Bangun subuh, shalat dan mandi. Manasin motor sebentar dan berangkat ke warung untuk membeli kue-kue. Sudah kebiasaan di kampung kalau sebelum sarapan dihidangkan kue-kue. Tapi ternyata disini cuma ada donat dan energen. Tidak ada warung kopi dan penjual bermacam-macam kue seperti di Meulaboh.
Sudah agak terangan sedikit, kami berkemas lalu pamit ke sodaranya Iwan (anehnya Iwan sendiri ga tau nama abang itu) LOL.
Perjalanan kali ini benar-benar melelahkan, kami harus berputar-putar, naik-turun, meliuk-liuk mengikuti jalan beraspal yang menyusuri pegunungan yang gundul. Ratusan hektar pegunungan tidak lagi ditumbuhi pohon tropis. Semuanya teratur rapi pohon kelapa sawit. Pemandangan yang mengenaskan buatku.
Dua jam perjalanan membawa kami memasuki kota Subulusalam. Setelah berpenat-penat melintasi pegunungan dan sekarang kami berjuang untuk mendaftar cpns. Aku ketemu Dewi dan mencari seseorang yang bisa dibayar untuk menuliskan surat lamaran. Ternyata kami masih harus menunggu berjam-jam lagi untuk dapat giliran. Akhirnya inisiatif sendiri, aku meminta Dewi untuk menuliskan surat-suratnya. Bermodalkan kertas bergaris dan kerta HVS akhirnya Dewi yang menuliskan surat-surat kita semua. Iwan sudah siap dengan sogokan sepiring lontong untuk Dewi dan aku dengan sabar menunggu di samping.
Beberapa kali salah tapi Dewi terus moved on menuliskan empat lembar surat untuk aku, Iwan dan Dika dan untuk dia sendiri tentunya. Setelah selesai semuanya, aku masukkan ke masing-masing map berikut berkas-berkas pendukung lainnya dan aku masuk ke dalam arus puluhan pendaftar di depan loket pendafataran di kantor walikota.
Aku berdesak-desakan menanti nama kami dipanggil jika surat lamaran kami ada yang salah dan harus dikoreksi. Sejam, dua jam, tiga jam aku berdiri di tengah-tengah desakan manusia dengan berbagai aroma dan tingkah. Ada yang meneriakan setiap nama yang dipanggil dari dalam kantor dan para peserta lainnya pun menyahut dengan teriakan nama lalu mengoper map yang berkasnya salah ke pemiliknya di belakang.
Keringat mengucur di punggung dan tangan, betis terasa sangat pegal dan kerongkongan kering. Aku menyerah dan memilih menunggu di belakang saja. Aku membeli tiga botol air dan membagikannya ke kawan-kawan. Tak ada tempat duduk selain teras kantor yang kotor.
Nama kami tetap tak kunjung dipanggil bahkan hingga jam makan siang tiba. Loket pun ditutup. Kami ke warung di dekat rumah tempat Dewi menginap. Di depan warung terpampang pamflet besar berwarna coklat yang bertuliskan CV Mentari Tour dan beberapa mobil L300 diparkir menutupi jalan masuk warung. Setelah makan pun, rasa pegal di betis dan di pinggang tetap tak mau berkurang. Hanya shalat zuhur yang mengobatinya. Dan hujan pun turun dengan anggun mendinginkan semua persendian kami.
Jam dua lewat, pendaftaran pun ditutup. Sekarang petugas masih terus meneriakan nama-nama peserta yang surat lamarannya salah. Kesalahan kecil seperti penulisan “foto copy” yang seharusnya tidak ada spasi antara foto dan copy. Atau peserta lupa menuliskan nama di belakang cetakan foto. Ada juga yang peserta yang tidak mengerti menuliskan surat lamaran. Beberapa kali petugas mengembalikan surat lamaran yang tidak dituliskan formasi apa yg dilamar.
Seluruh kaki kembali mengalami pegal yang hebat, pinggang benar-benar sakit sekali sekarang. Entah kesabaran darimana pula sehingga aku betul-betul sungguh sekali menanti nama kami dipanggil. Sedangkan Iwan dan Dewi menunggu dengan bosan di luar lingkaran peserta yang berdesak-desakkan. Kemudian nama Iwan dipanggil. Ternyata surat lamarannya ada yang salah. Tempat lahirnya tidak sesuai dengan ijazah. Di ijazah dituliskan Rotteungoh, tapi di surat dituliskan Rotteungoh, Meukek. Iwan kembali meminta bantuan Dewi untuk menulis ulang suratnya di depan kantor Wakil Walikota.
Jam setengah empat sore, kami terus menunggu dengan harapan tidak ada surat kami yang harus dikoreksi. Seorang peserta asal Medan sudah memasukkan berkasnya pada jam 9 pagi tadi tapi hingga sekarang belum juga dipanggil. Alhamdulillah, namaku dan Dika dipanggil dan petugas menyorongkan dua lembar kartu pendaftaran. Dewi semakin ga sabar karena namanya belum juga dipanggil. Padahal berkas-berkas kami sudah aku masukin sekalian jam 11 tadi. Sekitar jam empat, nama Dewi pun dipanggil dan menerima kartu pendaftaran.
Lalu kemana Iwan? Hapeku bergetar, Iwan is calling. DOH!!! Ternyata dia sedang santai duduk di sebuah kios voucher pulsa di samping kantor. WT*! Perasaan aku sedari jam sebelas tadi nungguin semuanya tapi kok dia yang tumbang duluan? Huhh…pengen kesal tapi entah kenapa kok saat itu aku ga bisa kesal. Yah, sabar emang ga ada batasnya. Aku menunggu lagi di sana bersama dengan puluhan pendaftar yang mulai kecapean. Alfian, anak Medan yang tadi aku ajak ngobrol bernasib sama dengan Iwan, suratnya harus diperbaiki lagi. Lalu nama Iwan pun dipanggil, aku menerima kartu pendaftarannya.
Kami berdua istirahat sebentar di kios voucher yang rupanya pemiliknya adalah mantan pacarnya Iwan waktu di Meukek. Dan berkat suami mantan pacarnya itu pula berkas Iwan bisa diterima lagi, padahal berkas-berkas pendaftaran sudah tidak bisa lagi dimasukkan jika sudah lewat jam 3 sore.
Kami shalat di mesjid yang ga jauh dari kantor walikota, lalu tancap gas kembali pulang ke Bakongan.