Sudah dua akhir pekan berlalu begitu saja semenjak kedatanganku di Pare bulan Maret lalu. Beberapa ajakan ngetrip dari tutor di tempatku tinggal terpaksa kutolak karena destinasinya sudah pernah aku kunjungi. Pada akhir pekan ketiga, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke kabupaten tetangga, Jombang dan Kota Mojokerto, melihat situs-situs bersejarah peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan.
Sebenarnya perjalanan ke Mojokerto dapat ditempuh kurang dari dua jam menaiki sepeda motor. Tapi aku sengaja santai saja berkendara sehingga waktu tempuh perjalanan bertambah lama. Tapi waktu yang terpakai tak terbuang percuma, toh masih bisa menikmati pemandangan di kiri-kanan jalan dengan lebih seksama. Persawahan, kebun-kebun beraneka tanaman yang terlihat amat luas dan rapi-rapi, sungai berair coklat yang terjun dari bendungan mengempas bebatuan hitam di dasar sungai, berlatar pegunungan yang tersamar kabut. Belum lagi ditambah setengah jam beristirahat di alun-alun Kota Jombang yang asri. Suasana kotanya juga enak sekali. Banyak pohon, adem, bersih, dan lumayan sepi. Aku menghabiskan waktu empat jam hingga sampai ke Trowulan.
Mencapai situs Trowulan dari Jombang normalnya dapat ditempuh sekitar tiga puluh menit. Beberapa candi di situs Trowulan berada dekat dengan jalan raya yang menghubungkan Jombang dengan Surabaya. Namun bersepedamotor di jalanan yang sibuk ini mesti ekstra hati-hati. Banyak truk single hingga yang gandengan lalu lalang bersama dengan kendaraan lain dari dan menuju Surabaya. Aku masih belum terbiasa berkenderaan dengan lalu lintas yang lumayan ramai begini, harus perhatian benar pada kaca spion dan lampu zein untuk berbelok dan mendahului.
Agak susah jika menuliskan letak-letak candi di kompleks Trowulan. Aku masih buta sama arah mata angin. Entah mana yang barat, timur, utara, atau selatan yang selalu disebut oleh orang yang aku tanyai arah lokasi candi. Tahunya cuma kiri dan kanan. Aku hanya mengandalkan papan-papan petunjuk arah berwarna hijau yang banyak ditemui di tiap persimpangan. Lumayan membantu untuk mencapai beberapa situs. Sayangnya tidak semua lokasi yang tercantum dalam brosur dapat aku temui. Seperti Siti Inggil, Makam Putri Campa, Candi Menak Jingga, Candi Kedaton, dan lainnya. Entah karena papannya hilang atau tak terlihat, aku melewati beberapa. Meski sudah dibekali dengan peta dari brosur panduan tetap saja membingungkan karena tidak detil menunjukkan jalan-jalannya. Susah pun melihat peta di brosur saat mengendarai sepeda motor. Jika punya waktu yang banyak, jangan sungkan bertanya jika ingin mengunjungi setiap lokasi pada situs yang tercantum dalam brosur. Brosur peta Trowulan bisa kamu dapatkan di pos penjagaan di candi mana pun yang kamu kunjungi.

Candi pertama yang aku singgahi adalah Candi Brahu. Candi ini dikitari persawahan yang luas. Jalan beraspal kecil akan membantumu untuk mencapai Candi Gentong. Candi Brahu, berikut juga dengan candi-candi yang lain sudah ditata dengan indah. Bagaikan taman, lokasinya bersih, tanamannya teratur dan rumputnya dipangkas rapi. Para murid berseragam pramuka bergerombol duduk di atas rumput, mengitari guru yang berteriak-teriak memanggil muridnya yang masih berlarian dan melompat-lompat sambil memekik di seberang taman.
Candi-candi di situs Trowulan ini dibangun dengan bata merah. Beberapa sudah dipugar hingga kembali menyerupai bentuk awalnya. Beberapa candi lagi seperti Candi Gentong 1 & 2 hanya tersisa pondasinya saja. Kedua candi ini dinaungi atap rendah dan diberi peringatan larangan bagi pengunjung menaiki puing-puing candi. Keduanya dipasang supaya tidak memperparah kerusakan pada candi. Sebagai gantinya, pengunjung dapat berjalan mengitari ke dua candi melewati jalan setapak yang dibangun khusus dari paving block. Tanah coklat di pinggir dan dalam candi telah mejadi padang sarang binatang undur-undur. Ada ratusan corong jebakan undur-undur terpasang di permukaan tanah yang halus. Siapa yang pernah menangkap undur-undur dengan semut rang-rang pada masa kecilnya? Ayo ngacung! :D
Ketika matahari berada di atas kepala, aku bergerak ke Kolam Segaran. Sekitar 15 menit dari Candi Gentong. Pada masa Majapahit, kolam ini berfungsi sebagai waduk dan penampungan air. Konon Hayam Wuruk pernah menjamu tamu dari Tiongkok dengan piring-piring emas di pinggir kolam ini. Lalu semua piring yang sudah dipakai dibuang ke dalam kolam untuk menunjukkan pada tamu betapa kerajaan mereka kaya raya. Keberadaan piring-piring tersebut menjadi cerita berbalut mistis yang tersebar dari mulut ke mulut, turun temurun, mungkin dengan penambahan cerita untuk efek dramatis.
Pinggiran kolam dibatasi dengan bangunan dari susunan bata. Selain pemancing, pinggiran kolam juga diramaikan oleh anak-anak berseragam sekolah yang sibuk selfie, dan beberapa pasangan yang sedang pacaran di bawah teduh pepohonan yang agak tertutup. Sebenarnya aku penasaran mereka ngapain saja, tapi takut ketahuan terus diteriaki: YEEE JOMBLO YAAA… yaudah aku keluarkan Beng-beng terus ngemil di pinggir kolam. :/
Museum Trowulan berada kurang dari seratus meter dari Kolam Segaran. Bis-bis besar mengantarkan anak-anak sekolah dasar mengunjungi museum. Tangan-tangan mungil mereka membawa buku catatan dan sibuk menulis-nulis dan menggambar kembali benda-benda koleksi museum di kertas catatan. Mereka berdiri dan mengamati koleksi dengan tekun. Mulai dari arca, tiang rumah, atap rumah, hingga guci-guci tak luput dari perhatian mereka. Kebanyakan koleksi di Museum Trowulan adalah benda-benda relik dari masa Majapahit dan juga dari temuan-temuan lain di daerah Jawa Timur.
Masih di kompleks museum, di luar gedung, dua buah naungan berkerangka baja menutupi areal puing-puing perumahan pada masa kerajaan Majapahit. Jembatan beralaskan papan kayu menghubungi kedua naungan. Dari atas situ kita bisa mengamati sisa-sisa pondasi dan lantai rumah yang disusun dari bata-bata, dan juga terdapat bekas sumur. Sayangnya yang tersisa dari perumahan ini hanya yang terbuat dari bata saja, karena bagian atas bangunan rumah dibuat dari papan sudah tentu hancur dan musnah. Tapi sebuah replika rumah pada zaman itu berhasil direkaulang. Ukurannya kecil saja dan amat sederhana. Hanya ada satu kamar dengan balai-balai. Kamu bisa melihat rumah replika ini di gedung terbuka di belakang museum, bersama dengan prasasti-prasasti, patung-patung, dan benda-benda peninggalan lainnya.
Lembar-lembar papan berkeriap ketika kaki melangkah. Derik-derik papan yang mulai melapuk membuatku khawatir lantainya ambrol jika berjalan terlalu cepat. Aku memilih berjalan di bagian papan yang dibawahnya ada tulang baja yang menyangga. Papan-papan pada anak tangga juga lebih mengkhawatirkan lagi, serat kayu sudah terburai hingga papan bolong-bolong memperlihatkan dasar lantai di bawah. Semoga kerusakan-kerusakan ini dapat segera diganti dengan yang lebih kokoh supaya tidak mencelakakan pengunjung.
Dua jam berlalu di kompleks museum tanpa aku sadari. Berjalan lambat-lambat lalu berhenti untuk mengamati dan membaca, jalan lagi, berhenti lagi beberapa menit sambil membaca keterangan pada benda-benda kuno itu lumayan membuat betis pegal. Tapi aku senang, ternyata tak semua museum itu membosankan. Malah menambah rasa ingin tahu. Merangsang imajinasi, membayang-bayangkan sendiri bagaimana kehidupan masa dulu seperti apa, apakah bahasa yang mereka gunakan sama dengan bahasa jawa yang kita dengar sekarang, dunia perpolitikannya seperti apa, apakah sama benar dengan yang dituliskan dalam novel Naga Bumi karya Seno Gumira Ajidarma? Beragam pertanyaan muncul hingga cuaca berubah dan menghentikan aku berimajinasi.
Rintik hujan mulai turun ketika angsa-angsa sibuk menyodokkan paruhnya ke dalam lumpur di dasar kolam depan museum. Seekor ular berwarna hijau terang sebesar jari telunjuk bergegas meliukkan badannya, berondok ke dalam perdu di bawah pohon Angsana. Penampakan ular itu membuatku terlonjak dan buru-buru lari menjauh dari tempat ular menemukan lokasi aman dari penglihatanku. Perjalananku melihat bekas-bekas kerajaan Majapahit diakhiri dengan segelas Es Dawet yang menyegarkan.
Sampai sekarang sebenarnya sebutan Trowulan sebagai pusat/ibukota kerajaan Majapahit masih berupa dugaan-dugaan. Sebesar apakah Majapahit zaman dahulu, masih adakah peninggalan yang masih terpendam, banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Wah kalau di Pare tahu gitu bisa mampir ke Malang :D
Lama kali kau menulis petulanganmu di Trowulan hahaha…
Nunggu 2 bulan lagi diterbitkan yang tulisan Jombang haha
hahaha…yg trowulan ini udah selesai lama tapi baru teringat utk posting sekarang. yg Jombang, ngga taulah kapan selesainya. :p
Udah lama tahu keberadaan situs trowulan ini, tapi belom pernah mampir malah :D Kondisi candi dan beberapa artefaknya masih terawat ya?
Masih terawat, Bang Mi. Bagus-bagus. Aku aja betah lama-lama di sana. Enak kali pokoknya. Harus datang tuh. Kan udah dekat. :D
nanti pas pulkam deh, sekalian melipir kesini sebelum ke bandara di surabaya 😁😁
Pas pagi di Trowulan itu kabutnya tebel lho! Lumayan aneh menurutku soalnya kan deket sama jalan raya. Tapi ya candi-candinya jadi kelihatan mistis, hehehe. Terakhir aku ke sana tahun 2009, backpackingan, numpang menginap di Vihara.
Pas di sana itu enaknya makan nasi wader di pinggir kolam Segaran. Tapi ikannya nggak berasal dari kolam Segaran karena ikan di sana nggak boleh dipancing. Waktu itu dapet banyak cerita mistis juga tentang Trowulan. Apalagi pas keluar malam-malam, serasa kembali ke kehidupan jaman Majapahit, hahaha :D.
Ah, baca ini jadi kangen ke Trowulan lagi, nginep sama biksu-biksu terus keliling candi-candi..
Tapi waktu aku ke sana ada yang memancing. :D
wah nekat itu, apa nggak tau “larangan”nya atau memang “kutukannya” udah nggak seampuh dulu y.. hehehe
Hahaha…nggak tau juga, Bang. Mungkin sudah mulai luntur kepercayaan orang-orang sama cerita-cerita mistisnya kali ya. Tapi aku jadi penasaran kalau pagi-pagi di sana gimana. Waktu jalan dari Pare ke Jombang aja kebun-kebun di pinggir jalan itu juga berkabut. Suka kali aku liatnya.