Melihat Danau Toba dari Dekat dan Jauh

Salah satu penginapan di pinggiran danau.

Selain digunakan untuk jalur pintas penyeberangan ke Parapat, danau Danau Toba juga dimanfaatkan untuk banana boat, jet ski, dan cebar-cebur lucu di pinggiran. Selebihnya dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari oleh warga seperti mencuci, mandi, dan mencari kepiting, udang, dan ikan. Pemandangan ini baru bisa aku saksikan saat menyeberang ke Parapat dari Tuktuk. Ada sedikit sesal tidak sempat berenang di danaunya.

Dalam perjalanan menuju Makam Raja Sidabutar, lagi-lagi aku kesasar karena salah pilih jalan. Kabut di permukaan danau membuat perhatianku teralihkan ketimbang memperhatikan jalan. Kesan magis terasa semakin kentara ketika aku memasuki desa yang sepi. Tak banyak terlihat orang lalu lalang di jalanan. Kebun-kebun sepi dan pintu-pintu rumah tertutup.

Dari jalan tak beraspal yang kulewati, tampak sebuah dermaga di ujung sebuah jalan setapak. Aku memarkirkan motor di samping kandang babi di belakang sebuah rumah, lalu berjalan melewati kebun sayur. Jalan setapak berganti dengan semak belukar yang lebat dan tinggi. Aku menyeruak di tengah semak-semak hingga bertemu dermaga yang terlantar itu.

Kulangkahkan kaki ke ujung dermaga dan kukitari pandangan. Di depan dermaga, segalanya tampak putih, kabut membatasi jarak pandang ke daratan di seberang. Kecuali di sepanjang tepi danau yang hijau oleh tutupan enceng gondok dan semak-semak. Disambung dengan tebing berpepohonan lebat tempat ditambatnya sebuah kapal. Di tengah kelengangan itu, seekor anjing berlari keluar dari semak yang banyak ditumbuhi tebu hutan. Salakannya membuatku hampir terpental ke dalam danau.

Kawan di pinggir danau.
Uwak-uwak melarikan diri dari habitatnya karena ada manusia kesasar.

Dasar danau banyak ditumbuhi ganggang. Tumbuhannya merunduk dan meliuk-liuk mengikuti arus air. Aku menelungkup di pinggir dermaga, berharap ada binatang aneh- entah naga, ular, putri duyung, atau apalah yang keluar dari sela-selanya. Alih-alih menyaksikan binatang yang hanya ada dalam mitologi, aku malah dipelototi sama seekor lobster yang muncul dari balik tumpukan batu di dalam danau.

Traveler cilet-cilet yang kesasar melulu. :/

Sekitar 30 kilometer dari Tuktuk, aku ke Pasir Putih di Parbaba untuk menuntaskan rasa penasaran dengan melihat sendiri pantai danaunya. Parbaba dapat ditempuh kurang lebih 50 menit dari Tuktuk atau 15 menit dari Pangururan. Aku disambut oleh anak-anak babi yang berkeliaran di samping jalan menuju pantai. Tapi kayaknya aku salah tempat lagi deh. Pantai yang aku jumpai tak seperti yang kulihat di foto-foto hasil googling. Tapi pasir pantainya memang putih dan permukaannya bertebaran ganggang-ganggang mati dan enceng gondok. Pantai yang bersih hanya ada di area hotel, sisanya agak kurang sedap dipandang.

Anak-anak babi di dekat pantai. Lucu-lucu ya?
Pantai Pasir Putih Parbaba berlatarbelakang Pusuk Buhit.
Pemandangan danau yang (hampir) serba putih.

Kesan pantai terlihat jelas di sini, ada bapak-bapak yang hanya bersempak merentangkan jaring di lepas pantai. Ada pula yang melempar jala dan memancing. Anak-anak telanjang bermain air. Binatang peliharaan pun ikut serta. Aku? Makan Beng-Beng di bawah pohon. *lupa bawa sunblock tapi ga kancutan*

Menikmati pemandangan danau ternyata juga seru dari ketinggian. Setelah usahaku ke puncak Pusuk Buhit gagal karena bukitnya terlalu tinggi juga terlalu berisiko jika aku sendirian, demikian nasehat seorang bapak yang aku temui di sebuah kebun kopi. Aku memutuskan untuk berlama-lama di sebuah lereng sebelum kembali ke Tuktuk. Sambil menikmati panorama alam yang tercipta dari letusan gunung berapi puluhan ribu tahun silam itu. Danau dan kota Pangururan terhampar di depan.

Kayaknya ini lebih dari 5 kilometer deh dari bawah sampai ke atas sini.

Usut punya usut, setelah googling sana sini, sebelum tulisan ini jadi, aku baru mengetahui kalau jalan yang aku tempuh ke Pusuk Buhit tempo hari itu salah! Sudah bersusahpayah menelusuri jalur tak beraspal selama dua jam, tak bisa pula naik ke puncak. Beginilah kalau malas bertanya di jalan: sesat!

Salah satu makam di atas bukit.

Meski lumayan bikin kedua tangan pegal karena harus mengontrol kedua setir motor ketika naik dan turun, aku harus puas dengan memandangi Pusuk Buhit dari sebuah desa di lerengnya. Desa itu hanya terdiri dari dari beberapa rumah yang dibangun di setiap kebun-kebun kopi. Embun mengilapi permukaan daun. Mengubah warna hijau gelapnya semakin gelap dan berkilauan ditimpa cahaya matahari. Bunga-bunga yang putih mengeluarkan aroma semerbak yang membuatku sedikit ‘pusing’. Dan kadang-kadang musang melintas di tengah jalan atau melompat dari pohon kopi ke pohon yang lain.

Setelah menemukan apa yang kucari, aku memutuskan untuk kembali. Membelakangi Pusuk Buhit dan menempuh jalan yang sama. Terguncang dan beberapa kali terpeleset karena dorongan ke arah depan lebih kuat. Tangan pegal, pantat pun kebas.

Sisa-sisa aspal masih terlihat di beberapa ruas jalan di desa ini. Seperti batu-batu hitam yang disusun vertikal, seperti gigi. Dan sisa-sisa aspalnya seperti sisa daging yang menyelip di antaranya. Dengan kondisi seperti ini, kecepatan motor menurun drastis, kalah cepat dengan pejalan kaki. Perjalanan turun ini lebih repot lagi. Aku tak bisa terlalu sering dan berlama-lama memandang ke depan, ke arah danau. Konsentrasi penuh memperhatikan jalan.

Jalan berliku menuju rumah.
Yang dulu pulang sekolah pernah naik bis duduk di atap, masa remaja kalian luar biasa! :’)

Di luar desa, jalanan hanya berupa tanah dan bebatuan yang gembur. Bis dan truk yang sering dipakai warga untuk ke pasar dan sekolah harus melalui jalur ini. Tak jarang pula ada yang memilih berjalan kaki. Padahal jaraknya dari jalan raya ke perkebunan di atas itu sekitar 5 kilometer. Aku yang naik ke atas mengendarai motor saja kepayahan dan merasa riskan. Tak jarang bau aus dari roda motorku ketika mengerem tercium.

Dari lereng bukit itu, aku dapat menyaksikan jalan mengular menuju ke atas. Juga bis yang mengangkut anak-anak sekolah dan ibu-ibu yang berjalan kaki dengan memikul sesuatu di atas kepalanya. Bis berjalan pelan dan terguncang-guncang melewati jalan tak rata. Bau aus tercium lebih kuat dari bau aus motorku tadi. Sementara itu anak-anak sekolah tertawa riang di atas atap bis. Yap! Mereka duduk di atas atap bis sedangkan ada jurang di sisi kiri dan ancaman longsor di kedua sisi. Ngeri!

Cara anak-anak desa bersenang-senang sepulang sekolah. Berlari-lari di lereng bukit.
Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

20 tanggapan untuk “Melihat Danau Toba dari Dekat dan Jauh”

  1. Membaca ceritanya dan melihat fotonya saya teringat sesuatu trip tahun 1969 naik “honda” merk “Jawa” dari Sibolga -Tarutung – Dolok Sanggul dan melalui Jalan Tele ke Panggururan. Sampai sekarang saya tidak lupa bengkolan2 yg berbahaya itu… Tetapi akhirnya “Horas – Danau Toba” yang indah! Terima kasih Pak Rahman atas sharing pengalaman sebagai traveller!

    1. Wow! Trip impian saya adalah berkelana dengan sepeda motor. Tapi trip dengan Honda pada tahun 1969 adalah suatu kemewahan. Anda sudah melakukannya sebelum saya lahir. Mengagumkan. Terima kasih kembali, Bapak Klaus Sturm.

  2. Beberapa fotonya puitis banget Cit. Dan aku yang belum pernah ke Toba, jadi makin pengen kesana deh. Btw lobsternya gak diabadikan? Jadi penasaran kaya apa lobster di danau …

  3. Pemandangannya cakep! Lalu melihat foto jalanan meliuk itu, ikut membayangkan rasanya mengendalikan kendaraan dan bau hangus dari rem dan kampas :D

  4. Danau Toba indahnya bukan main, ketika sampai di Danau Toba aku dibangunkan teman di elf yang kami tumpangi dari Medan. Bangun tidur terindah, langsung lihat Danau maha besar. Indonesia keren! Ceritamu adalah kesasar yang keren, jalan berkelok di atas bukitnya itu loh, jadi pingin ngerasain juga :-D

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: