Cuaca di hari ketigaku di Bukittinggi tak jauh berbeda dengan hari kedua. Langit masih mendung dan… seperti biasa, udara dingin Bukittinggi setiap pagi membuatku enggan berpisah dari kasur dan selimut. Apalagi mengingat air untuk mandi nanti tak ubahnya seperti air dingin yang disimpan di dalam kulkas.
Tapi meski pun dingin menggigilkan, tetap saja aku pakai untuk mengguyur badan setiap pagi. Apalagi pagi ini, Bang Arkan, tuan rumah yang nge-host aku, mengajak jalan-jalan dengan motornya ke Bukit Monggeng dan Puncak Lawang. Dua lokasi yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Tapi dari namanya, aku membayangkan wilayah perbukitan hijau. Tentu kesempatan ini nggak boleh disia-siakan. Makanya pagi itu, aku memaksakan diri untuk bangun dan mandi lebih cepat dari kemarin.
Kami bertolak dari Kota Bukittinggi setelah Bang Arkan membeli sebuah helm titipan seorang kawannya di pasar. Perjalanan ke Monggeng yang berada di Kabupaten Agam ditempuh selama lebih dari setengah jam. Jalan-jalan kecil khas di daerah perbukitan membuatku merasakan de javu. Rasanya aku pernah ke tempat ini, tapi sebenarnya perasaan itu hanya karena aku pernah melewati jalan-jalan kecil pedesaan yang sama seperti di lereng-lereng bukit Gunung Merapi ini. Kesannya sangat familiar.
Kami disambut oleh kawan Bang Arkan, sebut saja namanya Fredi, yang dari sepatu pacok warna kuning yang dipakainya, dapat kupastikan dia baru saja datang dari kebun. Dan ke kebunnyalah kami dibawanya, ke tengah sayuran favoritku: sawi, brokoli, dan bawang! Sudah udaranya sejuk, ditambah pula dengan pemandangan hijau dedaunan sayur segar.
Berdiri di tengah perkebunan sayur di lereng Bukit Monggeng itu, kita dapat mengitarkan pandangan ke segala penjuru. Di hadapanku berdiri Gunung Singgalang, maskot bagi kebanyakan warung Padang di seluruh Indonesia. Pada lereng-lereng Singgalang, tak jauh beda dengan lereng di Marapi seperti Bukit Monggeng ini, menyemut rumah-rumah penduduk berwarna merah bata tak beraturan. Di balik kaki Gunung Singgalang, tampak Danau Maninjau dengan permukaannya yang seputih awan yang sedang berarak di atasnya. Dan ke sanalah aku sebentar lagi akan diantar oleh Bang Arkan. Menikmati panorama Danau Maninjau dari bukit Puncak Lawang.
Perjalanan menuju Puncak Lawang itu ditempuh lebih dari satu jam melintasi kampung-kampung, naik dan turun bukit, melintasi jalan raya yang membelah sawah, lalu terus naik hingga tulisan Puncak Lawang tampak dari kejauhan.
Tadinya kukira Puncak Lawang ditumbuhi pepohonan cengkeh yang dalam bahasa Minang disebut lawang, tapi puncaknya justru ditumbuhi pepohonan pinus yang tumbuh tinggi-tinggi. Angin yang meniup dedaunan kurusnya menciptakan harmoni yang sendu. Mendesau parau yang menyayat kalbu. Meski begitu, tak kurang dari sepuluh pasangan hetero saling bersandaran bahu di situ.
Satu sisi pada lereng bukit dibiarkan bersih dari pepohonan karena menjadi landasan untuk olahraga paralayang. Sayangnya aku datang bukan akhir pekan, padahal sudah pengen banget tandem dan melayang di atas Danau Maninjau.
Areal Puncak Lawang juga dijadikan lokasi kegiatan outbond dan di sampingnya telah menanti lapak-lapak penjual cinderamata dan jajanan pengganjal rasa lapar. Tapi otakku meminta tahan lapar dulu supaya lidah ini bisa menikmati Gulai Itiak Lado Mudo yang terkenal lezat yang direkomendasikan Kak Titi itu dengan optimal. Untuk itu, aku dan Bang Arkan harus kembali ke Bukittinggi, menyusuri dasar Ngarai Sianok lalu belok sana-sini dan voila…kami tiba di sebuah warung bertuliskan Gulai Itiak Lado Mudo Ngarai.
Tapi Gulai Itiak Lado Mudo itu pasti akan senikmat surga yang dirindukan yang diberitakan orang jika saja dibarengi dengan pelayanan prima (minimal segaris senyum pun boleh) dari uda dan uni yang bekerja di sana ya? Atau mungkin saja aku yang apes. Tapi, menyudahi makan dengan rasa kecewa sambil menahan pedas yang berdenyut-denyut di bibir itu asli dongkol banget rasanya… Haha!
Demikianlah aku melewatkan hari ketigaku di Bukittinggi yang cantik tapi antik ini.
Memang yang mudo2 lamak.bana ya broo
Iyo dong, Bang Bro…
bah, lihat foto yang terakhir langsung ngiler pengen cobain :9
Pedasnya sampai ke telinga lho, Bang. :D
Waduu….takana wakatu taun 2009 dari Tanjuang Pati barulang ka Simpangampek jo Onda. Di Bukiktinggi dakek kolam renang, turun ka Sianok, naiak ka bukik apik, taruih ka Matua, Maninjau, Basuang, Bawan, Simpangtigo dan Simpangampek. Rancak bana pamandangan.
Ada itiak lado mudoooooo!!! *histeris*
dari pohon2 nya kayaknya udaranya segar banget yah. memang enak tinggal di pedesaan yang asri
aku kepingin nyobain Gulai Itiak Lado Mudo kalau gini ……….
Kalau sedang di Bukittinggi, bisa dicobain, Kak.
Asik bang, suasana di bukit dan dipedesaan memang selalu membuat rindu sinar di pagi hari ditemani secangkir kopi
Betul sekali, Bang. Menyenangkan banget yah.
yang ijo-ijo memang menyejukan mato, hehe
Ijo royo-royo yo da…
wah ambo nyang sumatro, masakan sumatro emang enak enak ya mas..sambel ijo pake rendang apalagi..
Wah kalau rendang emang juaranya, Bang.. haha
jos banget pemandanganya apa lagi ditambah dengan foto yang terakhir, beh bisa langsung puas, memanjakan mata sekaligus memanjakan perut….
Pemandangannya bagus dan makanannya pun enak! :D
salam kenal kak.. mampir dimari yaa.. :) https://athirahtabuikwisata.wordpress.com/
Cit, gw mupeng lihat yg hijau terhampar kayak karpet dan langit biru yang luas.
suasanya bikin kangen.
Dan iya Cit..maaf banget.. gw gk suka daging itiak lado mudo tuhh
melihatnya aja udh bikin gw sakit perut melilit *maklum gk suka endesssss*
Hahaha..tapi enak bangeeet..pedesnya cuma sebentar doang karena cabenya masih muda.
suasan lebih oke, boleh tuh, makanannya. yang gambar terakhir.
Boleh banget dicoba kalau ke sana..
waaooohhh.. pemandangan dan suasananya adem!
Iyo, da/ni.
wuisss….. kalau dari penampakannya sih kayaknya masih asri banget ya…. kapan-kapan perlu juga nihblogger traveling, biar pikiran fresh .. hehehhe
Blogger harus sering-sering traveling biar jarinya keriting blogging terus. Hehe
Itiak lado ijaunyo yo subana lamak bang, haha
enak banget tu makan yang pedes” di udara yang sejuk… :D
Betul, bang. Berkeringat makannya.
Wih…. seger banget, di jakarta ndak ada yang kayak gini :-)
Kan ada Gunung Sahari
jenis tanah di daerah pegunungan memang cocok buat nanem tanaman, kliatan dari sawinya gede-gede
Subur ya bang
bener banget bang…
Kebun sayur di pegunungan cocok buat selfi-selfi. hehe….
Habis berwisata seharian, memang paling enak menyantab makanan khas daerah setempat. Apalagi itiak lado mudo yang sudah terkenal dengan kelezatannya, hmmmm..
Tapi sayang ya mas, ga dapet pelayanan yang memuaskan?
Haha… Iya, Mas. Mungkin merekanya lelah kali ya..
Wah masih alami banget ijo-ijonya… Nyegerin mata and pikiran.. hehehe
Bener banget, Bang. :D
WOW indah banget pemandangan alamnya. Bukit dan danau terlihat bagus banget.
Iya, Bang. Bagus banget pemandangannya dari sana.
Bagus sekali pemandangan alamnya.
Bagus indah pemandangannya