Aku bukan tipe orang yang gampang mengeluh pada kesulitan. Sekali dua kali pernahlah ya, tapi biasanya langsung tersadarkan kalau mengeluh saja itu enggak cuma membuat mood menjadi lebih buruk. Tapi di hampir setengah perjalanan turun dari puncak Gunung Cikuray beberapa bulan yang lalu, aku tak kuasa menahan diri untuk tak mengeluh pada beratnya perjalanan yang sedang aku hadapi.
Seperti yang aku baca-baca dari catatan pendakian di beberapa blog, mendaki Gunung Cikuray termasuk pendakian yang lumayan berat karena tak ada
“bonus” di sepanjang jalur menuju puncak. Berbekal dari pengetahuan ini, aku sudah menyiapkan diri untuk tak berekspektasi macam-macam selama pendakian ini. Tak akan ada jalan datar, tak ada lookout point untuk menikmati pemandangan bawah.
Pendakian tanpa bonus ini benar-benar menyakitkan. Punggung, bahu, dan lutut bukan main capainya. Sampai eneg banget rasanya setiap kali muka harus menengadah ke atas memperhatikan jalur. Naiiiiik terus tanpa ada jalan datar sedikit saja. Keluh satu-dua pun terlontar. Lutut bergetar setiap kali berhenti untuk mengatur napas yang terengah-engah. Ditambah pula mendengar keluhan dari kawan-kawan yang lain. Semangat buyar tak karuan lagi. Negativitas menular!
Sadar enggak sadar, pertanyaan seperti “masih jauh ga ya?” dan “berapa lama lagi nih?” berulang ditanyakan. Otomatis aja gitu keluar dari mulut. Dan jawaban seperti “dikit lagi mas”, “setengah jalan lagi, bro!”, atau “setengah jam lagi juga nyampe, bang!” menjadi jawaban default dari para pendaki.
Di tengah kelelahan luar biasa itu, jokes garing seperti “semangat bang, McD menanti di puncak!”, “ada Alfamart lho kak”, atau “semangat bang, kaefci di puncak baru bukak!” sering membuat aku tertawa juga. Tapi seringnya tertawa itu juga tanpa sadar sih. Mungkin karena efek dehidrasi atau oksigen yang makin tinggi makin tipis kali ya?
Pendakian tanpa bonus itu tak hanya sekedar tanpa bonus jalanan datar saja, tapi juga minus pemandangan segar. Tak ada tanaman unik, bunga-bunga liar cantik, atau serangga-serangga genit untuk sekedar menghilangkan kejemuan mengikuti tanjakan panjang ini.
Perjalanan naik sih masih mending dibandingkan saat turun. Beban di ransel meski sudah berkurang banyak, tetap saja rasanya sama beratnya dengan saat naik. Semua beban badan dan ransel bertumpu pada lutut. Dengan jalur miring yang turun terus itu membuat lututku kelelahan parah. Sakit banget!
Mau bilang menyerah juga percuma, karena pilihannya cuma turun atau istirahat di tempat. Tapi mau istirahat sampai kapan? Sementara kami harus sudah tiba di Pemancar sebelum sore. Andai ada jasa porter, perosotan, atau flying fox, mau deh aku pakai meski harus bayar mahal. Tapi untungnya sih enggak ada. Karena kalau ada pun, aku enggak punya cukup duit untuk membayar. Hahahaha…
Gunung Cikuray memang menyebalkan banget jalur pendakiannya. Tapi aku senang bisa sampai ke puncaknya setelah memaksa gelambir-gelambir di perut ini untuk nanjak hingga ke puncak. Menyugesti diri sendiri untuk menikmati perjalanan yang belum tentu terjadi keduakalinya. Sambil terus mendaki, aku membayangkan tidur dalam kantung tidur yang hangat dan nyaman yang ternyata itu hanya khayalan belaka. Dan, menjanjikan diri sendiri jika sebentar lagi akan makan enak yang ternyata itu pun tak terjadi juga. Karena beberapa jam kemudian aku terkena penyakit ketinggian.
Sesampai di puncak, aku terkena altitude sickness atau penyakit ketinggian. Kepalaku terasa pusing, pelipis terasa perih ditusuk-tusuk, dan mual. Indomie yang nikmatnya bisa berlipat ganda jika dinikmati di puncak gunung, tak mampu mengusir rasa mual. Karena waktu itu aku enggak tahu bagaimana cara menyembuhkannya, aku tetap berada di puncak, berkeliling menikmati pemandangan. Menikmati kemenangan sambil membanggakan diri dalam hati sudah melewati pendakian terberat yang pernah aku lalui sejauh ini. Hehe…
Grup pendakianku terdiri dari 5 orang: Rizwan, Dedi, Irman, Anwar, dan Aku. Kami beruntung menemukan lahan yang cukup untuk kedua tenda yang letaknya persis di pinggir jalan setapak dan di dekat tebing yang dipagari pepohonan berlumut. Pun lantai yang menjadi alas tendaku pun ditutupi lumut tebal.
Tak ada moment sunset sore itu karena langit mendung dan hujan seperti akan turun dalam waktu dekat. Malamnya memang turun gerimis dan dingin menusuk tulang. Kami memasak makan malam di depan tenda yang ditudungi flysheet dan menikmatinya di dalam tenda.
Tak lama kemudian, Irman dan aku sudah bergelung dalam sleeping bag masing-masing. Harapanku yang tadi ingin menikmati tidur yang hangat dalam sleeping bag, sirna. Dinginnya udara di puncak Cikuray tak mampu ditahan oleh lapisan-lapisan sleeping bag. Aku tak bisa tidur nyenyak malam itu. Aku terbangun berkali-kali karena kedinginan, kaus kakiku basah, dan hidung terasa kering.
Subuh terasa lebih cepat datang. Semua terbangun dan bersiap menuju puncak lagi demi menanti detik-detik matahari terbit. Bersama puluhan pendaki lainnya, kami sudah menyiapkan diri untuk dipukau oleh permainan cahaya mentari pagi, sergapan kabut atau awan yang tak bisa kami bedakan perbedaannya di atas sana.
Tangan di balik sarung tangan mulai terasa membeku. Sedangkan matahari sudah terbit tapi cahayanya tak mampu menembus awan tebal di horizon. Pukul 7, rona oranye pada awan-awan mulai menyebar. Angin dingin bertiup dan aku terus bertahan menahan gatal-gatal pada ujung jari tangan. Untuk menghindari dingin yang menggigit, aku harus bergerak mengitari puncak, melihat tenda-tenda, pendaki, lapak-lapak dagangan para pendaki, dan tentu saja menikmati aksi swafoto yang jamak terlihat di puncak gunung dengan segala aksesorisnya.
Puncak Cikuray pada hari itu dipenuhi oleh tenda warna-warni. Hanya menyisakan jarak satu hingga dua meter saja dari lereng untuk orang-orang berdiri dan berjalan. Semakin terang, semakin ramai orang naik ke puncak untuk berfoto dan berjualan. Aku memutuskan melipir ke depan dan turun untuk melihat tumbuh-tumbuhan saja.
Ketika kawan-kawan yang lain sibuk berfoto dengan selebaran kertas bertuliskan pertanyaan “kapan kamu bla bla bla”, aku asyik sendiri melihat lidah-lidah awan di bawah sana menjalar naik. Angin yang bertiup memainkan lumut tebal yang bergelantungan di ranting pepohonan. Mengeker embun-embun di permukaan pucuk pakis dan mencari serangga yang bisa difoto sampai aku lupa kalau jari tanganku mulai membeku.
***
Gunung Cikuray berada di Garut, Jawa Barat. Puncak Gunung Cikuray berada di 2.818 mdpl dan berada di uruta keempat setelah Gunung Ciremay (3.078 mdpl), Gunung Pangrango (3.019 mdpl), dan Gunung Gede (2.958 mdpl).
Dari Terminal Garut, kami menaiki mobil pick up yang mengantarkan sampai ke Pemancar yang memakan waktu kurang lebih 1 jam. Ongkosnya aku lupa tepatnya berapa, tapi tidak lebih dari 50.000 per orang karena waktu naiknya ramai-ramai dengan pendaki yang lain.
Saranku, naiklah dengan menggunakan sepatu gunung, jangan lupa obat-obatan pribadi, dan bawa makanan ringan seperti kacang dan permen untuk menghindari kebosanan dan kelaparan di tengah jalan. Bawalah air yang cukup dan selalu sediakan kantung sampah untuk sampah-sampah kalian selama pendakian dan saat turun.
Dari kecil tinggal di Garut, paling cuma naik sampai Ngamplang, kaki gunung Cikuray.. hehehe
Wah…lain waktu harus direncanain le puncaknya, Bang..
Wah Cikuray, perjalanan lutut ketemu dada, perjalanan irit air, tapi seru hehe
Setuju. Seru banget kalo dikenang lagi. Hahaha
Wah kok saya nggak liat ya kemaren dari papandayan tenda inih:))
Ga pakek teropong ngelihatnya, bang? Haha
Asik yak masih kuat naek gunung
Hahahaha…ngejek nih. Dikuat-kuatkan, Bang. :p
Hahahaha! Prettt! Saya sih baru nanjak ke kawah papandayan aja udah senen selasa kemis ya:))
Kelihatanya kok sama persis pas Aku hiking minggu lalu hahahaha… padahal klo diliat tracknya jelas ini lebih sadist ..
Asli sepanjang jalan ngeluh, pas turun juga asliiiii…parah parah
Hahahaha…tapi abis itu kapok ga kapok kan? Nagih!
Jadi rindu dinginnya gunung
Gunung Karang kuuuy.
Papandayan dan Guntur udah pernah. Belum terpikir buat ke Cikuray sih. Tapi setelah baca ini……..
Jadi makin yakin ga ke Cikuray dulu! 😄😄😄
Whuahahahaha…harus banyak-banyak latihan deh kalo mau ke Cikuray. Latihan kesabaran juga. Hahaha
Sepertinya belum akan mengulangi pendakian gunung ini dalam waktu dekat ya Bang, hehe. Nggak apa-apa Bang, seberat-beratnya Gunung Cikuray nanti jadi satu postingan blog ini kan. Bagus-bagus fotonya, meski pendakiannya diwarnai dengan banyak keluhan, saya yakin pemandangan di sana pasti kelas satu. Kelihatan dari gambar-gambarnya. Semangat Bang, ditunggu kisah pendakian selanjutnya, dan siapa tahu ada situs-situs yang membuat saya tertarik untuk ikut, hehe!
Hahaha…betul. ga akan ke situ lagi dalam waktu dekat. Dan sayangnya ga terlihat ada situs di sepanjang perjalanan ke atas Cikuray.. haha
sabar ya bang Cit… gunung itu memang kek gitu dia.. :p
Masa sih dia gitu? Emangnya abang kenal sama dia? Hmm..jangan-jangan…kalian pernah pacaran ya dulu? Icikiwiiiir…
Sebagai Pendaki Cilet-Cilet* aku pilih gunung yang gerakan dengkul ga perlu lebih lebar dari 90° aja.
*pinjem tagline blog ini
Hahahahaha…boleh boleh boleh…Nanti mau cari gunung yang treknya bisa jalan santai aja juga ah…
Hahaha, jadi inget pengalaman ke sana tahun 2015. Aku biasanya memanfaatkan “undakan-undakan” alami dari batang atau batu-batuan untuk beristirahat. Saat itu, aku nggak terlalu kesal dengan curamnya jalur pendakian, namun kesal dengan debu di menit-menit awal pendakian. Saat itu adalah musim kemarau, Gunung Cikuray kering sekering-keringnya. Di menit-menit awal pendakian, kami melalui medan tanah kering. Sekali injak, debu beterbangan ke mana-mana dan sialnya kami nggak bawa masker karena nggak ada ekspektasi seperti itu.
Btw saat itu turunnya gampang banget, 3 jam dapet, hahaha (nggak tahu deh kalo pake dengkul sekarang). Dan sempet bertemu dengan kebakaran kecil di jalur pendakian. Pemandangan Cikuray memang cakep banget! Samudera awan pun aku dapatkan. Sayangnya, puncak Cikuray itu sempit, jadi harus berebut lahan dengan pendaki lainnya.
Turunnya itu sakit banget di dengkul. Awal pendakian juga sama, debu tanah merahnya pada naik.
aku kerasa sakitnya baru besoknya bang, hahaha
Daebak! Aku sakitnya dari turun sampai harus libur lari selama 3 bulan. :(
Whaaattt? Kamu kan rajin lari bang.
wah seru banget nih .. apalagi foto yang di atas keren banget
Hal yang aku tunggu2 pas baca ceritanya Mas Citra, foto-foto makronya! Bagus banget *salfok
Haha… Makasih, Bang Jon!
Bacanya aja udah kerasa dingin banget udaranya. Gimana kalau aku ke sana ya? Atau malah gak kedinginan karena lemak di tubuhku banyak? :D
Kayaknya kalau kamu ke sana aman dari dingin, Ri. Hahahaha…
iih, pas baca postingan ini, diluar lagi hujan deras dan aku kedinginan. sekarang tambah dingin gara-gara lihat cuaca di gunung cikurat
Aku tiap kali ingat kondisi di puncak Cikuray langsung merasa kapok. haha
WOW pemandangan yang bagus dari atas gunung.
Iya Bang. Bagus banget ya?