyeberangan dari Bali cuma 4 jam,” jelas Kak Hani. “Nanti kalian bisa menginap di rumah saya. Saya bawa jalan-jalan dan saya masakin makanan khas Lombok,” begitu janjinya pada saya dan teman-teman sambil berusaha menahan genangan air mata di antara kelopak matanya. Dan kami semua diliputi haru pada hari terakhir menjelang perpisahan di Pare.

Ada tiga teman yang berasal dari Lombok di kelas bahasa Inggris kami waktu itu. Kak Hani, Desi, dan Echa. Teman-teman yang lain berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Aceh sampai Papua, berkumpul dalam satu ruangan. Tapi keramahan mereka bertiga adalah yang paling berkesan bagi kami semua. Mereka pulalah yang paling antusias mengajak kami bertualang ke Lombok.

Saya teringat pada sebuah cerita dari sang Kembara di  bumi Nusa Tenggara. Dia mengendarai sepeda motor menjelajahi Nusa Tenggara selama tiga bulan! Dengan mengendarai motor, Kembara berangkat dari tanah Jawa, meninggalkan semua kenyamanan yang melenakan dan mencecap kerasnya kehidupan di tengah keelokan alam yang memanjakan.

Kembara adalah Tekno Bolang. Seorang pejalan yang senang merekam keindahan Indonesia dalam bentuk tulisan, foto, dan video. Dokumentasi perjalanannya yang epik selama bersepedamotor ke Nusa Tenggara membuahkan hasil dengan memenangkan kompetisi video Castrol Power1 Legendary Tour.

Dalam catatan perjalanan sang Kembara yang diterbitkan di lostpacker.com, ada cerita saat perjalanan menempuh jalur yang menyulitkan, namun tetap harus ditempuhnya agar tiba di Desa Mantar di Sumbawa Barat. Sepeda motor matic miliknya dipaksa terus menyusuri jalan setapak berbatu yang gembur. Dua kali Rio, nama motor kesayangannya itu, terguling karena kondisi jalan yang rusak parah. Namun semua kesulitan itu terbayar setibanya di desa atas awan, Desa Mantar. Segala susah dan kesah selama perjalanan diganti dengan pemandangan puncak Rinjani dan ranumnya lembah Poto Tano dari kejauhan.

Pada suatu senja dalam perjalanan menuju Pulau Satonda.

Pada kisah Tekno yang lain, dia bercerita tentang perjalanan mistisnya ke Pulau Satonda di Sumbawa. Melewati Selat Sape yang ganas membuat kapal layar oleng ke segala arah, mengaduk isi pikiran dan perut para penumpangnya. Pak Dulah adalah nakhoda kapal yang membawa sang Kembara, duduk di depan kemudi memastikan semuanya sesuai kendali, dan para penumpang petualangnya selamat tiba di tujuan.

Mereka tiba di perairan Pulau Satonda keesokan harinya. Saya membayangkan melihat puncak Tambora dari atas kapal yang bergerak perlahan seperti deskripsi Tekno. Sungguh saya tak bisa membayangkan kedahsyatan letusannya dua abad silam. Terlalu banyak kesedihan terjadi yang diakibatkannya. Saya mengalihkan bayangan-bayangan kelam letusan Tambora yang menyusup masuk di benakku pada keindahan panorama para pendaki di puncak Tambora. Danau, tetumbuhan liar, panorama lereng-lereng kawah, matahari terbit, dan setiap sudutnya yang mendecakkan lidah ketika tersapu pandangan mata. Belum lagi rasa yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.

Danau Matatoi

Tekno melanjutkan ceritanya tentang Danau Matatoi yang berair asin di dekat pantai. Pada pinggir danau tumbuh pepohonan Kalibuda yang menjadi perantara untuk harapan yang dipanjatkan kepada Sang Maha Pengabul Harapan. Danau itu sendiri tercipta dari hempasan gelombang tsunami ketika Tambora mengamuk. Airnya berwarna gelap dan asin, ada suasana mistis yang kuat dirasakan Kembara saat berenang di danau keramat ini. Mungkin itu sebabnya Kembara tak berlama-lama di sana. Bukan ancaman kualat yang ditakutkannya, tapi lebih pada penghormatan pada kepercayaan orang-orang yang telah menjaga daratan ini dengan kearifannya.

Tersesat adalah cara lain untuk mengeksplorasi. Seorang kembara tak selalu berada di jalan yang diharapkannya untuk dilalui. Namun perjalanan memberinya kejutan-kejutan yang tak terduga. Pada perjalanannya menuju Selong dari Labuan Lombok, Kembara menemukan pasar yang menjual beraneka makanan khas Lombok yang menggugah selera. Bukankah makanan adalah obat dari segala kegundahan? Saat itulah makanan tak hanya menjadi makanan untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa.

Makanan khas Lombok yang ditemukan Kembara di sebuah pasar dalam perjalanan menuju Selong.

Membaca catatan perjalanan sang Kembara, aku semakin jauh menelusuri jalan-jalan berliku di Pulau Lombok. Menunggangi kata dan permadani ajaib berupa foto-foto yang mengantarkanku ke pantai-pantai yang banyak disebut sebagai kepingan surga itu. Aku yang belum pernah melihat surga, rasanya ingin segera menghadap ke sana. Berenang di airnya yang bening, hijau, dan biru itu. Mengejar anak-anak ikan di Gili Trawangan, menonton ikan badut menari di tengah anemon di Gili Meno, dan menyelam bersama penyu di Gili Air.

Bukit Merese, tak jauh dari Tanjung Aan.

Aku menarik napas perlahan dan menghembuskannya. Petualangan imajinasiku telah tiba di tempat yang kurasa akan membuatku berdiam lebih lama untuk meresapi keindahan warna-warna langit senja di Pantai Gili Trawangan. Kubayangkan aku menikmati setiap detik yang dihabiskan matahari untuk menghilang dari cakrawala. Semua serba perlahan. Semua warna di langit yang bagaikan lukisan itu perlahan memekat. Lalu pada satu tarikan napas yang kemudian kuhembuskan dengan amat perlahan mengubahnya menjadi kepekatan yang terasa pilu. Di suatu sudut di Pulau Jawa ini, aku teringat pada janji bertemu itu.

Sunset di Gili Trawangan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

22 tanggapan untuk “Mengikuti Kisah Kembara di Bumi Nusa Tenggara”

  1. Aku udah nonton video kak tikno udah lama banget, pas baru dirilis kayak. Dan keren banget. Sekarang baca tulisan citra jadi tambah makin kepingin ke lombok. Tapi tapi…yang penting happy

  2. Momotoran emang asyik, kemarin pernah nyoba seminggu, cuma nyusurin perbatasan Jabar-Jateng sih, dan Om Tekno ini 3 bulan keliling Lombok wuih. Sukses kak, semoga bisa terbang ke Lombok!

  3. Ayo tandang ke Nusa Tenggara dan Tuhan pasti sudah mempersiapkan satu cerita khusus untukmu, Mas :hehe. Waduh, tiga bulan on motorcycle dan itu sangat pantas diacungi jempol. Saya yang baru tiga hari saja sudah luka-luka :haha. So inspiring! Semoga jadi ke Lomboknya Mas, saya yang berkampung di sini saja kepengen datang terus!

Tinggalkan Balasan ke Arie Oktafriyanto Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.