Aku menggenggam sebuah jam tangan berwarna hitam di tangan kiri. Menimbang-nimbang apakah warnanya tak akan membuat orang lain memperhatikannya jika kupakai? Lalu kulingkarkan ke dua tali karetnya di pergelangan tangan. Mematutkan diri di depan cermin sambil berpura-pura tak ada yang melihat. Jam tangan yang tak bermerk ini terlihat keren. Desainnya tampak sangat sporty dan tali karetnya terasa enak di kulit. Lalu aku memutuskan membeli jam tangan itu dan pulang dengan perasaan sedikit malu.
Itu pengalaman tujuh tahun yang lalu. Pertama kalinya aku membeli jam tangan dengan uang keringat sendiri. Dan semenjak itu pula aku menyadari bahwa aku memang tak bisa berjodoh dengan aksesoris. Jam tangan yang kubeli dengan perasaan seperti sedang diintai harimau itu akhirnya teronggok di dalam sudut lemari. Di bagian paling bawah tumpukan baju. Terakhir kali kulihat jarumnya sudah tidak bergerak lagi.
Sebagai orang yang pemalu, mendapat perhatian lebih ketika memiliki sesuatu yang baru itu terlalu berat buatku. Setidaknya waktu itu. Sekarang pun masih sering salah tingkah juga kalau diperhatikan. Jam tangan hitam nan elegan itu hanya bertahan di tangan selama 5 hari karena tak tahan ditanya-tanyai. Padahal jam tangan murah doaaaang.
Tidak memiliki jam tangan bukan berarti aku menjadi buta waktu. Masih ada hp untuk tahu waktu. Meski harus merogoh dompet dulu. Tapi waktu itu, frekuensi memperhatikan jam tak seperti sekarang. Apalagi ketika tinggal di Aceh. Hidup berjalan dengan santai. Tidak ada yang memburu kecuali hitungan mundur detik di lampu merah atau awan yang mendung.
Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah lagi tertarik membeli jam. Atau pun aksesoris lainnya seperti topi, cincin, jam tangan, gelang, atau kaca mata. Rasanya semua itu tak cocok kupakai di badan. Setiap kali mencoba pakai, rasanya aneh. Tapi seiring waktu, usia bertambah, tempat tinggal terus berpindah. Kebutuhan juga mulai berubah. Termasuk kebutuhan untuk mengetahui waktu dengan cepat. Hidup sudah tak lagi bisa sesantai dulu. Apalagi hidup nomaden seperti sekarang ini. Rasanya sekian detik amat berharga. Telat sedikit, rejeki melayang. Salah perhitungan waktu, siap-siap menunggu lebih lama. Saat itulah aku merasa harus memiliki jam tangan.
Bayangan-bayangan masa lalu suka datang mengingatkan tentang jam tangan hitam nan elegan yang tali karetnya yang lembut itu. Apalagi ketika sedang browsing melihat-lihat halaman khusus Alexander Christie di Zalora. Ketika melihat jam bagus, yang benar-benar bagus, ada mereknya tentu saja, pilihan pun tak jauh berbeda dengan kriteria jam tangan hitam dulu itu. Hati tertambat dengan jam tangan dengan desain simpel ini. Karena selain ada angka jamnya tentu saja, ada angka untuk menitnya pula. Aku yang belum terbiasa menggunakan jam tangan, bisa memulai hidup baru dengan jam tangan ini.
_________________________
P.S.: Please nanti kalau ketemu aku pakai jam tangan, jangan ditanya-tanya ya… :’)
Pemalu?????? seriussssss????? ooooh tidaaaaak
Kan duluuuuu… 😛
“Telat sedikit, rejeki melayang” jaman sekarang ini harus selalu sigap berjuang menjemput rejeki yak :D
ohhh kamu suka diperhatiin..
Iya. Sama kamu. 😘
kak Ocit.. istigfar kak. hahaha
tenang aja cit.., kalau ketemu aku gak bakal nanya-nanya kok, jam tangannya paling langsung aku minta :)
jam tangan yang baru keren kok. jadi beli? hehehe….
jam tangan baru nih…. bagus yah…
kak cit, beneran kamu pemalu? aku kok rada ga percaya ya. hahahaha .. :D
Aku pemalu, kak Noe. Ciusss
Berarti sekarang udah pake jam tangan lagi? Gimana ada yang nanya2? :D
Kalau aku dari dulu gak pernah nyaman pake jam tangan. Kalau pun punya, paling disakuin ._.
Belum. Masih belum punya. Haha… :D
santai gan, nggak bakal ane tanya-tanya kok
Oh pemalu ?????? hua hua hua
Itu kan dulu. Sekarang: malu-maluin. Hahahaha
pemalu? yang bener? haha
Itu kan dulu. Sekarang: malu-maluin. Hahahaha
sini buat aku aja mas jam tangannya haha