Udara dingin menembus jaket abu-abu yang kukenakan saat melintasi jalanan sepi Serang-Tangerang pada dini hari itu. Sepeda motor kukebut sampai lampu jalan terlihat seperti berkelebat di sisi kiri dan kanan jalan. Jika tak terlihat lubang di depan, maka tak kukurangi lajunya. Bukan karena ingin cepat tiba. Tapi aku khawatir hujan turun dan aku bisa terhambat lama karena harus berteduh.
Perjalanan dari Serang ke Muara Angke ini menghabiskan
waktu perjalanan lebih kurang 3 jam. Menempuh lebih dari 100 kilometer dengan cuaca yang terus membuatku tak tahan ingin lekas sampai.
Aku memulai perjalanan dari rumah pada pukul 2 dini hari. Dan tiba di Muara Angke pada pukul 5 subuh. Aku terpaksa berhenti dan singgah di depan teras sebuah toko untuk menghindari hujan yang tiba-tiba turun lebat. Yang kukhawatirkan malah terjadi pada saat hampir tiba di lokasi. Semoga hujan ini segera cepat berhenti, doaku dalam hati.
Hujan reda setelah setengah jam aku termangu di depan toko, dikerubuti nyamuk-nyamuk jantan yang kelaparan. Aku meraba ransel dan mendapati bagian bawahnya basah oleh cipratan air. Tapi aku tak begitu ambil pusing, karena bagian bawah ransel hanya berisi nesting. Kunyalakan motor dan mengendarainya lagi menuju tujuan pertama: Pelabuhan Kali Adem.
Aku sudah membikin janji dengan dua orang kawan yang lain untuk berkumpul di pelabuhan. Arkun, Jaka, dan aku berencana berkemah di Pulau Pari jauh hari sebelumnya. Karena liburan kali ini hanya semalam saja, aku pun membawa peralatan berkemah seadanya seperti tenda, kompor gas portable, nesting, mi instan, beberapa cemilan, dan kopi.
Pengalaman beberapa bulan yang lalu saat menyeberang ke Pulau Pramuka, jalan menuju Pelabuhan Kali Adem pada pagi hari akan digenangi air pasang. Jadi tiba sepagi mungkin lebih baik dari pada terjebak lama di tengah bau busuk genangan air.
Motor kutitipkan di tempat penitipan motor yang berada tak jauh dari pelabuhan. Ada banyak tempat penitipan motor, tak perlu khawatir kepenuhan. Ongkosnya 10.000 per malam. Pukul 6 pagi, Arkun dan Jaka tiba ke lokasi yang kemudian disusul pula oleh kawan-kawannya pula: Japra, Dede, dan Dio.
Perjalanan menuju Pulau Pari ditempuh kurang lebih 1 jam dengan ojek kapal yang memuat kurang lebih 50 orang. Seperti kapal penyeberangan umum lainnya, kapal yang aku tumpangi terdiri dari bagian atas dan bawah. Di bagian bawah tersusun tempat duduk sedangkan di bagian atas khusus yang mau lesehan yang cocok banget untuk tidur-tiduran sambil dengerin musik. Tapi memilih lantai paling atas harus berhati-hati dengan percikan ombak dan hujan. Kadang air bisa merembes sampai ke dalam.
Pertama kali aku ke Kepulauan Seribu adalah pada tahun 2010. Banyak sekali perubahan yang terjadi di beberapa pulau yang menjadi destinasi wisata favorit warga Jabodetabek untuk berakhir pekan ini. Dermaga-dermaga juga sudah dibangun lebih bagus. Lebih tertata. Tapi permasalahan yang sepertinya masih belum tertanggulangi adalah sampah dari rumah tangga dan pengunjung yang berlimpah-limpah. Belum lagi ditambah sampah kiriman yang tersangkut di akar-akar pohon bakau di sepanjang pantai. Tapi tidak semua pulau memiliki pengelolaan sampah masyarakat yang baik. Seperti Pulau Untung Jawa misalnya.
Aku lupa ada berapa masjid di Pulau Pari. Tapi yang kuingat, ada satu di tengah pulau tempat kami shalat jumat. Selain masjid, sekolah, dan kantor desa, ada puskesmas yang siap membantu kamu jika sakit. Tahun 2010 silam, aku pernah terkena gejala tipes dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang menyenangkan di pulau ini. Harusnya sekarang pun berobat di pulau bagi pengunjung juga sama mudahnya.
Pulau Pari memiliki dermaga yang lumayan ramai pada akhir pekan. Aku senang melihat banyak kapal bersandar di dermaga. Melihat kesibukan ABK yang mondar-mandir mengatur kapal merapat atau mengangkat tali sauh dan langkah-langkah gegas penumpang yang hendak turun atau naik. Ini mengingatkanku pada perjalanan-perjalanan laut yang pernah aku lakukan sebelumnya.
Ada banyak sekali homestay yang disewakan untuk para tamu. Berbagai kelengkapan di dalamnya dengan beragam harga. Tapi kami lebih memilih untuk berkemah di pinggir pantai. Tidur hanya beralaskan matras tipis, penyejuk udaranya hanya dari angin laut yang kadang-kadang bertiup menyusup dari ventilasi kecil di atas tenda. Musik hanya berasal dari desau angin yang bertiup, debur ombak, atau dari playlist hp Samsung-ku.
Kami mendirikan tenda di Pantai Perawan. Jangan tanya kenapa namanya bisa begitu. Yang jelas pantai ini dikelola dengan lumayan baik andai saja di bagian retribusi ilegal di gerbang masuk ditiadakan. Di kawasan pantai ini berdiri beberapa warung makanan yang kalau kamu ke sini, harus nyobain menu ikan bakarnya. Ada lapangan volly pantai di depan warung. Lalu persis di pantai, terdapat beberapa penyewaan kano dan perahu. Lokasi berkemah sendiri berada di sisi kiri dan kanan pantai. Kami memilih membangun tenda di sisi kiri dari jalur masuk yang terdapat banyak pepohonan rindang. Toilet umum ada di belakang warung.
Pantai Perawan biasanya ramai sekali pada akhir pekan. Pada sore hari, ada banyak pengunjung yang bermain volly pantai. Kamu bisa ikut bermain atau berenang di lautnya yang dangkal. Jika tidak begitu suka basah-basahan, ada penyewaan kano yang dihitung per jam. Tapi aku lupa berapa tarifnya. Atau kamu juga bisa menyewa perahu dayung untuk berkeliling hutang mangrove. Untuk ini kamu butuh ketrampilan tawar menawar untuk mendapatkan harga yang pantas.
Karena aku tak bisa main volly (dan olah raga apa pun yang menggunakan bola), aku memilih berenang. Kubawa Go Pro serta, kali saja ada objek bagus untuk difoto di dalam air. Tapi ternyata baterainya habis. Aku lupa mengisi dayanya sebelum berangkat. Pfft!
Tingkat kedangkalan airnya ternyata juga malesin banget untuk berenang. Air selutut dipakai berenang malah bikin keruh. Akhirnya aku melipir ke tempat sepi dan berendam dalam diam di sana selama setengah jam. Menikmati hangat air laut dan aroma asin. Sekali-kali air menetes ke sudut bibir dan meresap ke dalam mulut.
Matahari akan tenggelam 2 jam lagi. Aku menyudahi berendam dan membilas badan di kamar mandi lalu keluar berjalan-jalan keliling pulau. Melewati rumah-rumah warga dan beberapa pantai yang tak lagi populer seperti Pantai Kresek yang hanya menyisakan bangunan kayu yang melapuk dan roboh. Aku menyusuri Pantai Kresek hingga tiba di Pantai Bintang.
Pantai yang aku susuri dari Pantai Bintang membawaku ke Pantai LIPI. Pemandangan lumrah di pantai-pantai Kepulauan Seribu kembali terlihat di sini. Pepohonan bakau yang lebat dan sampah-sampah kiriman yang menumpuk di akar-akarnya. Aku pikir kalau semua sampah-sampah yang ditemukan di setiap pulau ini dikumpulkan, mungkin bisa kali ya menimbun Jakarta? Haha…
Pantai LIPI berada di dalam kompleks Stasiun Penelitian Oseanografi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Aku menemukan jalan setapak paving block yang mulai rusak yang menembus semak belukar dan hutan bakau yang berujung ke sebuah dermaga. Jalan yang dibangun membelah laut ini juga hampir hancur semuanya. Angin bertiup kencang ketika aku tiba di ujung dermaga. Di atasku, awan mendung tampak bergulung-gulung seperti deburan gelombang laut dilihat dari bawah air. Di tengah laut, hujan sudah turun dengan lebat. Hanya menunggu waktu awan-awan kelabu itu tiba ke pulau dan mengucurkan hujannya.
Aku seharusnya bergegas kembali ke tenda di Pantai Perawan. Namun alih-alih bergerak cepat, aku malah berjalan lambat-lambat. Rasanya tak rela harus meninggalkan pemandangan langka seperti ini. Laut beberapa saat akan hujan bukan pemandangan yang dapat kutengok setiap bulan, setiap minggu, bahkan setiap hari. Aroma manis dari hujan yang ditiup angin laut juga tak bisa kuhidu kapan aku mau.
Alam seperti paham yang kuinginkan. Rintik hujan turun dengan malas untuk memberiku waktu menikmatinya lebih lama. Semakin dekat dengan tenda, hujan turun semakin lebat dan membuatku basah kuyup saat tiba. Akibatnya, juga ikut basah. Tapi anehnya aku malah tidak khawatir sama sekali. Kusimpan ia di dalam lipatan baju dan meninggalkannya semalaman.
Angin meniupkan awan mendung perlahan meninggalkan Pulau Pari. Namun rintik hujan masih terus turun. Makan malam dengan menu ikan bakar segar di salah satu warung di Pantai Perawan membuat rasa khawatir jika hujan akan merembesi tenda sirna. Sejam kemudian, langit bersih dari awan mendung dan kawan-kawan bisa bebas bermain kartu di meja luar warung, sedangkan aku menyeduhkan kopi lalu menikmatinya dengan setoples nastar.
Hm, tulisan yang menghanyutkan. Saya berasa ikut ada di sana, menikmati alam dari subuh hingga malam. Pulau yang indah dengan pantai-pantai. Letaknya juga tidak jauh. Terima kasih ya, beberapa bagian di tulisan ini memberi ide untuk perjalanan berikutnya. Dengan motor dan hujan, hihi. Setuju, pemandangan menjelang hujan itu langka, magis, dan menggetarkan. Rasanya takut-takut seru kalau melihatnya.
Soal sampah, sebagai penghuni Jakarta saya minta maaf. Mungkin ada pula kontribusi saya di sana…
Hahaha…ayolah main-main ke pulau, Gar.
Kuylah!
Meskipun waktu libur singkat, yang penting piknik ya bg..
Sudah lama gak baca tulisan bg cit, akhirnya…
Makasih sudah mampir, Kak Tina…
Ini seru banget ceritanya, berasa ada disana juga
Ayo ke Pulau Pari, Kak… :)
Bang Citra memang si petualang sejati, bukan cilet-cilet :D
Masih petualang cilet-cilet namanya. Hahaha..
Wahh belum kesampaian kemari, cuma sampai Pulau Pramuka ahha
Ya bolehlah. Udah sah pernah tinggal di Jakarta karena udah ke Kepulauan Seribu. Haha…