Bermalam di Bukit Lhok Mee

Sabtu malam, aku tiba di perbukitan ini pada pukul 8. Honda Beat yang aku kendarai membelah pekat malam, melindas karang-karang, menerbangkan debu-debu pasir halus. Ketika tanjakan, ku tarik gas lebih dalam. Bau sangit dari karet kopling tercium karena motor dipaksa menaiki tanjakan di jalan yang berbatu-batu. 10 menit kemudian aku tiba di lokasi yang aku inginkan tanpa tersesat karena sudah hapal betul jalan-jalan setapaknya.

Aku segera mendirikan kemah di samping sebuah pohon setelah sebelumnya membersihkan serakan karang di permukaan tanah datar. Dataran yang kupilih adalah sebuah bukit karang yang menjorok ke laut setinggi 10 meter. Permukaannya sudah sepenuhnya tertutupi tanah dan dilapisi rumput. Tiga batang pohon seukuran paha tumbuh di pinggir tebing. Aku mengikatkan ayunan pada dua batang pohon. Setelah beres, aku menggelar matras di samping tenda dan merebahkan badan, menantang langit.

Hamparan bintang di atasku berkelap-kelip seperti pijar lampu pada perahu nelayan di tengah laut. Merah, kuning, dan biru. Terbingkai dengan awan dan siluet pepohonan. Di ufuk barat, sesekali kilat membelah langit dari balik awan yang perlahan-lahan menutupi pertunjukkan bintang jatuh yang membuatku berdecak kagum.

Aku ingat pada penjelasan seorang mahasiswa astronomi ketika berkunjung ke observatorium Boscha tahun 2012 lalu. Cahaya bintang yang berkelip-kelip karena ketidakstabilan atmosfir di bumi. Dan cahaya bintang yang kita lihat pada malam hari sebenarnya adalah cahaya yang ‘traveling’ selama bertahun-tahun. Jadi cahaya yang kita lihat itu menempuh waktu tahunan hingga mencapai bumi. Contohnya seperti bintang terdekat kedua dengan bumi, Proxima Centauri yang berjarak empat tahun cahaya. Sedangkan cahaya matahari kita menempuh waktu hanya 8 menit saja.

Berbaring di atas bukit dan mata nyaris tak berkedip memandangi ribuan bintang. Takut rugi melewatkan momen bintang jatuh yang hanya terlihat sepersekian detik itu. Gigitan nyamuk pun tak lagi terasa. Suara hempasan ombak pada tebing-tebing karang di cekungan bukit di bawah pun lenyap. Khayalanku membumbung tinggi dan melesat bagaikan kecepatan warp menembus gelapnya ruang hampa di antara gugusan bintang. Tapi aku tidak sedang berada di dalam USS Interprise. Aku tak bisa menentukan tujuan akan berkunjung ke planet mana. Khayalanku terhempas kembali dengan kecepatan warp yang sama ke bumi dengan banyak sekali tanda tanya.

Jagad raya yang maha luas ini, benarkah ada makhluk selain kita yang tinggal di galaksi lain? Romulan? Autobot? Klyngon? Bumi-bumi lain? Romulus? Krypton? Coruscant? Cybertron?

Apakah kita benar-benar sendiri? Aku terlelap dengan membiarkan pertanyaan itu pupus terbawa angin malam.

Angin yang meniup dedaunan pada ranting-ranting di atas ayunanku mendesau halus. Aku perlahan-lahan membuka mata dan desau angin itu bagaikan mantra yang membuat kelopak mata terasa berat untuk digerakkan. Sejenak aku biarkan ‘ruh’ ku kembali utuh ke dalam tubuh hingga aku menyadari keberadaanku di dalam ayunan. Ketika telinga menangkap suara hempasan ombak, aku baru benar-benar sadar sedang berada di mana.

Lhok Mee tak hanya memiliki pantai berpasir putih yang dibentengi dengan pohon beurambang yang tumbuh di depan pantainya. Tapi juga perbukitan karang yang menawan dan penuh misteri sejarah masa lalu Aceh. Lhok Mee terletak di Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Sekitar 38 KM dari kota Banda Aceh. Aku sedang berada sekitar seribu meter dari pantai Pasir Putih, Lhok Mee, di sebuah bukit di pinggir laut.

Subuh mulai beranjak pagi. Warna hitam pekat mulai terangkat namun mata masih hendak tertutup rapat.Kantung tidur yang kujadikan selimut teronggok di ujung ayunan. Kutolehkan muka ke kanan. Di balik siluet bukit dan pepohonan tampak awan berwarna biru menutupi ufuk barat tempat matahari akan segera terbit. Warna-warna seperti jingga dan biru muda merayap pelan menyergap awan biru pekat yang menutupi matahari.

Aku berlari ke bukit yang menghalangi pandanganku itu. Dari atas sana aku bisa melihat lebih jelas detik-detik matahari naik meski hanya dari pergerakkan cahayanya saja pada langit dan awan. Matahari sendiri sepenuhnya tertutupi oleh awan itu. Akibatnya, bayangan awan jatuh menutupi pohon beurambang yang tumbuh di depan pantai pasir putih dan pemukiman warga di Dusun Lhok Mee. Aku duduk bersila di atas rerumputan basah dan menikmati gradasi warna-warna ajaib saat matahari mulai bergerak naik dari belakang selimut tebalnya. Indah sekali!

Keindahan mentari pagi ini bukan satu-satunya yang dapat kunikmati di perbukitan kampung penuh sejarah ini, Gampong Lamreh. Perbukitan ini ditumbuhi jarang-jarang pohon jambee kleng (jamblang) dan rumput kering kekuningan. Batu-batu gunung hitam legam terbakar matahari berserakan bersama kotoran sapi dan kambing dan koral-koral laut di sepanjang jalan setapak. Koral-koral ini menjadi pertanda bahwa daratan ini pernah berada di bawah permukaan laut. Di puncak-puncak bukit ini terdapat parit-parit tempat para prajurit Jepang menjaga daerah kekuasaannya.

Jika kita memalingkan wajah ke arah utara, terlihat sebuah teluk berpantai pasir dengan muara sungai yang membelah di tengah-tengahnya. Di pinggir pantai sana terdapat sisa-sisa peninggalan Benteng Kuta Lubok yang terlantar. Naik sedikit menyusuri bibir pantai dan tebing-tebing ke sebuah bukit yang terkenal dengan Benteng Inong Balee. Di pinggir tebing setinggi 20 meter itulah para laskar perempuan Aceh di bawah pimpinan Laksamana Malahayati mengintai kapal-kapal Belanda. Susuri tebing-tebing melewati mercusuar hingga ke ujung bukit. Di depannya sebuah pulau kecil teronggok yang menurut cerita masyarakat setempat adalah jelmaan sebuah kapal seorang anak yang durhaka pada ibunya, dialah Si Amat Ramanyang yang dikutuk menjadi batu.

Aku menghela nafas panjang. Tertegun melihat pemandangan indah di sekelilingku. Indah namun mengkhawatirkan. Antara aku harus bersyukur dengan kurangnya eksploitasi dan berharap semua orang datang melihat apa yang kulihat. Tanpa eksploitasi saja sampah sudah bertebaran di atas bukit ini dan sampah plastik mengapung seperti ubur-ubur di permukaan laut. Sampai kapan rakyat Aceh peduli dengan kebersihan? Sampai kapan rakyat Aceh yang dikenal berbudaya ini berhenti membuang sampah tidak pada tempatnya? Apakah membuang sampah sembarangan sudah menjadi budaya Aceh? Hhhhhh. Aku kembali menghela nafas panjang dan menghembusnya keras-keras. Jika saja kita semua mau menjaga kebersihan lingkungan, hal kecil saja, seperti tidak membuang sampah sembarangan, alam akan senantiasa bersih, semua orang akan senang datang dan melihat Aceh.

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

82 tanggapan untuk “Bermalam di Bukit Lhok Mee”

  1. fotonya keren keren mas.
    Saya suka yang foto pantai dan terakhir foto dengan resolusi tinggi yang bertabur bintang dilangit itu… terlebih lagi, saya memang percaya ada penghuni lain di alam sana. dan mungkin bisa jadi lebih keren dari optimus prime..

    salam dan terus berkarya mas :)

  2. didalam kesendirian disana , apa ga mrasa trpikir hal-hal mistis bang ?
    diperbukitan itu pernah ada kehidupan loh masa monarki dahulu bahkan sebelum kerajaan Aceh berdiri , hehe

    btw, dengan liat foto pagi hari nya itu loh .. dapat x ‘feel’ nya.. awesome !

    1. Ketika sendiri itu pikiran kita akan melang-lang kemana-mana. Pikiran tentang mistis dan segala hal yang lainnya terlintas berkali-kali. Tapi kalau aku menuruti rasa takut, aku nggak akan pergi kemana-mana. :D

  3. mantap nih, diakhir tulisan memang harus ada pesan untuk edukasi kepada masyarakat (warga) yang memang ingin datang kesana. Jangan sampai terkecoh seperti tulisan pedas dari Arman Dhani di blognya sila cek saja di Responsible (Travel) Writer menarik untuk dibaca oleh blogger di Aceh :)

    1. Jalan-jalan sama keluarga juga pasti nggak kalah seru tuh, Bang. Ada lho keluarga yang bawa anak dan istrinya mendaki gunung. Penting juga untuk pendidikan anaknya. Keren lho kalau anak sudah diajarkan kebaikan alam sejak dari kecil. :)

  4. citraaa… pingin. ih, aku mesti ngajakin bang ceudah berkemah kesini waktu pulang nanti. kemarin Cuma dari siang sampe sore n pulang lewat jalan yang tembus ke Bandara sim. btw, boleh pinjam kemahnya Ngga? ;)

Tinggalkan Balasan ke arielkahhari Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.