Awan mendung bergelayut ketika truk yang kami tumpangi memasuki Desa Rambang, Kecamatan Riau Silip, Bangka. Kegundahan melandaku melihat tebalnya awan kelabu yang bergerak mendekati barisan puncak pegunungan Maras. Bersama dua puluh lima pendaki lainnya, kami terus bergerak melintasi desa-desa yang masih menunjukkan kemeriahan perayaan Imlek beberapa hari lalu. Aku dalam hati berdoa semoga hujan tidak turun malam ini.
Kami tiba di kaki gunung pada sore hari. Setelah menunaikan shalat Dhuhur dan Ashar berjamaah di tanah lapang di pinggiran sungai, kami menanti matahari tenggelam sambil menikmati makan malam dari bekal yang sudah dibeli dari tadi pagi. Tidak ada yang membawa nasi, masing-masing membawa mi instan dan puluhan bungkus lontong dengan sambal asam khas Bangka dan tempe. Aku sendiri segera mengeluarkan kompor portable, panci, dan segera merebus mi instan. Mi goreng digado dengan lontong ternyata enak juga. Meski tidak banyak, tapi lumayan untuk mengganjal perut yang sejak pagi tidak terisi makanan.
Pendakian dimulai setelah shalat Magrib dan Isya. Arie memandu di depan dengan carrier yang sepertinya lebih berat dari badannya sendiri. Kawan-kawan dari Rohis STM Pangkalpinang berada di belakangnya. Masing-masing memegang senter dan perbekalannya masing-masing. Aku dan seorang guru pembina, Pak Strada, berjalan paling belakang. Pria bertubuh subur ini tampak kepayahan berjalan pada setengah jam pendakian pertama. Tapi semangatnya tidak gampang luntur untuk terus mendaki.
Perjalanan terhambat berkali-kali. Banyak dari pendaki yang mengalami keram kaki dan perut. Bahkan ada yang disengat kalajengking saat berpegangan pada dahan pohon. Karena kebanyakan dari kawan-kawan pendaki ini baru pertama kali mendaki gunung, istirahat nyaris tiap setengah jam sekali selama setengah jam pula. Karena terlalu sering berhenti, aku menyarankan supaya istirahat setiap satu setengah jam saja untuk menghemat waktu, air, dan tenaga.
Selebihnya perjalanan berlanjut dengan menyenangkan, meski beberapa kali keram kerap terjadi dan menghentikan langkah tim. Saat menunggu sakit pulih, kami dapat menikmati keindahan malam yang membuat decak kagum. Langit pada malam itu bersih dari awan. Bintang-bintang gemerlapan dari atas rerimbunan pohon. Suara serangga mengiringi setiap langkah gontai kami menyusuri lereng dan mendaki tebing berbatu. Hawa puncak mulai terasa.
Pada ketinggian 500 mdpl, kabut membatasi jarak pandang namun tidak memperlambat gerak kaki. Udara dan angin dingin bertiup menembus lebatnya pepohonan, mengeringkan keringat yang terus mengucur membasahi baju dan celana dalam. Semakin mendekati puncak, rasanya beban di bahu semakin berat, pergelangan kaki rasanya mau lepas. Aku mengeluh sendiri karena tidak latihan dulu sebelum pendakian. Pun tidak makan pagi dan siang serta kurang minum air. Seperti yang ditulis Arie dalam catatan pendakiannya di sini, pendakianku kali ini pun rasanya amat menyiksa. Bukannya karena menganggap remeh ketinggian Gunung Maras yang setinggi 640 mdpl ini, tapi karena memang lagi malas-malasnya berolahraga selama beberapa hari sebelum hari H. :/
Sekitar dua puluh meter lagi sebelum puncak, seorang kawan pendaki kembali mengalami keram pada betisnya. Kali ini kawan-kawan yang lain diperintahkan untuk segera ke puncak dan beberapa orang paling belakang menunggui Habib hingga keramnya hilang. Untung cuma nungguin keram, bagaimana kalau harus menunggui rasa yang dulu pernah ada di hati Habib untuk adik itu hilang? Alamak! :p
Kami bukan satu-satunya tim yang tiba di puncak Gunung Maras, ada lebih dari sepuluh kemah besar dan kecil berdiri di areal perkemahan puncak. Belakangan aku baru tahu kalau mereka terdiri dari kalangan mahasiswa dan beberapa komunitas di Bangka. Kemah-kemah sudah berdiri seadanya di tanah datar. Beberapa tumpuk api unggun menyala menyalurkan rasa hangat bagi yang duduk di dekat perapian. Di bawah kemah terpal terlihat barisan tak rapi laki-laki dan perempuan tertidur pulas.
Dedaunan berkerisik dan gugur ditiup angin ketika kami tiba di sebuah area lapang untuk mendirikan kemah. Dua buah kemah pramuka dibangun menempati areal kosong. Kemahku sendiri berada sedikit ke pinggir lereng dan di samping kemah tim yang lain. Di dekatku, Pak Strada mendirikan bivak. Arie mengikat hammock di kedua batang pohon yang berada persis di depan pintu kemahku. Sementara itu, tiupan angin dingin meninggalkan bulir-bulir embun di semua permukaan di puncak Maras. Kabut tipis dan tiupan angin dingin yang basah makin menambah kesan magis di gunung ini.
Meski areal perkemahan adalah tanah datar yang lumayan lapang, tapi semua kemah terlindungi oleh pepohonan yang tumbuh agak rapat. Tidak seperti hutan tropis di daerah lain, hutan Gunung Maras ini ditumbuhi pepohonan yang batangnya kecil-kecil. Semakin ke puncak, semakin kecil lah batang pohonnya. Pepohonan yang memagari areal perkemahan kami hanya sebesar betis.
Semak yang paling banyak dijumpai di puncak adalah jenis keraduduk, begitu sebutan untuk perdu berbuah manis dan kelat itu di Bangka. Mungkin di daerah lain keraduduk lebih dikenal dengan kemunting atau keramunting. Justru perdu keramunting di Bangka disebut keraduduk di kampungku, Aceh Selatan sana, kami menyebutnya kaduduak. Entah mana yang benar. Selain keraduduk, juga sering dijumpai tanaman merambat seperti kantong semar atau disebut ketuyut dan rotan. Hampir semua permukaan tanah yang tak terinjak kaki, ditumbuhi lumut tebal berwarna hijau muda.


Kabut mulai terangkat sekitar jam tujuh pagi. Saat itu lah wajah hutan Maras terlihat dengan jelas. Pepohonan rimbun berdahan ramping dan berdaun kecil-kecil tumbuh berjarak di tanah berlumut tebal yang empuk. Kulit-kulitnya yang tebal dan retak-retak masih basah dan terasa licin ketika dipegang. Ratusan bahkan ribuan sarang laba-laba menghiasi dahan-dahan pohon yang lebih lebat dan terlindung dari cahaya matahari. Namun ketika ada sinar yang berhasil menerobos, jaring halus laba-laba memantulkan cahayanya. Menimbulkan efek cahaya yang ajaib.
Namun yang paling mengejutkanku adalah lokasi kami berkemah. Ternyata kiri dan kanannya adalah jurang yang tinggi. Areal itu ternyata hanya lah punggungan gunung yang luasnya kurang lebih satu lapangan futsal dibelah dua. Puncak Maras sendiri berada sekitar setengah jam lagi dari lokasi kemah.

Dari pinggir jurang, hamparan keindahan alam di depan mata sejenak akan membuatmu lupa jika kaki sedang menjejak tanah. Awan yang tadinya menghalangi pandangan berarak menyingkir dan membiarkan Pulau Kayuanak di muara Sungai Layang tampak jelas. Gradasi warna-warni dedaunan dari beraneka jenis pohon di hutan Maras yang berbatasan dengan sungai lalu bersambung dengan lautan dan langit biru sungguh memesona.




Namun dibalik keindahannya, Maras menyimpan banyak masalah yang mengancam keindahannya sendiri. Selain terancam rusak oleh ekspansi kebun sawit dan lada di kaki gunung, hutan Maras terancam rusak oleh para pendaki. Mulai dari sampah yang bertebaran di sepanjang jalur hiking hingga ke areal perkemahan. Lalu yang paling mengenaskan adalah kebiasaan para pendaki yang mendirikan kemah dengan membabat dahan-dahan pohon sebagai tiang dan penyangga kemah. Jika setiap minggu ada 5-10 tenda jenis bivak yang dibangun di puncak Maras, berapa banyak pula dahan pohon yang harus ditebang? Hitung jika itu terjadi terus menerus selama sebulan, setahun, dua tahun? Mungkin lima hingga sepuluh tahun ke depan, puncak Maras akan gundul dengan sampah bertebaran di mana-mana.

Ironis ketika kita tahu salah satu dari tim yang mendaki membawa nama Mahasiswa Pencinta Alam universitas, tapi justru tidak menunjukkan rasa cinta pada alam. Aku masih ingat sekali pada pernyataan salah satu anggota Mapala pada sebuah forum di Banda Aceh satu tahun yang lalu, beliau bilang kalau menjaga alam itu bukan urusan mapala. Speechless nggak kalau kalian mendengar pernyataan seperti itu?
Semoga hutan-hutan di Bangka tidak semakin rusak oleh perkebunan dan tangan-tangan jahat. Semoga sepuluh tahun lagi, insya Allah jika aku kembali ke pulau surga ini, alamnya semakin lestari. Tidak ada lagi penambangan timah, penebangan pohon, penambahan areal perkebunan sawit, dan pengrusakan hutan oleh para pendaki gunung. Amin.

________
Mencapai Maras dapat ditempuh dengan mobil dan motor. Jika dari Pangkalpinang, jaraknya kurang lebih tujuh puluh kilometer atau dari Belinyu sekitar tiga puluh kilometer. Motor dapat dibawa masuk melewati jalan setapak dan diparkir di pinggir sungai dan mobil/truk hanya bisa sampai di pinggir jalan raya dan diteruskan berjalan kaki sekitar tiga puluh menit ke air terjun. Pendakian ke puncak normalnya menghabiskan waktu sekitar tiga jam. Sesampai di puncak pertama, terdapat sungai kecil di lembah gunung yang dapat dicapai setelah berjalan kaki menuruni lereng sekitar dua puluh menit.
Perjalanan yang sangat mengesankan. Perjuangan melelahkan dengan aroma magis, keagungan panorama gunung yang tergambar jelas di depan mata, serta sedikit rasa terusik gara-gara kenyataan kadang orang-orang yang menyebut dirinya pecinta bukanlah orang yang punya rasa cinta.
Semoga keindahan ini tetap bertahan, semoga ada lagi tangan-tangan yang betul-betul mencintai yang bisa merengkuh dan membantu keindahan gunung ini tetap abadi.
Semoga, Gar. Amin. :)
Sebagai orang yang belum pernah naik gunung, melihat foto-fotonya saya sunggu terpesona dan takjub, indah banget ya alamnya :)
Iya, Bang. Naik gunung itu bikin ketagihan. :)
sungguh indahnya….saya juga pernah merasakan gmn rasanya mendaki gunung dan rasanya sangat berat.
tp stelah smapi dipuncak, dijamin bakal puas.hehe
Benar sekali, Pon.
Aku keramnya pas udah dipuncak.hehe
Eh salah ok? Ape Habib agik yg keram waktu lah deket puncak? Hahaha…lupeee… Ku edit agik lah. :p
foto-fotonya bagus. bikin penasaran
Ayo, Bang. Ikut daki gunung biar ga penasaran. :D
Oke pemanasannya di Maras sudah kan Om? Lanjut ke gunung-gunung di Pulau jawa ya, yuk?? :D
Memang perjalanan mendaki gunung itu suka bikin sengsara, tapi setelahnya itu bikin ketagihan! Hehehehe….Mari mendaki! :D
Benar sekali. Bikin ketagihan. :D
Waah seru banget. Dari foto2nya siih berat pasti perjalanannya..huft semangat!hahaha salam kenal ya
Hahaha..namanya mendaki gunung, mbak. Tapi kalo udah ada persiapan fisik sebelumnya pasti terasa lebih mudah.
fotony KEREN bang!
makasih, bang… :D
mantap… mendaki gunung di malam gelap….
Eng, ngeri juga ya Mas, mendaki gunung malem-malem -_- mistis banget :’
Tapi paginya, pasti puas banget melihat pemandangan yang ada :D
Pengalaman paling seru lah naik malam-malam. :)
masih bakar2 hutan buat masak, masih nebang hutan buat bikin tenda, pendakian yang ngga ramah lingkungan..
kapan bang rencana ke gunung maras lagi? sy mau ikut
Waaaah…mau lagi juga. Tapi sekarang sudah nggak di Bangka lagi. Hehe
Wah pengalaman yang seru dan mengesankan ya.
Saya aj orang bangka asli belum pernah ke gunung maras. Jasi penasaran pengen kesana.
Tp sangat disayangkan dengan kurang terjaganya kebersihan sampah bekas para pendaki yang tidak di bawa pulang lagi dan penebangan pohon² untuk membangun tenda di puncak maras.
Semoga saja kedepannya para generasi pecinta alam lebih sadar dalam menjaga kebersihan dan kelestarian alam di gunung maras.
Wah pengalaman yang seru dan mengesankan ya.
Saya aj orang bangka asli belum pernah ke gunung maras. Jadi penasaran pengen kesana.
Tp sangat disayangkan dengan kurang terjaganya kebersihan sampah bekas para pendaki yang tidak di bawa pulang lagi dan penebangan pohon² untuk membangun tenda di puncak maras.
Semoga saja kedepannya para generasi pecinta alam lebih sadar dalam menjaga kebersihan dan kelestarian alam di gunung maras.
Betul. Semoga yang datang ke sana membawa turun kembali sampah-sampahnya dan tidak menebang pohon lagi. Terima kasih sudah mampir ya. :)
bang minta infonya dong buat mendaki gunung maras., ane dari jakarta nih mau coba naik gunung maras \ contac yg bisa dihubungi bang
Boleh, Bang. Kontak bisa dilihat di hananan.com/kontak
Salam kenal bang….
Foto2 dan cerita perjalanan nya menarik…kl ada waktu kebangka..apa bisa bantu atau dikenalkan ke pendamping yg bisa tandem ke maras..
Kalau tandem ke Maras, aku ga tau, Bang. Soalnya aku kemarin itu diajakin kawan ikut rombongan anak-anak sekolah. HEhehe