Belajar Menganyam di Pantai Pejam

Pantai Pejam (dilafalkan Pejem) berada tidak begitu jauh dari rumah yang kami tumpangi. Hanya sepuluh menit menaiki motor. Aku dan Arie berboncengan menaiki motor trail tua rakitan yang remnya sudah blong. Setelah mengisi bensin campuran di toko akoh di persimpangan desa, kami tancap gas ke pantai.

Motor trail dengan rem tapak kaki.
Hutan bakau di Desa Pejem.

Sebelum ke pantai Pejem, kami berhenti sebentar di salah satu pantai tempat ditambatnya perahu dan tempat bersauhnya bagan-bagan. Bagan ini bersauh di samping pepohonan bakau yang menghadap langsung ke Pantai Pejem yang hanya berjarak tiga kilometer dari pantai pertama. Pantai ini hanya sepanjang sekitar 20 meter saja dengan pepohonan yang meneduhi pasir putih di bawahnya. Kedua ujung pantai berbatasan dengan hutan bakau yang tumbuh rapat dengan akar nafas yang mencuat dari permukaan pasir. Pantai Pejem berada dua kilometer dari pantai teduh ini.

Pantai Pejem adalah pantai landai berpasir putih halus agak padat. Ketika kami tiba di sana, segerombolan babi sedang sibuk mencari makan di pasir. Karena babi-babi di sini diternak, mereka sama jinaknya seperti kambing dan ayam yang dibiarkan berkeliaran di perkampungan. Didekati pun tidak lari.

Jembatan kayu yang menghubungkan Desa Pejem dengan Pantai Pejem.
Babi-babi unyu sedang mencari sarapan di pinggir pantai.

Pantai pasir putih yang lumayan panjang dan melengkung membentuk teluk ini memang cocok untuk piknik. Pada akhir minggu, biasanya banyak yang berkunjung ke sini. Baik ABG maupun keluarga. Kontur pasir dan air yang landai dan dangkal, menjadikan pantai Pejem ini aman untuk anak-anak bermain. Gelombangnya pun tidak begitu besar. Tapi  tetap dibutuhkan supervisi dari orangtua jika membiarkan anak-anak bermain di dalam air.

Sepulang dari kebun, kami kembali menyusuri pantai Pejem mengunjungi rumah seorang tetua suku Pejem yang berumah di pinggir pantai. Kalau tadi pagi naik motor trail rakitan, sorenya kami kembali dengan menumpangi truk. Permukaan pantai yang bergelombang membuat kami di dalam bak truk terguncang-guncang.

Pantai Pejem

A video posted by Citra Rahman (@citrarahman) on Feb 1, 2015 at 7:05am PST

Sebuah rumah permanen berhalamankan kebun kelapa berdiri menghadap ke pantai. Seorang ibu yang dipanggil Unyang (begitu panggilan dari istri Bang Rahmad yang aku dengar) duduk bersama kami di lantai semen. Tangannya memegang Sumpet, yaitu anyaman yang terbuat dari tanaman yang tumbuh di rawa-rawa. Mereka menyebutnya tanaman Pucot. Jika tidak salah, tanaman sejenis rumput ini adalah Scirpus karena bentuknya lebih kecil dan bentuk batang yang bulat.

Aku ingat betul dulu waktu kecil, Mamak juga pernah bikin anyaman untuk tikar yang menggunakan Pandan Air (Cyperus odoratus), yaitu sejenis alang yang ditumbuh di tanah basah. Proses pengolahan pucot dan pandan air ini sama, direndam dengan air panas lalu diangin-anginkan. Setelah kering, bahan anyaman dipipihkan dengan bilah bambu atau kayu sehingga membentuk lembaran tipis yang siap dianyam menjadi tikar atau sumpet.

Sumpet sendiri berfungsi sebagai tempat penyimpanan nasi untuk dibawa ke kebun. Jika sekarang kita mengenal tupperware, warga Lom sejak lama sudah mengenal wadah penyimpanan makanan yang bisa menyimpan nasi hingga lebih 24 jam tidak basi tanpa harus dipanaskan. Untuk meyakinkanku, Unyang menghadiahi sebuah sumpet dan menantangku untuk mencoba menyimpan nasi di dalam sumpet selama 24 jam. Dan Unyang benar. Nasi merah yang aku simpan di dalam sumpet tidak basi meski sudah disimpan selama lebih dari 24 jam. Nasi tetap enak, tidak mengeras apalagi basi. Hmm, ‘Unyangware’ ini mungkin bisa laku banyak jika dipasarkan kali ya?

Menganyam sumpet

Jika dulu sering sekali melihat Mamak menganyam tikar pandan, tapi aku tidak sempat belajar. Malah di desa Pejem ini aku mendapat pelajaran menganyam sumpet langsung dari Unyang yang semangat sekali menjelaskan bagaimana proses pengolahan awal bakunya hingga menganyamnya. Aku diajari menganyam bagian akhir dari sumpet yang hampir jadi. Seperti finishing gitu, merapikan bagian atas sumpet dari sisa-sisa pucot dan menganyamnya ke bagian luar hingga menjadi lebih tebal dan kuat ketika digulung.

Sumpet yang sudah jadi.

Sayang sekali seni kerajinan menganyam sumpet dan tikar semakin langka di kalangan suku Lom. Pengrajin sumpet terbatas pada ibu-ibu yang sudah berumur. Pantas Unyang semangat sekali mengajarkan kami bagaimana membuat sumpet. Karena penerus pembuat sumpet semakin berkurang.

Jika ingin berkunjung ke Pantai Pejem, tidak ada salahnya untuk mampir ke rumah Unyang untuk belajar membuat sumpet dan menganyam tikar. Beberapa sumpet dijual sebagai souvenir atau bisa juga dipakai untuk keperluan sehari-hari. Rumah Unyang tepat berada di depan pantai Pejem. Tapi agak sedikit tersembunyi karena agak masuk ke dalam dan tertutup kebun kelapa.

Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

7 tanggapan untuk “Belajar Menganyam di Pantai Pejam”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: