Tertawan Prambanan

Bus tiba di Prambanan dua jam sebelum adzan subuh berkumandang. Hanya dua orang penumpang yang turun: aku dan Dion. Kawan yang kukenal di Pare ini adalah salah satu instruktur bahasa inggris di sebuah lembaga kursus di sana. Kami berdua menaiki bus berwarna kuning dari Bra’an jurusan Jogjakarta. Udara dingin menusuk hingga menembus lapisan kedua baju yang kukenakan. Kami bergegas menuju masjid.

Masjid Al Muttaqun yang dibangun oleh Hidayat Nurwahid ini berdiri megah di Jalan Jogja-Solo. Berseberangan dengan Candi Prambanan di sebelah selatan. Toko-toko berimpitan di kiri-kanannya, tutup tentu saja. Hanya ada beberapa tukang ojek yang nongkrong di depannya sambil terkantuk-kantuk. Melihat kami yang baru turun dari bus pun tak membuat matanya nyalang.

Kami berdua berpencar mencari lokasi tidur yang nyaman. Namun serangan udara yang dingin dan nyamuk membuat kami tak bisa benar-benar tertidur. Diperparah pula dengan suara mesin dan knalpot dari bikers yang sedang touring dan melintas di depan mesjid yang amat mengganggu. Aku hanya bisa tidur-tidur ayam hingga adzan subuh berkumandang. Ketika bangun untuk shalat, tempat wudhu dan toilet mesjid sudah dijubeli oleh pengunjung yang entah datang dari mana. Mesjid kehabisan air! Lanjutkan membaca “Tertawan Prambanan”

Iklan
%d blogger menyukai ini: