Kamping Horor di Pulau Weh

Sejauh ini, traveling bersama keluarga atau dengan salah satu anggota keluarga bagiku cukup menyenangkan. Seru, konyol, dan asyik. Tapi di balik keseruan itu, selalu saja ada drama yang menghantam. Enggak di rumah, di mana pun kalau berdekatan pasti berantam juga akhirnya. Seperti beberapa tahun lalu ketika traveling dengan adikku, Titi, ke Thailand. Di hari terakhir di Bangkok, drama hebat bak sinetron terjadi di hostel. Sudahlah sama-sama keras kepala dan emosian, enggak ada yang mau mengalah. Tapi pada akhirnya tetap saja, yang tua harus mengalah sedikit. SE-DI-KIT.

Berbeda banget jika traveling bareng teman. Jika ada ketidakcocokkan, biasanya timbul perasaan tidak enak dan salah satu dari kita berusaha untuk bersabar dan mengambil jalur damai. Atau kalau sudah bikin kesal, ya diem-dieman. Tapi kalau dengan adik sendiri? Langsung gencat senjata!

Di kali yang lain, saat traveling dengan Hanif, dramanya lain lagi. Aku mengalami kejadian seram yang bikin jatung serasa mau meloncat keluar dari kerongkongan. Bila diibaratkan sebuah film, perjalanan dengan Hanif saat liburan Idul Adha lalu adalah film horor.

Menatap Pulau Weh dari Pantai Alue Naga.
Menatap Pulau Weh dari Pantai Alue Naga.

Aku membawa Hanif jalan-jalan ke Sabang, Pulau Weh sebagai hadiah khitanannya, sekaligus menunaikan janji akan membawanya kamping suatu hari saat libur panjang sekolah. Perjalanan selama 4 jam kami tempuh dengan sepeda motor berdua dari Meulaboh ke Banda Aceh. Rencananya sesampai di Banda Aceh, kami akan menumpang Kapal Ferry di jadwal paling akhir dari Pelabuhan Ulee Lheue. Tapi apa daya, kami terlambat sampai di Banda Aceh. Akibatnya aku dan Hanif harus bermalam dan mendirikan kemah di dekat Pelabuhan Ulee Lheue.

Kamping kali ini bukan yang pertama bagi Hanif. Dia pernah ikut kamping ke perbukitan Lamreh di Aceh Besar sekitar tiga tahun yang lalu. Dan dia sangat menikmati pengalaman pertamanya jauh dari rumah, dari Mamak dan Ayah. Malam itu, di bawah pohon cemara laut sambil duduk-duduk di tepi laguna, Hanif sebentar-sebentar bertanya tentang keberangkatan besok pagi. Kami tidur cepat malam itu karena kelelahan berjam-jam mengendarai sepeda motor.

Perjalanan dengan kapal ferry kali itu juga yang pertama kali bagi Hanif. Di wajahnya terlihat raut gembira bercampur gamang. Aku pikir dia akan khawatir ditinggal sendiri ketika aku harus mengantre parkiran di dalam kapal, tapi ternyata…he’s a big boy now. Aku tidak melihat raut muka ketakutannya di atas kapal dan di tengah orang-orang asing. Beda banget waktu dulu, nggak boleh jauh barang semeter pun. Dia dengan sabar menunggu di samping sekoci dengan ransel di punggung dan helm masih terpasang di kepala.

Tiba di Balohan, Pulau Weh, kami segera tancap gas ke Danau Pria Laot. Kiranya ingin berkemah di camping ground pinggir danau, tapi areal perkemahannya kurang cocok untuk berkemah, apalagi jika hujan turun. Aku mengajak Hanif berjalan lagi. Kami ke Benteng Jepang di tengah deraan terik matahari yang memanggang kulit. Tapi Hanif tak terlalu antusias di sini, dia malahan lebih senang melihat pos penjagaan kecil milik Jepang di tebing berkarang tajam sebelum Sumur Tiga. Yang menuju ke itu tempat harus melewati makam tua, menuruni tebing tanah, dan karang yang mengakibatkan Hanif terjatuh dan karang tajam melukai kakinya.

Sudah ke Sabang.
Sudah ke Sabang.
Salah satu pos penjagaan Jepang di pinggir tebing.
Salah satu pos penjagaan Jepang di pinggir tebing.
Pulau karang di bawah tebing.
Pulau karang di bawah tebing.

Sebenarnya aku sudah merasa nggak enak menuju ke pos penjagaan Jepang di dekat makam itu. Tapi karena Hanif memaksa, aku iyakan dengan syarat nggak boleh lama-lama. Kejadian deh. Tapi ada satu lagi yang bikin jantung kayak lagi main rapai geleng.

Setelah melihat benteng-benteng dengan drama Hanif jatuh dan kakinya berdarah-darah kena karang tajam, kami melanjutkan pencarian lokasi berkemah kedua: di samping areal The Pade Resort. Tapi gara-gara mereka sedang renovasi, akses menuju areal berkemah yang dulu pernah aku tempati ditutup. Aku berbalik arah dan menyusuri jalanan sepi Balek Gunung. Belum seberapa jauh, si Adek menunjuk ke sebuah papan petunjuk ke Gua Kelelawar. “Bang, itu ada gua kelelawar tu, Bang. Kita lihat, yok?” pintanya. Padahal gerimis sudah mulai turun dan hatiku mulai merasa nggak enak lagi. Tapi permintaannya tetap saja kukabulkan.

Berjalanlah kami ke dalam hutan lebat itu. Jalan setapak kecil basah menanjak mengikuti lereng gunung dan berakhir di sebuah lubang besar yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Lubang besar yang kuduga sink hole ini  mungkin terjadi puluhan atau ratusan tahun lalu. Hanif yang pertama kali menemukan gua kelelawar dan menunjukkannya padaku. Guanya berada di dinding lubang, tak begitu kelihatan karena terhalang pepohonan yang tumbuh tinggi dari dasar hingga melewati pinggir lubang. Tak ada jalan mudah menuju ke gua kecuali menggunakan peralatan khusus seperti harness. Sampai di sini tak ada kejadian aneh seperti yang pertama. Aku menghela nafas lega.

Gua Kelelawar
Gua Kelelawar

Gerimis halus berubah menjadi hujan besar-besar ketika kami melewati Gua Sarang, salah satu destinasi baru di Sabang yang sedang populer. Hanif sudah kupakaikan mantel dan kusuruh memelukku kuat-kuat karena turunan dan kelokan jalan semakin ekstrem. Hujan membuat pegangan pada gas menjadi licin dan susah mengontrol setang motor. Aku harus menahan napas setiap kali melewati turunan dalam dan kelokan tajam. Duh, gamang banget sama turunan dalam plus tikungan tajam saat hujan-hujan begini.

Sisi kiri jalan adalah lereng pegunungan berhutan lebat. Sedangkan di sisi kanan adalah tebing yang juga ditumbuhi pepohonan dengan semak belukar. Setelah melewati 7 km dari Gua Sarang, kami menemukan sebuah jalan setapak yang mengitari tebing ke sebuah dataran yang ditumbuhi pepohonan dan permukaan tanah yang bersih dari semak. Dataran yang cocok sekali untuk mendirikan kemah, pikirku. Kubelokkan motor ke jalan setapak dan menemukan jalannya menurun dalam yang dipenuhi daun ketapang dan bebatuan. Hanif kusuruh turun dan berjalan ke bawah.

Lokasi berkemah yang baru kami temukan itu terdiri dari dua bagian. Aku menyebutnya Bagian Dalam dan Bagian Luar. Bagian Dalam dipayungi cabang-cabang pohon yang membuat bagian bawahnya sulit ditembus cahaya matahari. Bagian ini berada persis di pinggir sungai berair jernih. Sedangkan Bagian Luar lebih terang dan ditumbuhi rerumputan karena lebih terbuka dan berada dekat dengan pantai berbatu-batu. Pohon-pohon tua tumbuh mengitari lapangan kecil ini. Pada tengahnya terdapat tungku batu dan bekas api unggun. Namun angin bertiup kencang sekali di dataran berumput ini.

Wajah senang menemukan lokasi berkemah yang kemudian disesali. Ini adalah 'bagian dalam'nya.
Wajah senang menemukan lokasi berkemah yang kemudian disesali. Ini adalah ‘bagian dalam’nya.

Kami mendirikan tenda di bagian dalam ketika gerimis mulai turun lagi. Setelah tenda berdiri, aku menyadari kalau ini bukan lokasi tepat untuk berkemah. Cabang-cabang pohon bisa saja patah dan menimpa kami jika angin bertiup semakin kencang. Tapi Hanif lebih suka di bagian dalam ini ketimbang di bagian luar. Ketika memindahkan tenda, lagi-lagi timbul perasaan enggak enak yang susah aku pahami kenapa. Seolah keputusanku memindahkan tenda itu keliru. Suara angin terus menderu-deru dan gelombang menghempas batu karang bersahut-sahutan.

Sore semakin gelap, dataran bagian dalam tempat pertama kami mendirikan tenda tadi pun semakin gelap dan menyeramkan. Selain sungai, ternyata ada pula sebuah kolam dengan mata air di tepi pantai. Pikiranku waktu itu semakin parno. Di sebelah kiri tenda ada sungai, di kanan tenda ada kolam, belakang tenda ada hutan gelap, dan di depan laut dan angin yang beringas. Kami dikelilingi pepohonan dan bebatuan. Semakin gelap, suasana semakin riuh.

Malam sudah turun, angin dingin menyerbu masuk ke dalam tenda ketika pintu dibuka. Aku menyiapkan kompor dan mie instan untuk dimasak. Perasaanku masih tidak enak, aku berpikir keras jika hal buruk terjadi, sinyal tak ada, pemukiman warga juga jauh banget, jalan setapak yang menanjak tinggi dan sulit dinaiki dengan motor.

Makan malam dengan mie instan.
Makan malam dengan mie instan.

Matahari sudah tenggelam dan kami terperangkap dalam gelap. Di antara awan, bulan muncul memberi sedikit penerangan di tempat kami berkemah. Sedangkan di ‘bagian dalam’ gelap total. Tak ada apa pun yang bisa kami lihat di sana. Kecuali kerlip seeokor kunang-kunang yang terbang terombang-ambing ditiup angin lalu lenyap di antara dedaunan. Orkestra serangga terdengar hilang dan timbul, bersaing dengan suara angin dan ombak.

Setelah kenyang dengan mie instan, Hanif mulai mengantuk dan mengeluh kedinginan. Padahal di dalam tenda aku merasa panas dan berkeringat. Satu-satunya bagian tenda yang terbuka adalah ventilasi udara di bagian atas dan tak menghadap arah angin. Aku memberinya jaket dan menyelimutinya dengan kain sarung. Tapi dia masih juga merasa kedinginan. Aku mulai panik sampai bisa kudengar degup jantungku sendiri. Kuraba keningnya, terasa hangat. Lehernya pun berkeringat. “Duh kenapa lagi ni si Adek!”

Ketakutanku terus menjadi-jadi. Suara deru angin di luar tak terdengar seperti yang tadi kudengar. Sambil memegang tangan Hanif, aku mendengarkan baik-baik suara riuh di luar. Aku memasang telinga. Seperti ada puluhan orang yang sedang berbicara berbarengan dari arah bagian dalam. Tak ada satu kata pun yang bisa kutangkap dari suara-suara itu. Mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda tapi terdengar familiar. Hiruk pikuk seperti di pasar. Aku berbaring menghadap Hanif dan mulut terus berkomat-kamit membaca semua ayat yang kuhapal.

Tentu saja aku tak memberitahu Hanif. Dia belum tertidur setelah setengah jam aku mendengar suara-suara aneh itu. Dan suasana pasar itu masih terus berlanjut selama setengah jam kemudian. Kemudian hiruk pikuk pasar disusul dengan suara tilawah. Tak mungkin suara tilawah dari desa bisa terdengar sampai ke sini, lagian musim lomba MTQ sudah lama lewat. Perasaan mulai campur aduk. Cerita-cerita tentang suara pasar gaib dan tilawah yang sering diceritakan orang kini kualami sendiri. Aku berusaha sekuat tenaga menahan rasa penasaran untuk menjenguk ke luar tenda.

Suara tilawah atau suara yang terdengar seperti tilawah sebenarnya membuat rasa takutku sedikit berkurang. Karena jinnya tilawah, pasti jin muslim nih, begitu pikirku. Tapi aku tetap harus waspada terhadap segala kemungkinan. Satu jam kemudian, suara tilawah berhenti dan dilanjutkan lagi dengan suara hiruk pasar dan suara dangdutan. Yang tadinya aku sudah agak tenang, kini jantung kembali berdegup kencang. Orang Aceh dangdutan tengah malam? Enggak mungkin!

Celakanya, organ-organ tubuhku tidak mau kompak di tengah kondisi menegangkan begini. Jantung berdegup kencang, mulut tak berhenti komat-kamit membaca doa, pikiran mencari cara bagaimana kabur dari tempat ini. Tapi otak berkeinginan lain. Kantuk datang membuat kelopak mata terasa berat sekali. Tapi aku berusaha menolak, bertahan jangan tertidur. Bagaimana kalau mereka membawa Hanif? Atau membawa aku? Atau salah satu dari kami kerasukan? Ke mana dan bagaimana aku/Hanif mencari pertolongan? Pikiran buruk bercampur aduk membuatku semakin kalut.

Di tengah suara dangdutan heboh dari dalam hutan sana, aku membongkar ransel dan mengambil tali. Ujungnya aku ikat ke pergelangan tanganku dan ujung yang satu lagi kuikat ke pergelangan tangan Hanif untuk jaga-jaga jika salah satu dari kami bangun dan berjalan ke luar tenda tanpa sadar. Aku terus mengawasi Hanif yang sudah tertidur pulas sampai akhirnya aku pun tertidur.

Pada pukul 1 dini hari, aku terbangun. Itu berarti aku baru tertidur selama 1 jam. Suara-suara yang bikin jantung mau meledak tadi sudah lenyap! Suara angin, ombak, dan serangga telah kembali. Alhamdulillaaaah… Kuraba kening Hanif lagi, suhunya sudah normal. Namun anehnya ikatan tali yang kuikat di tangan Hanif terlepas. Padahal ikatannya sudah kupastikan takkan bisa lepas dari pergelangan tangan tanpa sengaja. Ah sudahlah. Suara-suara aneh itu hilang  saja sudah sangat membuatku lega.

Ketika pagi datang, aku segera mengemaskan barang-barang lalu menyiapkan sarapan. Aku membiarkan Hanif bermain-main di pantai kecil berpasir putih di dekat telaga. Ada sebuah perahu di bawah pohon waru sana, katanya. Di dekatnya mata air keluar dari tanah dan memenuhi ke kolam kecil yang dipagari semak. Kelebihan air dari kolam mengalir di sela-sela bebatuan dan terus ke laut.

Kami tak berlama-lama di sini, setelah semua barang-barang dikemas dan disusun rapi di motor, kami meninggalkan lokasi berkemah yang horor itu. Aku mendorong motor mendaki ke atas tebing lalu memandang kembali ke bawah, tempat kami semalam bermalam. Suara tiupan angin pada dedaunan dan pecahan ombak yang semalam terdengar begitu keras kini terdengar amat halus.

Menemukan jalan beraspal seolah seperti menemukan kembali peradaban setelah tersesat di alam liar. Antara percaya dan tidak percaya apa yang semalam kulalui. Tanpa memberitahu Hanif yang terjadi semalam, aku mengegas motor menjauh dari tempat itu. Dalam perjalanan aku menarik kesimpulan bahwa memang ada tempat-tempat yang sebaiknya tak kita datangi. Karena meski tak bermaksud buruk, tapi mungkin saja kedatangan kita menjadi gangguan bagi penghuninya, apa pun bentuknya.

Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

50 tanggapan untuk “Kamping Horor di Pulau Weh”

  1. Suka sm kata2 SE-DI-KIT
    buahahaha..
    Keliatan banget perasaan kakaknya.
    Adek hrs ikut kakak apapun alasannya gitu yg gw tangkep hahahaha

  2. Cit, kamu emosian? Kukira selama ini dirimu paling kalem & santun ;)
    Btw, kalau kemping begitu bisa langsung buka tenda aja ya, kupikir harus izin dulu sama pak RT setempat. Salah satunya ya itu, menghindari daerah2 yang ‘rawan’ buat disinggahi. Pamali, kalo kata Sunda mah.. :)
    Btw lanjutkan petualanganmu sama Hanif, ini bisa jadi kisah menarik untuk dtulis jadi buku!

    1. Hahahaha…aku kalau di luar tetap jaga image, bang. Di rumah atau sama keluarga aja yang aslinya keluar. Hahahaha…
      Harusnya memang minta izin tapi tergantung kondisi dan posisi berkemahnya juga. Kalau jauh dari pemukiman kan ga mungkin harus nyari pak lurah dulu. :D

  3. Wuitz… serem juga ya. Jadi mitosnya kalau keluar takkan balik ke alam ini lagi, kah, sampai kaki harus diikat?
    Memang, jika ada tempat yang katanya seram, jangan didekati atau diiapi kecuali siap secara mental dan kemampuan.

  4. Ini kali kedua saya mendengar (menyimak) pengalaman kawan pejalan di Aceh, yang saat kemping di malam hari mengalami situasi “hiruk-pikuk seperti di pasar dengan suara orang-orang berbicara dalam bahasa berbeda disusul terdengar suara tilawah”.
    Ternyata kehidupan alam ghaib terkadang bisa dirasakan manusia di dunia nyata. Tapi keren Bang Cit, sudah melalui pengalaman itu dengan baik. Saya belum. :D

  5. Kadang suka penasaran dateng ke tempat yang punya kesan mistis yang kentel tuh, tapi takutnya kalau udah pulang ternyata malah diikutin kan bahaya juga tuh ahaha. Harus banyak berdoa kalau dateng ke tempat horor itu yaa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: