Jungle Trekking di Telaga Warna Puncak

Liburan ke Puncak saat akhir pekan? Ide yang kurang bagus memang. Tapi bagi perantau macam aku yang mulai berkarat di Tangerang, alternatif liburan ke Puncak patut dicoba. You’ll never know until you try, ya kan?

Sudah sering aku dengar kalau perjalanan ke Puncak pada akhir pekan itu pasti macet parah. Tapi ketika berangkat dari Stasiun Bogor ke Puncak masih mending CUMA dua jam. Tapi ketika pulang, seperti Kata Bang Badai, pada sore minggu bisa berjam-jam. Ho oh banget! Tapi ya demi mengikis karat-karat di jiwa ini, kukuatkan niat menyambangi Telaga Warna di hari Minggu tanggal 13 Maret lalu.

Bogor yang hijau. Banyak pohon, banyak angkot.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam yang kadang lancar dan kadang tersendat itu akhirnya aku tiba di Telaga Warna dengan perasaan lega bercampur takjub. Puncak yang pernah aku kunjungi sekitar lima tahun silam tampak masih familiar. Kembali terkenang pengalaman jalan-jalan ke sini setelah lolos audisi program Detik.com, Aku Cinta Indonesia tahun 2010.

Telaga Warna berlokasi tidak begitu jauh dari jalan raya. Jalan masuknya berada persis di samping sebuah mushalla di pinggir jalan raya itu. Hanya kurang sepuluh menit berjalan kaki dari sana. Telaga Warna langsung dapat aku lihat dari pos pembelian karcis masuk. Per orang membayar 7.500 rupiah. Jika membawa motor, tamu akan dikenakan biaya parkirnya juga.

Penginapan di pinggir telaga. Seru deh kayaknya nginap di sini rame-rame.

Dapatkan penginapan terbaik di Puncak di SINI.

Sesuai namanya, air di telaga ini…berwarna, tentu saja. Warnanya coklat tua dan ukurannya tidak terlalu luas. Masih bisa direnangi dari satu ujung ke ujung satu lagi. Setengah lingkaran telaga dipagari tebing bukit berpohon lebat. Di salah satu sisinya dihiasi tanaman Bunga Terompet yang bercermin pada permukaan telaga.  Pada sisi yang lain terdapat beberapa cottage yang baru selesai dibangun. Di depannya terentang seutas tali kawat sebagai wahana flying fox.

Aku mendapati sebuah tempat duduk kosong yang dipayungi rimbun pohon. Letaknya tak begitu jauh dari kerumunan pengunjung yang baru tiba. Tapi lumayan jauh dari pasangan-pasangan yang bersemangat berfoto-foto di pinggir telaga. Dari situ aku leluasa memandang sekeliling. Mulai dari kawanan monyet, penjual souvenir, pasangan yang sedang selfie tanpa henti, pasangan yang sedang selfie tanpa henti lagi, dan beberapa pasangan yang sedang selfie tanpa henti lagi di beberapa tempat yang terlihat. Hingga ke pinggir-pinggir telaga yang tak bisa disentuh manusia di seberang sana.

Dari tempat duduk pipa besi itu, aku bisa menikmati kabut-kabut bergerak seperti selendang putih yang menari-nari di atas telaga. Aku berkali-kali mendecakkan lidah karena terbawa perasaan. Betapa tempat ini nyaman banget. Sejuk dan menenangkan.

Juga ada penyewaan rakit plus plus. Plus bahu untuk bersandar bagi yang membutuhkan.

Aku menyudahi ‘pengamatan’ di bawah bayang-bayang pohon di sudut telaga dan berjalan mengitari tepi telaga. Melewati pepohonan besar yang buahnya berpencar di sekitar akarnya. Dari bentuk buah yang bertebaran, aku yakin ini buah dari pohon Ek. Aku mengambil satu untuk cendramata.

Flying fox, salah satu wahana yang bisa dinikmati di Taman Wisata Telaga Warna.

Selain ada flying fox, di kawasan taman wisata ini juga ada areal kamping yang baru aku ketahui setelah mengikuti jalur Jungle Trekking. Mungkin waktu tempuh normalnya kira-kira 20 menit dari telaga. Tapi aku melewatinya lebih dari satu jam karena dari jalan setapak yang terdiri dari susunan batu yang rapi itu, ada banyak jalur setapak lain yang mengarah ke dalam hutan di sisi kiri. Sedangkan di sisi kanan, jalan setapak berakhir di kebun teh.

Yang suka jungle trekking, cobain deh jalur ini. Nggak terlalu panjang dan sulit.

Pada beberapa jalan setapak di sebalah kiri, kulihat ada bekas jejak kaki di permukaan tanah yang terlihat masih baru. Aku penasaran dan menelusurinya. Setelah berjalan beberapa ratus meter, aku memutuskan untuk kembali karena jalurnya semakin menanjak dan ditumbuhi rapat pepohonan dan tidak ada tanda-tanda jejak kaki manusia lagi yang kutemui.

Pemandangan dari Camping Ground, Taman Wisata Telaga Warna.
Lokasi areal kampingnya sudah mulai ditutupi rumput tebal. Kalau di kampungku, sudah tandas dimakan kambing nih rumput-rumputnya. :D
Perhatikan langkahmu. Ada serangga imut di balik rerumputan.
Ada bekas dilalui orang, tapi semakin ke dalam, aku nggak menemui siapa pun.

Di dekat areal kamping terdapat beberapa buah pondok yang sudah rusak. Lapangan tempat mendirikan kemah pun ditumbuhi rumput yang mulai meninggi. Jalan setapak di sekitar situ juga sudah ditumbuhi rumput tebal menutupi kaki. Di sudut belokan menurun, sebuah palang dari papan menunjukkan arah ke mata air dan rawa-rawa di sebelah kiri. Lagi-lagi jalan setapak itu menggodaku untuk ditelusuri. Aku menerobos semak-semak, melewati rumpun-rumpun pisang yang tumbuh lebat di bawah tebing dan melompati pohon mati yang merintangi jalan. Jalan setapak yang mulai bercabang-cabang dan tak adanya tanda-tanda pernah dilewati manusia membuatku memutuskan berputar balik (lagi). Terlalu beresiko jika kuteruskan sendiri dan tak ada seorang pun yang tahu aku berada di sini.

Jalan setapak berbatu yang kulalui dari telaga itu berakhir tepat di areal Puncak Pass. Tak dijagai sama sekali. Jadi kalau niat masuk ke Telaga Warna tanpa bayar karcis, bayarlah dengan membakar kalori dengan treking selama setengah jam melewati jalur ini. Hehe…

Oh, ternyata jalur ini juga pintu masuknya. Tapi nggak ada yang jagain. Jalur ini berada di belakang warung-warung di Puncak Pass.

Di Puncak Pass telah mengular mobil dan bis yang bergerak menyicil senti demi senti setiap menit. Sesekali diselap-selip motor-motor. Semua mengarah kembali ke Bogor. Aku berjalan mencari angkot yang bisa aku tumpangi.

Aku baru menemukan angkot setelah berjalan 2 kilometer melewati antrean kendaraan terpanjang yang pernah aku lihat. Aku yakin antrean kendaraan itu jauh lebih panjang dari jarak yang sudah kutempuh dengan berjalan kaki hari itu. Di dalam angkot, aku pun ikut menyiput selama empat jam. Dari Puncak hingga Ciawi!

Transportasi paling mudah menuju Bogor dari Jakarta tentu saja dengan KRL. Aku berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Dari Stasiun Bogor, aku menaiki angkot warna hijau jurusan Suka Sari. Atau bisa juga dengan menaiki angkot jurusan Ciawi. Dari Suka Sari/Ciawi, ada angkot berwarna biru jurusan Cisarua yang banyak menanti. Ongkos dari Suka Sari/Ciawi ke Cisarua adalah 8.000 rupiah.

Dari artikel yang aku temui ketika blog walking, pilihan angkutan umum ke Telaga Warna beragam. Ada yang menyarankan angkot jurusan Baranangsiang lalu lanjut naik angkot warna putih jurusan Cisarua. Ini tips yang paling mudah dari tips yang kubaca di beberapa blog yang lain.

Tiga hari sebelum aku ke Telaga Warna, tepatnya Rabu tanggal 9 Maret, aku iseng ke Bogor dan mengikuti saran si penulis tips ini. Tapi sesampai di Terminal Baranangsiang, tidak ada satu pun angkot yang berwarna putih. Di hari Minggu itu aku baru sadar, ternyata angkot yang dia maksud adalah bis kecil sejenis Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP). Libur Nyepi itu aku habiskan dengan bermacet-macetan di tengah kendaraan dari Bogor-Ciawi-Bogor. Eh tapi aku senang, dong. Biar macet tapi hujannya lebat banget. Iya, hujan aja sudah bikin aku senang, apalagi kalau bersama kamu. Iya, kamu…

Angkot jurusan Cisarua tidak sampai Puncak kecuali mau carter dengan menambah 20.000 rupiah lagi per orang. Kalau sendiri, mungkin harganya bisa lebih mahal. Dari pemberhentian terakhir, aku menaiki bis AKDP tadi. Bisnya berwarna putih, aku lupa nama bisnya apa, yang jelas yang jurusannya ke Cianjur. Ongkosnya sih seharusnya cukup 15.000. Tapi karena aku nggak ngerti jarak dan tarifnya saat itu, ya sudah aku bayar 20.000. Padahal kalau aku bilang turunnya di Puncak Pass pasti dapat kembalian. :p

Dari beberapa tips yang aku temukan di beberapa blog ketika menulis tulisan ini, ada dua transportasi lain menuju Puncak. Dari Terminal Baranangsiang, selain ada bis jurusan Cianjur tadi, ternyata ada mobil L300 juga dengan tarif yang sama, yaitu 15.000-20.000 rupiah.

Untuk kembali ke Stasiun Bogor, ikuti kebalikan dari transportasi keberangkatan. Tapi kalau mau yang murah, coba saja keberuntunganmu berjalan kaki turun dari Puncak Pass sekitar 2-4 kilometer, tapi angkot biru Cisarua ini hanya sampai ke Puncak jika ada yang mencarter dari Taman Safari. Jadi untung-untungan dapat angkot ini di Puncak. Dari Puncak atau Taman Safari dengan angkot biru ini mengantar hingga Ciawi. Dari Ciawi, naik angkot nomor 03 ke Stasiun Bogor.

Nah, dari Ciawi ke Stasiun Bogor, lagi-lagi hujan turun lebat selebat-lebatnya. Terakhir kali aku menyaksikan hujan selebat itu duluuu banget waktu masih kecil di kampung. Selama di angkot, hujan turun lebat sampai sejam lebih. Saking lebatnya, parit dan bahu jalan mendadak menjadi jeram, menarik sampah-sampah yang dibuang sembarangan dan menghanyutkannya ke dalam gorong-gorong.

Hujan tak hanya menjadi satu-satunya penyenang diri dalam kemacetan itu. Makan malam Soto Kuning Bogor di lapak kaki lima yang kulihat tadi pagi pasti enak nih, pikirku. Tapi sayangnya, lapak-lapak itu tak kelihatan selama perjalanan ke stasiun. Entah aku sudah melewatinya atau angkotnya tidak melintas di jalan yang sama aku lewati tadi pagi.

Demikianlah perjalanan si perantau yang #kurangpiknik ini bela-belain diri ke Puncak. Meski macet berjam-jam dan nggak sempat makan siang sampai malam, perjalanan ke Puncak hari itu nggak parah-parah kali lah. Rasa penasaran setelah melihat foto-foto Bang Badai di tengah kabut Telaga Warna sedikit terobati. Sedikit. Kabut tebal belum dapat, makan Soto Kuning juga belum. Jadi aku harus ke sana lagi untuk mendapatkan keduanya. Yok, ke Bogor yok?

Bonus kebun teh setelah jungle trekking di Taman Wisata Telaga Warna.

FYI: aku baru tahu kalau ada jadwal buka-tutup jalur menuju Puncak. Pantaslah kemarin itu macetnya panjang dan lama. Berikut jadwalnya:

  • Sabtu pukul 09.00-10.30: hanya kendaraan menuju Puncak yang boleh lewat. Dibuka kembali pada pukul 10.30. Sebaliknya, pukul 15.00-17.00, jalur hanya boleh dilewati oleh kendaraan dari arah Puncak.
  • Minggu, berlaku sistem satu arah ke arah Puncak pada pukul 09.00-10.30. Sedangkan sistem satu arah dari Puncak ke Jakarta berlaku pada pukul 15.00-18.00.
Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

40 tanggapan untuk “Jungle Trekking di Telaga Warna Puncak”

  1. Sebenarnya menggoda sekali lokasi wisata telaga warnanya, apalagi buat kemah atau menginap. Tapi kadang ikut mikir macetnya itu. Solusinya ya ke sana pas weekday kali ya Mas :D

  2. kalo mau kemping ke sini ikuuuuut!
    tapi pulangnya jangan naek angkot yaaa, plisss…..gakmau 4 jam terjebak di dalem angkot kaaaak T_T kayaknya ada bis marita jurusan kampung rambutan – cianjur PP *kalo ga salah ya*

  3. Baru saya mau googling soal Telaga Warna, eh Mas Citra sudah menulis, senangnya :DD. Wah, angkot ke Puncak kayaknya bisa jadi topik tersendiri, kebetulan saya juga sudah menulisnya di blog, tapi terima kasih ya sudah memberi info tambahan :hihi. Saya kepengen ke Telaga Warna langsung, aaaak kerennya, mudah-mudahan di long weekend ini bisa ke sana :)). Pengen jalan-jalan di sela-sela kebun teh juga, pasti seru banget xD. Can’t wait for the weekend to come!

    1. Long weekend 25 Maret, Gar? Aku mau lagi dong ke sana. Kata Bang Badai ada Telaga Sunyi di dekat kebun teh. Pengen ke sana deh. Sama ke Makam Jerman dan Curug Cilember kalau sempat.

  4. Lokasi Telaga Warna ini lumayan dekat dari hotelku waktu tinggal di puncak dulu. Malahan pernah nyobain jalan kaki melewati perkebunan dan rumah warga, hingga sampai di Telaga Warna. Sempat juga nyobain naik flying fox, tarifnya 15 rb untuk sekali meluncur.

    Bagi tips dan triknya selama tinggal di Puncak

    Jalur puncak itu memang harus triknya. Dulu tiap mau ke Jakarta, saya harus ninggalkan puncak paling lambat jam 7 agar tidak sempat dapat penutupan jalan. Paling bagus naik angkot putih L300 tujuan kota Bogor itu bisa cuma 30 menit. Turun depan Botani, kemudian lanjut naik angkot 03 jurusan ke Stasiun Bogor.

    Nah, kalau mau balik ke Puncak, hindari jam padat sore hari. Biasanya saya balik dari jakarta sekitar jam 10 malam, naik kereta terakhir yang jurusan ke Bogor atau naik Bus Marita di Terminal Kampung Rambutan. Ingat naik MARITA, busnya bersih dan berAC. Kalau yang lain tidak recomended.

    1. Naaah.. bus PO Marita! Itu bis yang aku naiki dari Cisarua ke Puncak. Emang harus bener-bener dapat informasi detil dulu sebelum liburan ke Bogor ya. Kalau enggak, bisa ikut antrean saat buka-tutup jalur. Thanks for sharing the tips, Bar. :)

  5. Aku malu, malah belum sempat posting tentang Telaga Warna :D

    Tau gak Cit, di bawah Telaga Warna masih ada Telaga Sunyi, lokasinya persis di samping kebun teh, di belakang resto PSK. Bukan lokasi wisata sih, tapi seru aja turut menikmati kesunyian dan kabut bersama beberapa orang pemancing ikan.

  6. 2 jam itu udah mending kan ya, apalagi kalo pas weekend. Haha. Pulangnya yang amit2 (pernah lebih dari 10 jam dari Cipanas ke Jakarta, hiks).

    Pernah denger soal tempat ini dari temen. Ternyata bagus juga ya. Nampak menenangkan… Mirip tempat syuting video klip pop Sunda :P

    1. 10 jam???? enggg…. *speechless*

      Bagus, Bang. Adem dan meski pengunjungnya lumayan ramai tapi ga tau deh, tetap terasa sunyi. Aku aja kali ya yang merasa gitu. Hehe

  7. itu yang bikin penasaran ada jalan setapak masuk ke dalam akan tetapi tidak di temuin siapapun..
    btw kemping rame2 di situ enak ya mas, enak lagi buat menyendiri..

  8. waah kurang cit info untuk rute biker nya?? harus nya ada juga nih info rute buat pengendara motor dan apa patokan nya..

    1. Salam kenal, Edy. Iya, cobain deh jungle trekkingnya. Tapi ikutin jalan berbatu saja ya. Kalau mau yang lebih ekstrim lagi, hubungi pos penjagaan untuk pemandunya. :D

  9. Pas masuk Telaga Warna, ada warung nasi Sunda di sudut kiri.. Kalo ke puncak aku suka makan disana,,rumahan banget..

  10. kalo khawatir dengan macetnya mungkin bisa dicoboa telaga sampiren dengan pemandangan telaga yang mirip, trus ngecamp di situ gunung. cuma ya itu garut ma sukabumi sih, jaoh :D

  11. kira kira kalo sekarang masih sama gak ya untuk angkotnya? apakah masih beroperasi angkutan umumnya di tahun 2020 ini ?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: