Ngeliwet, Pantai Bagedur, dan Curug Munding

Akhir minggu yang panjang dan langka di bulan Maret lalu (17-19/03) aku gunakan untuk berlibur di Malingping, Kabupaten Lebak, Banten. Jaraknya lumayan jauh sih dari tempat tinggalku. Hampir 3 jam perjalanan dengan motor yang harus aku dan 5 orang teman kantor habiskan dari Baros, Kabupaten Serang.

Jika aku mengulang kembali perjalanan ini seorang diri, aku yakin akan tersasar. Karena rute dari Baros ke Malingping ini ada banyak sekali persimpangan jalan yang menghubungkan satu kecamatan ke kecamatan yang lain, kabupaten satu ke kabupaten yang lain lagi. Rutenya membuat aku bingung meski ada penunjuk jalan sekali pun. Untungnya kemarin itu aku dipandu oleh orang Malingping sendiri, Bang Suro, yang akan menjamu kami di rumahnya selama dua hari.

Perjalanan ini sudah direncanakan seminggu yang lalu. Aku awalnya yakin rencana ini akan gagal sebagaimana rencana-rencana sebelumnya yang pernah kami buat. Tapi kali ini alhamdulillah, jadi juga rupanya.

Rumah Bang Suro berada sekitar 10 km dari kota Malingping, melewati jalan aspal dan beton yang berkelok-kelok, naik dan turun bukit. Melewati kebun sawit, hutan, melintasi pasar, dihalangi hujan lebat, dan dipanggang matahari. Kami tiba saat tengah hari dengan perut lapar. Beberapa buah jambu batu, jeruk, kokosan (sejenis langsat), dan duku disuguhkan untuk mengganjal perut yang berontak sebelum makanan utama dihidangkan.

Kami mengadakan liwetan atau ngeliwet untuk makan siang di hari pertama itu. Makan ala anak pesantren berupa nasi liwet dan ikan bakar yang disajikan di atas daun pisang dan disantap bersama-sama di beranda rumah. Sungguh sedap! Makan siang ini baru bisa disantap pada pukul 2 siang. Terbilang cukup telat, karena menyiapkan semua makanan itu butuh waktu lumayan lama.

 

Empat orang teman yang lain menyusul dari Serang dan tiba di rumah selepas jam 9 malam. Empat vespa diparkir di depan warung, Bang Sarif dan teman-temannya telah tiba dan tampak kembali bersemangat setelah melihat mangkuk-mangkuk bakso ikan dan mie ayam yang terhidang di meja.

Pantai Bagedur

Rencana awalnya adalah mengunjungi Pantai Sawarna. Tapi jaraknya yang ternyata masih sangat jauh dari rumah Bang Suro dan keterbatasan waktu yang kami miliki, akhirnya rencana diubah ke Pantai Bagedur yang lebih dekat supaya kami masih punya cukup waktu untuk ke Curug Munding di Gunung Kencana.

Pantai Bagedur tampak khas dengan karang-karang hitam yang mendominasi pantai putih kecoklatannya. Gelombang-gelombang besar berdebur keras menghantam karang dan buih-buih putih menyelimuti semua permukaan karang. Angin dengan aroma laut bercampur bau rumput beberapa saat sempat menghempaskan aku kembali ke kampung halaman, rindu pun terobati sudah.

Salah satu sisi Pantai Bagedur yang berkarang.

Kami memilih sebuah pantai yang terdapat semacam atol yang pada pinggir-pinggirnya dibatasi karang. Namun pada bagian terluar, terdapat sebuah celah lebar sehingga gelombang tetap bisa masuk dan mendebur lepas ke pantai berpasir. Pada pantainya pun, terdapat pula karang-karang besar, tinggi dan luas. Sebagian tebingnya menutupi setengah bagian pantai berpasir di dekat atol tadi.

Lokasi mandi yang terlihat amat saat tenang.
Lokasi mandi yang terlihat amat saat tenang.

Gelombang besar menghempas ke sisi batu karang paling luar atol dan menciptakan ombak-ombak di dalam kolam. Di sana lah aku menyeburkan diri. Membiarkan diri dimainkan ombak, mengikuti arus. Tapi aku harus tetap awas pada gelombang besar yang kadang-kadang datang. Arusnya dapat menarik badanku begitu saja dan membenturkannya ke dinding-dinding karang yang tajam. Dua kali aku dan seorang teman nyaris terseret arus. Melihat gelagat alam yang mulai tak ‘aman’ begitu, aku dan teman-teman menyudahi bermain-main di dalam air dan bergegas ke daratan, menikmati jagung dan kacang sambil memperhatikan gelombang laut selatan dari balik karang. Terlihat anggun dan ganas di saat bersamaan.

Detik-detik saat gelombang besar datang. Arusnya menyeretku dengan kuat.
Detik-detik saat gelombang besar datang. Arusnya menyeretku dengan kuat.

Ketika matahari sudah semakin tinggi, kami memutuskan kembali ke rumah Bang Suro untuk bersiap pula ke Curug Munding. Tapi sebelum berangkat ke sana, tanpa Bang Suro dan aku ketahui, beberapa orang teman yang lain rupanya telah berbelanja ikan dan sotong di Pasar Malingping untuk dibakar sebagai menu makan siang. Seekor ikan laut besar yang entah apa namanya serta 2 kilogram sotong tiba di rumah saat aku tertidur di balai-balai.

Aku terbangun ketika mendengar suara cempreng knalpot vespa dan membantu semampuku apa yang bisa dibantu. Pekerjaan dapur itu lebih banyak dikerjakan oleh teman-temanku. Mereka tampak sangat berpengalaman dengan urusan membersihkan ikan, sotong, meracik bumbu, membakar arang, dan menanak nasi liwet. Aku yang tak pernah mondok ini merasa sedikit tak enak hati karena lebih banyak duduk memperhatikan.

Acara ngeliwet ini juga butuh waktu berjam-jam. Setelah lauk dan sambal ludes, ditambah dengan istirahat untuk memberi waktu lambung mencerna beberapa saat, kami kembali berkemas dan pamit pada keluarga Bang Suro. Sedangkan Bang Suro masih terus ikut menemani ke Curug Munding.

Bang Suro menaiki motor trail bututnya yang tadi malam diambil dari rumah mertuanya saat kami berjalan-jalan di Alun-alun Malingping. Suaranya sungguh membuat kuping pengang jika berada terlalu dekat. Sedangkan aku dan yang lain, kecuali Bang Jali dengan motor trail juga, mengendarai vespa dan motor matic.

Curug Munding

Ada dua jalur untuk menuju ke lokasi air terjun ini. Yang satu memiliki penanda dengan nama balok Curug Munding Caringin Gunung Kencana di pintu gerbang. Sedangkan yang satu lagi yang kami lalui-tidak ada petunjuk apa-apa. Namun kedua jalur ini sama-sama tidak diaspal. Atau lebih tepatnya aspalnya sudah hancur. Yang tersisa hanya jalanan berbatu dan sedikit aspal di beberapa ruas.

Kondisi jalan menuju Curug Munding.
Kondisi jalan menuju Curug Munding.

Perjalanan menuju lokasi parkir menjadi terasa lebih lama dan jauh karena kondisi jalan seperti itu. Ditambah pula dengan beberapa jalur yang mendaki lalu menurun dengan tikungan yang tajam. Namun di tengah kondisi jalan yang rusak begitu, ada pula sebuah kampung. Di sanalah kami memarkirkan motor di tempat yang sudah disediakan warga.

Jarak dari tempat parkir ke air terjun tak terlalu jauh. Hanya 15 menit berjalan kaki di jalan setapak yang sudah di-paving block. Air terjun jatuh dari atas tebing batu setinggi kurang lebih 10 meter dan mengalir ke sungai di lembah yang membelah persawahan terasering yang saat itu sedang menghijau. Waktu itu sudah jam 3 sore. Aku tak membuang-buang waktu lagi dengan mengobrol. Kubuka baju dan mengganti celana panjang ke celana renang lalu menyeberangi sungai.

Persawahan di dekat air terjun Curug Munding.
Persawahan di dekat air terjun Curug Munding.
Curug Munding Caringin di Gunung Kencana, Lebak.
Curug Munding Caringin di Gunung Kencana, Lebak.

Airnya keruh, kecoklatan. Ada tebing batu besar di kedua sisi kolam air terjun. Pada satu sisi, terdapat air terjun kecil lagi yang kerap dijadikan lokasi berswafoto dengan latar air terjun. Sedangkan sisi satu lagi ditempati beberapa laki-laki yang bolak-balik melompat ke air, naik ke batu lalu melompat lagi. Aku pun mengikuti mereka dari belakang yang kemudian diikuti oleh teman-temanku yang lain beberapa saat kemudian.

Meski airnya keruh, tapi pemandangan air terjun dari tengah kolam cukup menarik. Apalagi dengan adanya pelangi yang muncul di salah satu satu tebing akibat bias cahaya matahari pada air terjun. Pelangi itu bertahan cukup lama menemani kami bermain-main di dalam air.

Pelangi di Curug Munding Caringin Gunung Kencana
Pelangi di Curug Munding Caringin Gunung Kencana

Setelah puas bermain air, kami berkemas dan pulang. Kali ini Bang Suro kembali pulang ke rumahnya sendirian dengan motor trail tanpa lampu itu. Sedangkan kami mengambil jalan pulang kembali ke Serang.

Cahaya matahari telah sepenuhnya hilang dan malam mengubah semua yang samar-samar tampak begitu asing. Aku tak ingat lagi pernah melewati jalan dan persimpangan yang kami lalui. Agar tak salah jalan, aku sengaja berjalan di dalam iringan-iringan. Tapi sekali-sekali tanpa aku sadari, posisiku sudah berada paling depan. Setiap kali menjumpai persimpangan, aku harus berhenti dulu dan membiarkan teman-teman mendahului dan memandu ke jalan yang benar.

Pergi seorang diri pada siang hari kemungkinan nyasarnya saja sudah besar, apalah lagi jika pulang seorang diri pada malam hari? Tapi apa pun yang terjadi, aku enggak pernah kapok bersepeda motor ke tempat-tempat yang jaraknya terbilang jauh.