Aku, Santi, Lily, Sue, Sur, dan pemilik rumah yang kami tinggali, Bu Istikomah, duduk membentuk lingkaran dengan tungku perapian berisi bara berada di tengah. Kami duduk rapat-rapat pada bangku-bangku kecil di lantai dapur. Menghangatkan diri di dekat perapian setelah setengah hari hujan-hujanan. Perapian ini disebut Api-api oleh warga Dieng. Tungku api-api terbuat dari seng yang dimodifikasi sehingga untuk membakar arang kayu yang berada di dalamnya tidak perlu lagi menggunakan bahan bakar minyak melainkan cukup meletakkannya di atas kompor gas yang menyala. Kurang dari dua menit, arang yang berada paling bawah sudah menjadi bara yang kemudian perlahan-lahan merambat ke bara-bara yang berada paling atas.
Hawa hangat segera menyebar dan menghangatkan telapak tangan yang sengaja kami ulurkan ke depan tungku. Hangatnya segera merayap ke seluruh bagian tubuh dan menciptakan rasa nyaman dari balik kaos tipis kami. Semakin hangat, semakin cair pulalah suasana di antara kami berlima. Cerita demi cerita bergulir dari mulut-mulut para pejalan yang tanpa malu lagi sekali-kali mengulurkan telapak kaki menghadap tungku.
Setelah menceritakan kembali kisah perjalanan tadi siang saat kami ke Kawah Sikidang, tibalah cerita dari empunya rumah, Bu Istikhomah. Perempuan berkulit putih nan ramah ini kami daulat bercerita tentang fenomena Anak Gembel atau Anak Gimbal di dataran tinggi Dieng ini.
Mengejutkan, ternyata Ibu sendiri waktu kecil adalah anak gembel yang rupa-rupanya menurun pula ke anak gadis sulungnya (sebut saja Mawar). Dari mulut beliaulah cerita anak berambut gimbal itu kami ketahui secara rinci. Aneh tapi nyata. Supaya tidak lupa kelak, aku tuliskan tentang fenomena Anak Gembel Dieng dari Bu Istikomah.
Alkisah, kejadian ini terjadi saat Mawar sedang ceria-cerianya, saat gadis mungil ini masih berumur empat tahun. Mawar didera demam panas yang amat tinggi. Sang nenek memberitahu kalau Mawar mengalami tanda-tanda anak gembel. Mulanya sang ibu tidak percaya. Beliau yakin dengan diobati ke dokter anak dan berdoa, Insya Allah Mawar akan sembuh. Meski sudah diingatkan berulangkali, beliau masih bersikeras kalau anaknya hanya sakit demam biasa yang bisa sembuh dengan pengobatan modern. Hingga orang-orang di kampung juga ikut menolong ‘menyadarkan’ sang ibu kalau sakit anaknya bukan ‘sakit biasa’. Meski sudah diobat oleh dokter anak paling bagus di Wonosobo pun, tetap saja demam tinggi Mawar tak kunjung sembuh. Setiap pagi, Ibu menemukan rambut yang menggimbal di kepala Mawar. Setiap gimbal muncul, rambut itu segera disisir. Tapi demam Mawar tetap tak kunjung sembuh.
Hingga setelah sang ibu benar-benar yakin si buah hati memang tak bisa sembuh dengan pengobatan modern, beliau pasrah pada legenda yang dipercayai turun-temurun oleh warga Dieng: anaknya adalah salah satu titisan makhluk gaib! Versi lainnya, menurut cerita penjual telur rebus di Kawah Sikidang, anak gembel adalah keturunan Putri Shinta Dewi yang dikutuk Raja Kidang Gurungan yang marah karena dipermainkan oleh Putri untuk menolak lamarannya.
Rambut gimbal baru boleh digunting jika si anak gembel meminta sesuatu dan harus dipenuhi. Pengguntingan rambut pun ada ritualnya dengan menyajikan nasi ketan tujuh rupa. Selain meminta suatu barang, bisa mainan atau makanan, yang harus dipenuhi oleh orangtuanya, biasanya dia juga menentukan sendiri siapa penggunting rambutnya. Jika permintaannya dilanggar, anaknya akan kembali demam. Rambut yang sudah digunting akan dilarungkan di sungai oleh si Mbah Dukun yang menggunting rambut.
Lalu bagaimana kehidupan sosial Mawar sehari-hari? Apakah hidupnya seperti anak kandung yang semena-mena dengan saudara tirinya seperti di sinetron-sinetron Indonesia? Ya nggak selebay itu juga. Masa kecilnya harus dilalui dengan getir. Tanpa teman dan sahabat.Ternyata menjadi anak gembel itu tidak enak juga. Hubungannya dengan anak-anak lain terganggu karena entah kenapa anak gembel ini auranya membuat anak-anak lain takut. Meski kepala Mawar ditutupi jilbab ketika berangkat ke sekolah, tetap saja anak-anak sebayanya tidak ada yang mau bermain dengannya. Padahal teman-teman sekelasnya tidak ada yang tahu kalau dia adalah anak gembel. Bahkan, kadang-kadang si ibu pun pernah merasa takut dengan anaknya sendiri. Ketika langit saat senja menjadi merah, sering muncul bebauan harum atau bau busuk dari rambutnya. Keanehan-keanehan seperti ini akan terus berlanjut sampai gimbal digunting dengan syarat-syarat yang berlaku.
Lalu apa permintaan Mawar untuk mengakhiri masa-masa menjadi Anak Gembel ini? Ketika gigi gingsulnya copot, Mawar secara mengejutkan meminta ‘jajan bebek’ sebanyak 200 buah. Jajan bebek ini adalah makanan ringan tini bini witi yang berbentuk bebek. Permintaan yang sederhana tapi tidak boleh diganti dengan apapun.
Begitulah kisah Bu Istikomah, mantan anak gembel tentang anaknya yang juga mantan anak gembel yang alhamdulillah berakhir happy ending.
By the way, ada yang masih ingat tidak dengan jajanan tini bini witi? :D
FYI: Ritual pencukuran rambut anak gimbal ini sekarang dimasukkan dalam acara tahunan Dieng Culture Festival. Biasanya digelar antara bulan Juli dan Agustus.
Anak dalam foto bukanlah Mawar anak Ibu Istikomah dalam cerita. Foto-foto hanya sebagai pelengkap visual dari cerita. Semua foto adalah milik Bang Jerry dan sudah mendapatkan izin untuk ditampilkan di sini. Makasih, Bang. Kapan kami bisa masuk geng TyvuTyvu?
menjaga kelestarian adat yaa..
jadi pengen ke Dieng lagi tapi nginep.. belum ke Sikunir
Iya, Haya. Cobain nginep deh. Kalau bisa nginepnya di rumah warga. :D
Kalau seandainya ada yang menyimpulkan anak gembel ini pengaruh genetik dengan fakta bahwa ibunya juga dulunya anak gembel, masih agak susah juga ya.
Kadang-kadang hal yang dengan pendekatan budaya-teologis begitu mudah dicerna, adalah hal yang sangat rumit dijelaskan secara ilmiah.
Kalau sudah begitu, lebih baik kita biarkan saja mereka sebagaimana adanya :hihi
Pingin ke sana langsung :D
Ga bisa kita bilang genetik juga sih. Ada juga kelurga lain yang ibu atau bapaknya dulu ga gimbal. Tapi ya bisa jadi juga sih, mungkin aja turunan dari kakek atau nenek atau buyutnya dulu. Si Ibu yang cerita bilang kalau jaman dulu itu hampir semua anak mengalami gimbal. Cuma Tuhan yang tahu deh. :D
Wow. Sepertinya kita harus membiarkan itu menjadi sebuah misteri :))
akh ceritanya bernuansa mistis… coba ada artikel juga yang menjelaskan secara scientist.. tapi seru juga yach adat ini “si rambut gembel” hehe
Dengae-dengar sih udah ada yang meneliti tapi ya gitu deh, ga ada jurnal ilmiahnya juga. Atau mungkin ada dan aku yang ga tau ada jurnal ilmiahnya. :D
akhirnya ngerti jg,kemarin2 penasaran tentang anak gembel ini apaan ya,setelah baca penjelasannya jadi ngerti,makasih ya infonya :-)
Sebelum ke Dieng aku juga ga ngerti sama sekali tentang anak gimbal ini. Ga ada cerita detilnya. Syukurlah bisa ketemu Ibu dan beliau cerita langsung. :)
saya tahu tini wini biti, crakcer imut bentuk binatang kan?
Betul, Kak Danan. Aku ga ingat deh pernah jajan begituan. Kayaknya dulu harganya tergolong mahal deh. :(
Kalo ngga salah tini wini biti cuma ada di supermarket bukan di warung
Oh gituuu… yah aku kan dari kecil di dusun, mana ada supermarket. Haha
mungkin yang dimaksud, “tini wini biti, imut enak bergizi”.hehehe
Bisa jadi bisa jadi. Haha… Ga terlalu ingat lagi sama jajanan yang satu itu. :p
Ingat banget Mas jajan bebek itu! Favorit saya buat nemenin nonton tivi :D
Syukurlah, namanya kadang belum tentu seindah hidupnya ya :)
kalau bu istikhomah dulu minta apa, bang? :D
Ibunya ga ingat lagi minta apa. Hehe…
Eh, Tini Wini Biti sekarang ini masih diproduksi nggak sih? Setelah gede, saya nggak begitu perhatian sama jajanan favorit saya di masa kecil itu, hahaha. Berarti kan nasib si Mawar bergantung pada produsen Tini Wini Biti, bisa dibuat promosi ini. #otakdagang
Wahahahaha…tp tergantung sama permintaan juga. Kalo banyak anak gimbal yg minta jajanan bebek ya produksi bisa ditingkatkan. :P
Dieng dan pesonanya memang gak akan ada abisnya di eksplore. Kalau yang nulis ini namanya siapa? “Sebut saja mawar” ha ha. Gak ajak2 ih ke dieng
Gimana mau ngajak? Lah selebnya lagi di Papua. Itu juga ga ngajak-ngajak. :(