Cahaya matahari pada sore hari ini mulai meredup. Selesai shalat saya memandang dari balik jendela ke awan-awan mendung yang hampir menutupi langit biru dan kelihatan bercahaya keperakkan. Semoga tidak hujan lebat malam ini. Beberapa puluh menit berlalu. Matahari sudah benar-benar tenggelam sekarang. Tidak ada lagi awan yang kelihatan.
Lalu gerimis turun membasahi aspal-aspal yang panas dan menguarkan kabut-kabut tipis. Tercium bau asam ketika saya melangkahkan kaki di trotoar dan menyetop sebuah labi-labi jurusan Darussalam. Saya turun di Merduati dan istirahat sejenak di tepi sungai sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan di atas jembatan lalu perhatian teralihkan ke permukaan sungai. Ikan-ikan berloncatan dan menciptakan riak dan bunyi kecipak sungai. Seolah sedang berada di sebuah tempat nun jauh di pedesaan. Lampu-lampu jalanan dan kendaraan sebagai kunang-kunangnya. Hm…Perasaan ini. Begitu tenang dan damai.
Gerimis semakin melebat. Segera saya bangkit dan berjalan dengan cepat ke arah Mesjid Raya. Berbelok-belok dan sempat beberapa kali berada di tengah-tengah kawanan para kunang-kunang yang sedang berlalu lalang. Saya meliuk menghindarkan diri dari para kunang-kunang yang sepertinya enggan terbang melambat.
Langkah saya percepat. Tak peduli dengan trotoar yang menjadi licin karena basah oleh gerimis. Tak peduli dengan keringat yang terus mengucur membasahi punggung dan tangan dan leher. Tak peduli kemana arah kaki saya melangkah. Hingga saya merasa kelelahan dan penat yang luarbiasa pada betis beserta tulang-tulangnya.
Dalam gelap kaki-kaki ini terus berjalan dan kadang berlari. Berkelebat bayangan-bayangan hitam dan kelabu dalam pikiran. Bayang-bayang masa lalu yang menampar-nampar keras pada kepala, tengkuk dan rahang. Dan memukul-mukul pikiran saya seperti genderang! Teriakan-teriakan menggema dalam kepala mengusir mereka pergi… “pergi…pergi…pergi…”
Lalu saya bertanya :
Kemana saya pergi?
Dimana saya berhenti?
Mengapa saya pergi?
Haruskah saya berhenti?