Kesasar di Danau Toba

Gelap, sepi, dan mencekam adalah kesan pertama ketika aku keluar dari mobil dan menapakkan kaki di tanah Dairi, Sumatra Utara. Saat itu hari masih sangat dini. Pukul 3 pagi. Berbagai jenis pikiran buruk melintas di benak yang segera aku tepis. Kutarik ke dua sisi jaket lebih rapat lalu bergegas mengangkat ke dua ranselku dan berjalan ke sisi jalan yang lebih terang.

Mataku awas mencari tempat untuk beristirahat. Sebuah tempat yang kemudian kukenali sebagai warung kopi kudapati setengah terbuka. Menyempil di tengah deretan ruko khas bangunan tahun 90an. Spanduk bertuliskan Siang Malam di depan warung mulai tercerabik karena cuaca. Aku bergegas memasukinya. Seorang pria berumur sekitar 35 tahun duduk di tengah ruangan dengan kepala ditutupi kupluk, menengadah ke atas. Siaran dari sebuah saluran televisi berbayar sedang menyiarkan program alam liar. Sementara anjing-anjing melolong dari kejauhan.

Segelas kopi panas disajikan. Bagaikan sebuah kemewahan, aku mengaduknya dengan hati-hati. Kudekatkan ke dua telapak tangan pada gelas dan suhu udara hangat segera merambat dan menyebar ke seluruh tubuh. Sambil menunggu kopi menghangat, kutanya-tanya abang penjaga warung tentang transportasi yang dapat mengantarku ke Toba. Menurut informasinya, aku harus menunggu sampai matahari naik. Paling cepat jam 8 aku baru bisa berangkat menumpangi bis paling awal.

Sarapan lontong sayur di warung Siang Malam, sambil menunggu bis lewat.

Mini bis datang jam 8 memang benar, tapi aku belum bisa berangkat saat itu juga. Bis mengetem selama setengah jam dan berangkat hanya dengan dua orang penumpang menuju Pangururan. Setiap 100 meter, sopirnya menggerutu karena sedikit sekali penumpang.

Pemandangan selama perjalanan ini membuatku kagum. Karena pertama kali, mungkin kesannya terlalu berlebihan, tapi aku betah sekali duduk berjam-jam di dalam bis. Ada timbul rasa takjub saat melihat orang-orang yang berjongkok di depan rumah sambil menggendong bayi, di teras toko, atau berdiri diam di pinggir jalan.

Saat bis mengetem lagi di sebuah persimpangan, inang-inang bersugi sebesar jempol sedang duduk-duduk di sebuah warung, ada sekitar 30 menitan aku melihat mereka bercakap-cakap dari jauh. Dan aku penasaran bagaimana bakung itu bisa bertahan selama itu di dalam mulut tanpa jatuh. Pemandangan ini mengingatkanku pada mendiang Nenek yang dulu juga bersugi, tapi tidak sebesar yang dibibir inang-inang itu. Pernah beberapa kali aku mencoba mengunyah bakung yang kuambil dari dompet bakung Nenek, rasanya pahit dan sepat.

Gerbang masuk Kabupaten Samosir.

Bis mulai bergerak lagi. Perjalanan selanjutnya mulai tampak berbahaya karena jalan aspal dari persimpangan tadi terus menurun dengan banyak sekali tikungan tajam. Jurang yang entah sedalam apa membuatku bergidik. Ditambah pula dengan kondisi jalan yang berlubang dan ditambal di sana-sini.

Pemandangan dalam perjalanan menuju Pangururan.

Lekukan-lekukan jalanan di sisi jurang itu terlihat seperti liukan ular yang memesona namun membuat awas perhatian. Posisi tempatku duduk berada di samping supir, di pinggir jendela. Dari sana aku bisa melihat bebas ke seberang jurang, ke bukit hijau menjulang, dan kendaraan yang lalu lalang. Indah tapi membuat hati kebat-kebit.

Perjalananku dengan angkutan dari Dairi tadi berakhir di Pangururan dan melanjutkan perjalanan ke Tomok dengan menumpang angkutan lain. Selama hampir dua jam, aku disuguhkan pemandangan dengan nuansa yang benar-benar asing. Rumah adat, wajah, pantai, simbol agama, bahasa, bahkan suhu udara. Rasanya itu seperti baru pertama kali berjalan-jalan ke luar daerah. Asing tapi menyenangkan. Tur singkat itu pun berakhir di Tomok.

Aku menginap di Samosir Cottage yang direkomendasikan teman di daerah Tuktuk. Setelah tawar-menawar, aku mendapatkan harga yang cocok untuk menginap selama 3 hari 2 malam. Plus sewa motor untuk 2 hari setelah transaksi yang cukup alot dengan resepsionisnya. Ternyata kemampuan tawar-menawarku tidak buruk-buruk amat. Tapi murahnya harga yang aku dapatkan harus dibayar dengan KTP yang sampai sekarang tidak kunjung dikirim!

Kesasar ke Sigarantung

Perjalanan ke Danau Toba ini terinspirasi dari novel Gelombang karya Dee Lestari. Juga sekaligus untuk dapat menyelesaikan Cilet-cilet’s Bucket List 2015. Daftar paling atas yang paling ingin aku kunjungi di Samosir adalah Pusuk Buhit. Bukit yang dipercayai sebagai asal kelahiran suku Batak Toba ini berada di dekat Pangururan. Tapi hari itu aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke arah utara karena gagal ke Makam Raja Sidabutar. Padahal sepanjang jalan sudah wanti-wanti untuk memperhatikan papan petunjuk. Tapi dasar Ocit anaknya gampang teralihkan perhatiannya, akhirnya kesasar sampai ke Sigarantung!

Kutaksir jarak dari Tuktuk ke Makam Raja Sidabutar tak sampailah lima kilometer, tapi setelah 10 kilometer aku tak juga menemukan papan petunjuknya. Aku baru sadar kesasar ketika bertemu dua anak SD sedang berjalan kaki pulang dari sekolah. Karena sudah terlalu jauh, aku memutuskan untuk jalan terus ke utara, menuju Air Terjun Sigarantung yang disebutkan anak-anak tadi.

Air terjun Sigarantung

Air terjun ini berada persis di pinggir jalan. Dipagari besi berwarna hitam dan jembatan beton bercat kuning yang membatasi jalan aspal dengan bebatuan tempat air terhempas.  Sebuah bangunan kecil didirikan untuk menaungi tujuh buah mangkuk keramik putih yang di dalamnya berisi air dari aliran dan percikan air terjun. Aku menduga air di mangkuk-mangkuk ini pasti dipercaya dapat mengobati penyakit atau sesuatu yang dianggap berkhasiat. Karena tidak begitu yakin dengan dugaanku, aku memutuskan untuk tidak memasuki pagar itu.

Rumah Bolon Simarmata
Bagian bawah panggung yang dijadikan kandang ternak.

Dalam perjalanan pergi dan pulang dari dan ke Tuktuk, ada banyak rumah bolon yang kujumpai. Salah satunya adalah rumah bolon Simarmata. Kompleks perumahan tradisional berupa rumah panggung ini masih digunakan untuk bertempat tinggal. Konon rumah ini tidak menggunakan paku. Kuperhatikan, memang tak terlihat ada tancapan logam di permukaan papan-papannya. Kayu-kayu penahan atap tampak diikat dengan tali ijuk. Namun bagian terunik ada di bawah lantai panggungnya. Aku menemukan tiga ekor kerbau yang sedang memamah biak di sana. Bilah-bilah papan dijadikan sebagai pagar agar mereka tak berkeliaran di kampung dan merusak kebun-kebun warga.

Pemandian air panas Pangururan

Aku tak langsung pulang ke penginapan, tapi berjalan terus melewati Ambarita ke arah Pangururan. Aku memutuskan untuk mandi di pemandian air panas malam ini meski gerimis mencoba mengurungkan niatku. Empat puluh tiga kilometer bukan jarak yang dekat, tapi rasanya sudah kepalang tanggung, puncak Pusuk Buhit sudah terlihat, pantang pulang sebelum mandi air panas!

Salah satu pemandian di Pangururan. Sumber foto: screenshot dari google map.

Ada banyak sekali tempat pemandian air panas di areal ini. Aku sampai bingung memilih tempat mana yang hendak dimasuki. Ragu-ragu aku memasuki areal parkir di sebuah pemandian. Kolam untuk pria dan perempuan dipisah oleh dinding-dinding tinggi. Aku membutuhkan waktu hampir 10 menit untuk membiasakan diri dengan suhu air yang menurutku terlalu hangat. Apalagi pas pertama kali masuk, bagian antara paha dan pinggang butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi. Yang laki-laki, pasti tahu apa maksudnya. Hehe…

Kalau aku perhatikan, mandi air panas di sini sudah menjadi kebiasaan warga sekitar. Banyak yang membawa perlengkapan mandi lengkap seperti sabun dan shampo.  Dan mereka juga tidak sungkan-sungkan bertelanjang di depan pengunjung yang lain. Jadi siap-siaplah kaget kalau tiba-tiba ada yang membuka celana dalamnya di depanmu.

Untuk menikmati pemandian air panas ini, tamu tak dipungut bayaran. Hanya saja setelah mandi, sebaiknya tamu duduk-duduk sebentar di warung pemilik kolam dan memesan minuman dan makanan. Apalagi selesai berendam air panas, butuh banyak minum untuk mengganti cairan yang hilang kan?

Isya telah lewat, dan aku masih terjebak hujan  di warung yang dipenuhi mahasiswi keperawatan. Aku memesan minuman isotonik kedua sambil duduk santai di pojokan.

Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

20 tanggapan untuk “Kesasar di Danau Toba”

  1. Wah hebat kesasar langsung dibonus air terjun :)
    meskipun isya udah lewat tapi sepertinya asyik juga kalau dikerumuni yang bening” mah ya? :D

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: