Menonton Sotong Menari di Pulau Nasi

Aku adalah salah satu orang dari ribuan orang di dunia ini yang percaya bahwa setiap orang punya rejeki masing-masing. Ketika kawan-kawan blogger sedang menikmati perjalanan Candat Sotong di Terengganu yang dihelat oleh negara tetangga, aku melarikan diri ke Pulau Aceh dan bersyukur bisa melihat sotong menari-nari di celah-celah bebatuan saat kami selesai snorkeling di Pulau Nasi. Paling tidak bisa meminimalisasi rasa iri melihat update mereka di social media :p Hehe…

Alih-alih memancing sotong, aku dapat melihat langsung tingkah polah sotong dari dekat. Coba perhatikan foto di bawah. Ada berapa ekor sotong yang kamu lihat? Emm, yang paling atas itu bukan sotong, itu dugong.

Temukan 10 ekor sotong di dalam foto. :D

Sotong bergerak maju dan mundur di bawah permukaan air. Sepertinya mereka sedang berburu mangsa berupa ikan-ikan kecil atau udang yang terperangkap di celah bebatuan karena terdorong arus. Tentakelnya menyatu lurus ke depan ketika dia bergerak. Saat merasa terancam, sotong melesat mundur secara horizontal dan hilang dari penglihatan dalam sekejap. Jika diperhatikan, sotong tidak termasuk binatang yang senang berkelompok. Mereka saling usir ketika ada sotong lain yang datang mendekat untuk mencari makanan.

Pemandangan langka ini kami saksikan ketika lelah berenang-renang di perairan dangkal di pinggiran hutan. Bebatuan besar-besar menjorok ke dalam lautan dari tebing setinggi 10 meter. Tutupan koral di kawasan ini lumayan menarik untuk dijadikan spot snorkeling. Banyak ikan-ikan beraneka warna dan berbagai ukuran berenang di dalamnya.

Snorkeling di Pulau Nasi.

Malam kedua di Pulau Nasi kami lewatkan di sebuah pantai di Gampong Deudap. Kami sudah kemalaman ketika tiba di sana dan segera mendirikan tenda dengan bantuan lampu dari sepeda motor. Angin berhembus kencang waktu itu. Layer tenda berkibar-kibar saat dibentangkan. Tentu saja ini menyulitkan kami untuk mendirikan tenda dengan cepat di tengah terpaan angin dingin. Tapi kawan-kawan terus bekerja meski dengan jarak pandang yang terbatas. Setelah tenda berdiri dengan aman, kami mengumpulkan ranting-ranting kayu untuk api unggun.

Aku tak bisa melihat dengan jelas kondisi pantai malam itu. Semua serba gelap. Tak ada bulan. Keesokan paginya aku baru mengetahui pantai berpasir di lokasi kami berkemah tak begitu panjang. Pantainya dipenuhi sampah cabang pohon dan ranting-ranting yang terdampar. Kedua ujungnya dibatasi formasi batuan sedimen yang permukaannya dilapisi semacam lapisan yang terlihat mirip dengan besi karatan ketimbang batu. Bebatuan ini memiliki rongga-rongga yang dibalut oleh permukaan dengan lapisan yang menyerupai besi tadi. Kami berkumpul di sebuah bongkahan batu besar. Duduk dan berbaring  di permukaan datar sambil memandangi gemintang yang berpendar.

Api unggun kami nyalakan di samping rebahan pohon kelapa. Kami berbaring di atas pasir yang beralaskan matras dan parasut hammock. Aku dan Ilham terlelap hingga api unggun padam. Sedangkan Madhan dan Fahrizal pindah ke dalam tenda dan nyenyak di sana, bersama kawanan sapi di belakang tenda.

Matahari perlahan menyingsing di ufuk barat. Semburat warna oranye dan biru perlahan-lahan meluas menjajah langit yang semula kelam. Cahayanya memperjelas guratan-guratan bebatuan di kedua ujung pantai. Wajah ujung Deudap perlahan terang dan wujud aslinya pun terlihat. Pantai kecil itu berwarna putih agak kekuningan, formasi bebatuan berujung runcing dan menanjak ke langit, melawan angin. Jika tak ada rumput hijau yang tumbuh di tengah-tengah formasi batu, rasanya aku seperti tidak sedang menginjak bumi. Terasa asing.

I believe i can fly and no one can. – Ilham, single, korban php.
LOL =)))

Ujong Deudap adalah tempat terakhir yang kami kunjungi di Pulau Nasi. Setelah mengemas semua perlengkapan, kami memacu motor ke Gampong Deudap untuk membersihkan diri, menjumpai beberapa tokoh kampung sekaligus berpamitan. Tak enak rasanya jika tak pamit karena menolak tawaran mereka malam sebelumnya agar menginap saja di meunasah (musholla) di dekat dermaga Deudap. Kemudian kami bertolak kembali ke Lamteng untuk sarapan. Mendekat jam 8 pagi, kami bergegas ke pelabuhan dan meninggalkan pulau dengan menaiki ferry, kembali ke Banda Aceh.

Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

8 tanggapan untuk “Menonton Sotong Menari di Pulau Nasi”

  1. Pemandangan fajar yang dramatis. Gunung apa yang tampak samar di kejauhan itu, Mas? Tanjung yang membelah pantai itu membuat pemandangan hampir bisa seperti 180 derajat ya, mengagumkan. Memang indah pantai-pantai di Indonesia. Semoga sampah-sampah di sana hanyalah sampah alami seperti ranting pohon saja dan tidak bertambah dengan sampah plastik bawaan wisatawan yang belum kenal apa itu tong sampah :hehe.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: