
Rasa senang membuncah ketika mobil yang aku tumpangi akhirnya tiba di Bukittinggi. Kota yang sudah kuimpikan untuk didatangi sejak 6 tahun yang lalu kini telah ada di segala penjuru. Ibu dari bahasa kampung ayah terdengar dari setiap mulut yang berbicara ketika mobil yang membawaku melewati sekolah dan pasar. Udara sejuk bertiup-tiup mengusap pipi sebagai ucapan selamat datang.
Aku tiba di Bukittinggi pada sore yang sejuk. Yang kemudian aku sadari kalau di kota ini memang terbiasa berudara sejuk. Mobil yang kusewa mengantarkanku hingga sampai ke sebuah basecamp airsoft gun yang kemudian menjadi tempat tinggalku selama 3 hari. Pemiliknya adalah seorang member Couchsurfing yang kuhubungi sebelum berangkat ke Bukittinggi: Bang Arkan.
Bukittinggi sudah bercokol lama sekali dalam bucketlist teratasku. Keinginan untuk menuju dataran tinggi di Sumatra Barat ini sudah ada sejak tahun 2010. Dua kali rencana yang sudah kususun akhirnya harus batal karena biaya yang mahal dan lamanya perjalanan ke sana dari Aceh. Bagi seorang buruh kantoran pada saat itu, waktu yang akan dipakai untuk liburan tentu menjadi kendala besar. Apalagi kalau bukan persetujuan cuti yang didapat biasanya tak lebih dari 3 hari. Sampai akhirnya pasca hari raya Idul Adha 2016 lalu, impian itu menjadi kenyataan. Ketika aku sudah tidak terikat kontrak di perusahaan apa pun, di situlah kesempatan untuk solo traveling ke ranah Minang ini datang.
Dari Aceh ke Bukittinggi dapat dicapai dengan dua cara. Pertama naik pesawat dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar transit Kuala Namu, Sumatra Utara. Dan lewat jalur darat menggunakan mobil travel atau bus. Menggunakan jasa mobil travel adalah satu-satunya cara yang paling murah menuju Sumatra Barat karena ongkosnya hanya setengah dari harga tiket pesawat. Aku berangkat dari Meulaboh, Aceh Barat menaiki mobil travel dengan ongkos 400.000 ke Bukittinggi. Perjalanan ini menghabiskan waktu selama 20 jam.
Aku melewatkan sore pertama dengan beristirahat dan baru keluar rumah pada malam hari untuk menengok Jam Gadang yang terkenal itu. Bang Arkan mengajakku ke rooftop sebuah toko dan memamerkan Kota Bukittingginya dari ketinggian. Meski langit tak bertabur bintang, dan pemandangan malam hari kota ini tak begitu spektakuler, tapi aku merasa orang paling beruntung bisa menikmati Jam Gadang jauh dari keriuhan. Namun tak berarti berada di taman Jam Gadang tak menyenangkan. Justru sebelum diajak ke rooftop toko, aku hampir leloncatan di tengah tamannya karena saking senangnya sedang melihat langsung Jam Gadang. Lebay ya? Haha
Satu-satunya yang aku keluhkan selama di Bukittinggi ini adalah udara dan airnya yang dingin! Jadi malas banget mandi bahkan untuk sikat gigi dan mencuci muka. Aku yakin pahala berwudhu untuk shalat subuh di Bukittinggi ini berlipat-lipat diberikan. Dinginnya ondemandeee…
Namun, pagi di dataran tinggi adalah salah satu hal yang rugi dilewati. Menghirup udara segar nan sejuk di tengah desa di pinggiran kota sungguh kebahagiaan yang tak terbantahkan. Apalagi ditambah pula dengan aroma ikan goreng balado dari dapur-dapur tetangga, kicau burung, dan keciap ayam dari dalam kandang di belakang rumah tetangga.
Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta
Jarak museum ini dari tempat tinggalku hanya 1 kilometer saja. Tak jauh dari perempatan, sebuah rumah papan dua lantai berdiri di antara pertokoan. Ruangan pertama yang aku masuki adalah kamar bujang yang dulu ditempati Bung Hatta. Hanya ada sebuah dipan, meja, dan lemari di dalamnya. Ruangan paling besar di rumah ini adalah ruang tamu yang diapit dua buah kamar tidur setiap sisinya. Di tengah ruangan tersusun dua meja bulat dan lonjong yang dikitari kursi-kursi kayu dengan dudukan anyaman rotan. Aku seperti mendengar suara keriut akibat gesekan antar helai anyaman rotan jika kursi itu kududuki. Tapi tentu saja itu hanya ada dalam pikiranku.
Ruang makan berada di bagian samping kanan-belakang yang juga menjadi satu-satunya akses ke lantai dua. Dapur, gudang, kamar mandi, dan sebuah kamar tidur milik Bung Hatta yang lain juga dibangun terpisah di halaman belakang, berdekatan dengan lumbung padi dan garasi delman.
Sepertinya aku adalah pengunjung pertama dan kurasa datang paling pagi. Ketika kumasuk, tak seorang pun tampak di dalam museum, tapi pintu sudah terbuka sehingga aku masuk saja setelah melepas alas kaki. Penjaga museum yang adalah seorang ibu-ibu separuh baya baru datang ketika aku baru turun dari lantai dua. Aku segera saja menyelesaikan tur seorang diri itu dan berpamitan.
Bagi penyuka sejarah dan pencinta tokoh-tokoh hebat Indonesia, museum ini tentu tak boleh dilewatkan jika berkunjung ke Bukittinggi. Selain perabotan, ada banyak buku-buku, foto-foto keluarga dan Bung Hatta dari kecil hingga dewasa dipajang di museum ini.
Pasar Bawah dan Pasar Atas
Pasar Bawah adalah bagian paling aku suka di Bukittinggi. Karena, seperti pasar-pasar di daerah yang lain, di pasarlah kita bisa melihat beragam macam orang dari berbagai kampung mencari kebutuhannya. Semua berbaur dengan segala macam aroma dan warna. Aku senang aja gitu memperhatikan keteraturan susunan dan kesemrawutan gantungan barang yang dijajakan, warna-warni atap terpal yang diikat silang menyilang di setiap lorong. Paling demen sih ngeliat lapak penjual beras dan kacang-kacangan. Jadi pengen nyungsepin kedua tangan ke dalam karungnya. Hahaha…
Setiap sektor lapak memiliki aroma khas yang saling tabrakan dengan aroma-aroma dari barang dagangan di sektor lapak yang lain. Apalagi jika jika berada di pasar tradisional yang sedang becek, aromanya campur aduk dan tercium kuat.
Pasar Bawah menjual berbagai macam kebutuhan makanan seperti buah, sayur, ikan hidup dan kering, rempah, hingga penganan kering seperti kerupuk jangek/jengek. Paling khas di pasar ini adalah penjual belut. Ada ratusan ekor belut mungkin ya di dalam baki-baki yang mengelilingi lapak-lapak penjual belutnya. Tangan-tangan cekatan mereka bergerak cepat menyiangi belut yang kebanyakan berukuran sebesar jari jempol itu.
Dari Pasar Bawah, aku menaiki jembatan yang mengantarkanku ke Pasar Atas, melintasi lorong penjual pakaian dan tembus ke Los Lambuang yang menjual makanan khas minang. Kenapa disebut Los Lambuang? Karena lambuang berarti ‘lambung’. Jadi di sini adalah sentra ‘pengisi lambung’ di Pasar Atas. Karena belum sarapan sejak keluar rumah tadi, aku singgah untuk sarapan di Katupek Pical Ni Tina dan memesan seporsi Katupek Gulai. Yaitu lontong dengan kuah gulai atau biasa disebut lontong sayur.
Panorama Ngarai Sianok dan Lobang Jepang
Setelah kenyang jok katupek gulai lamak (ketupat gulai enak) itu, aku menyusuri lorong-lorong los pasar yang kosong dan tiba di kawasan penjual makanan ringan dan Mesjid Raya Bukittinggi. Sekitar 350 meter dari mesjid, aku kembali berada di Jam Gadang. Tak jauh dari sini, berdiri Istana Bung Hatta. Karena malas masuk museum lagi, aku memutuskan untuk ke Lobang Jepang. Aku sempat nyasar sejauh 2 kilometer di Jalan Sudirman karena mengikuti petunjuk seorang uni yang kujumpai di jalan.
Hujan turun ketika aku tiba pada sebuah tanjakan. Aku segera membentangkan payung dan terus berjalan di tengah tiupan angin dingin dan hujan yang semakin besar.
Jarak dari Istana Bung Hatta ke Panorama Ngarai Sianok dan Lobang Jepang pun tak begitu jauh. Hanya setengah kilometer saja. Di sini pengunjung bisa menikmati Ngarai Sianok yang hijau dan berkunjung ke bawah tanah, ke gua bikinan tentara Jepang yang dingin.
Untung di dalam kompleks taman ini ada bangunan beratap untuk berteduh dari hujan tapi tidak dari dingin yang menggetarkan bulu roma. Ah, harusnya aku membawa serta jaketku.
Aku menuruni tangga licin hingga ke mulut Lobang Jepang. Aku terus masuk dan turun tanpa dipandu seorang pemandu yang tersedia di lokasi. Jika kamu datang ke sini dengan grup, sebaiknya pakailah jasa pemandu yang menunjukkan dan menjelaskan banyak hal tentang Lobang Jepang ini.
Gua buatan tentara Jepang ini sekarang sudah dilengkapi lampu yang lumayan memadai untuk dapat melihat jalan dan lorong-lorongnya. Ada banyak sekali lorong-lorong di dalam gua, setiap lorong memiliki fungsinya sendiri, begitu yang kudengar dari seorang pemandu yang sedang membawa satu grup. Ada ruang rapat, penjara, dapur, ruang pengintaian, gudang, dan pintu pelarian yang ternyata berujung ke sebuah jurang dalam.
Dari tepi jurang, di mulut lubang Pintu Keluar tadi, terhampar sisi Ngarai Sianok yang hijau. Dari situ aku bisa melihat Great Wall Bukittinggi yang berlekak-lekuk mengikuti kontur perbukitan. Sementara itu hujan masih terus mengguyur, udara dingin mengalir dari ngarai menerobos masuk ke dalam gua. Ah, aku nggak kuat berlama-lama di bibir jurang. Aku bergegas mencari pintu masuk untuk keluar.
Dari Lobang Jepang, aku melanjutkan perjalanan ke Benteng Fort De Kock yang tulisannya akan menyusul.
bukittingi paling aku suka itu jam gadangnya
Angka empatnya unik ya, Win…
Aku juga mau main ke Bukittinggi dan makan yang banyak haha..
Pulang nanti langsung ke Bukittinggi, Kak Firsta… Kenalan sama uni-uni di Los Lambuang biar dikasih porsi besar. :D
Wah asyik jalan-jalannya, coba kalau bareng saya, saya ajak ke kampung saya, 10 km dari kota bukittinggi.
Ini kunjungan saya waktu ke Bukittinggi
http://www.kompasiana.com/sipengembara/berkelana-di-ranah-minang-7-janjang-40-salah-satu-icon-bukittinggi-yang-terlupakan_55004e39a333115973510446
Iya, Pak Dian. Alhamdulillah kemarin itu ada kawan asli sana yang membawa jalan-jalan ke puncak bukit yang bisa melihat danau itu. Aku lupa namanya. :D
Penerangan di dalam Gua Jepangnya sudah lumayan ya Bang, cuma kalau saya disuruh sendiri ke sana pasti bakal cari berdekatan dengan grup atau orang lain, haha terbawa sugesti seram sih, hehe. Kerennya Bukittinggi, wisata sejarah di sana memang oke punya. Oke tulisan selanjutnya ditunggu. Ngomong-ngomong tidak ada foto jurangnya nih, Bang?
Enggak ada, Gar. Kalau difoto dari atas itu nggak keliatan dalam karena ditumbuhi banyak pepohonan. Lagian aku udah ngeri sendiri ngeliat ke bawah. Hahaha…
Iya, salah-salah bisa terpeleset, hehe.
Bung Hatta ketika menjadi kuliah di Belanda.>>> ini maksudnya apa toooh cit :(
eh serius qe dari meulaboh cuma 20 jam???
bukannya dua hari?
kok jadi dekat?
Hahahaha… typo ituuuu… ntar aku koreksi. Dekat hai, bang. Nggak sampai dua hari kalau dari Meulaboh.
Sama kali lah, bang. Sebagai penyuka arsitektur dan tata kota, Bukittinggi (juga Sawahlunto, Banda Aceh, Medan) have been my wishlists for years, meski belum selama bang Ocit sih mendambanya hehe. Senang kau sudah berhasil mewujudkan salah satu mimpimu, bang :)
Semoga mimpi-mimpimu juga cepat terwujud ya, Nug… :D
Amin ya Gusti, semoga doa Baim terkabul
Berkali-kali ke Sumatra Barat, aku gak pernah sampe ke Bukittinggi. Aku merasa berdosaaaa. Suka foto2 di pasarnya cit. Yang pedagang bumbu hehe mirip dengan yang di Palembang. Trus yang pedagang belut, astaga sebanyak itu.
Aku pun merasa berdosa udah 2 kali ke Palembang tapi belum sempat masuk ke pasar tradisionalnya. :(
aku orang sumatrra barat seru bgt nih tempat tempatnya disini info info yang lebih keren.
Thanks, Kak…
Belum pernah ke bukit tinggi, hiks hiks, gambar gambarnya kereeen kak
Makasih, kak. Semoga nanti bisa ke sana juga ya.. :D
dan aku selalu jatuh cinta dengan bukittinggi, berkali2 datang selalu saja ada yang menarik
Tapi nasi kapau, itiak lado mudo, bubur kampiung selalu juara untuk di ulang heheh
Itiak Lado Mudo dan Bubur Kampiunnya emang juara! Best lah!
itiak lado mudo dikenal juga dengan “itiak lado ijau”.
eh Bubur Kampiung? mungkin maksudnya ” bubur kampiun” ya mas?
Belum pernah pergi, jadi cuma bisa merasakan reviewnya doang.. Hehe, doain mas supaya bisa pergi kesana. XD
Aamiin…semoga nanti bisa ke Sumatra Barat ya… :D
Masuk museum Bung Hatta ga bayar tapi harus bayar sumbangan seikhlasnya. ((harus)) hahaha…
Kerupuk Jengek itu kerupuk kulit, Kak.
Lontong Gulai di Los Lambung benar-benar juara, porsi banyak, rasanya enak. Dan yang pasti langsung bisa memenuhi lambung :D
Hahaha..betul, bang. Tapi rasanya buatku sih ga terlalu wow ya. Cuma enak aja. Hehe
Yang terkenal sebenarnya bukan di Los Lambuang tapi Lontong Pical Sikai yang dekat Panorama
jam gadang merupakan tempat favorite
Buahahaha.
Selalu kagum lihat baca cerita tentang Bukit Tinggi.
Selalu ingin ke sana secepatnya.
ajak aku ke sumatra mas..terutama dipasarnya..belutnya buanyakkk tenan…
kalau goa jepang pasti serem kan
Ga serem kok, Mas…Malah sejuk gitu deh..
eh citra itu lele segede jari jempol? hahaha gak salah itu? aku lihat lele nya gede2 … hmm jadi semakin mupeng untuk ke Bukitinggi nih
Bukan lele, Kak. Tapi belut! Ayo kak..jalan-jalan ke Bukittinggi.
Pulanglah, Da. :D
jam gadangnya kok kliatan kecil ya?
kayaknya kalau saya liat di gambar-gambar gede banget.
tapi tetep indah banget pemandangannya kalau malem.
mantab
Ga terlalu tinggi sih emang. Tapi kalau besar, yah namanya juga di dalam foto, pasti jadi kelihatan kecil, Kak. Hehe
Jadi pengen jalan-jalan kesana nih…. insyaallah kalau ada kesempatan.
sepatu pantofel
Aamiin…
Waaah, jadi pengin jalan2 ke sana. Doain saya yak ada rezeki. Dari pulau jawa … :D
Aamiin.. Semoga diberi kemudahan untuk ke Sumatra Barat, Bunda… :)
salah satu sejarah peninggalan bangsa !
kayaknya yang ke sumbar memang kudu musti dan wajiiiiiiib singgah berfoto di jam gadang nya ya,,,, kereeeen
Iya, Bang. Ikonik banget soalnya.
nice lah…
Huhuhu tulisannya mendukung buat backpackeran ke Padang :( Goanya keren-mistis. Boleh share budget ga bang? sama alat transportasinya, sama mau tau orang-orang di sana gimana sih kalo ada yg lagi jalan-jalan sendirian?
Waduh..dulu itu aku ga ngitungin dananya, kak. Datang, main-main, terus pulang. Transportasinya juga minta bantuan dengan tanya-tanya orang juga. Kalau orang-orangnya sih santai aja kalau ada orang lagi jalan-jalan mah… Hehe…
Oke juga foto2nya …
saya kalau jalan2 jarang foto2
Jadi lebih menikmati perjalanan ya, Mas…
Kok saya baca artikel ini ingetnya nasi padang.. hheh
Wah pasti itu…hehe…
dari dulu pengen ke jam gadang…. tapi belum sempet.
kayaknya akhir taun perlu di agendain keliling indonesia deh. joss