Ketika memikirkan kalimat pembuka apa yang menarik untuk perjalanan mengunjungi salah satu pedalaman di Bangka memberiku jeda lama. Karena rasa takjub yang lagi-lagi menderaku ketika mengingat kembali apa yang sudah aku lalui selama di pulau ini. Akhirnya seminggu lebih berlalu tanpa menghasilkan satu kalimat pun. Bangka memang mengagumkan.
Perjalanan melihat wajah lain Bangka ini terlaksana berkat ajakan Arie. Seorang blogger asli Bangka yang punya abang sepupu seorang peneliti Suku Lom, Teungku Sayyid Deqy. Mereka diundang oleh salah satu keluarga suku untuk ikut bersama menikmati hasil panen di kebun mereka di Desa Pejem, Kecamatan Belinyu, Bangka Barat. Perjalanan panjang ini ditempuh dengan dua kendaraan. Pertama dengan mobil dari Pangkalpinang ke Belinyu lalu ganti mobil dengan truk ke Desa Pejem. Jika dihitung pakai google map, total panjang perjalanan yang ditempuh kurang lebih 117 kilometer. Inilah perjalanan pertamaku menaiki truk yang melintasi daerah terpencil yang jalannya masih kebanyakan berwarna merah, bukan hitam (baca: aspal). Aku dan kedua teman yang menumpang di dalam bak truk serasa menjadi karung kentang. Pasrah saja terbanting ke kiri-kanan dan digodok ke atas-bawah karena jalan ‘raya’ yang tak rata.

Senja semakin pekat dan azan telah berhenti berkumandang saat kami tiba di rumah. Karena badan yang penuh debu merah, kami memutuskan mandi. Rumah-rumah Suku Lom di Desa Pejem dibangun permanen dan sudah dialiri listrik dari PLN. Namun kebanyakan rumah-rumah ini belum dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet meski di belakang rumah ada sebuah sumur tak berpenutup. Tapi mereka memiliki kebiasaan mandi di pemandian umum, sama seperti desa-desa lain di Bangka pada umumnya. Pemandian hanya berjarak 50 meter dari rumah, masuk ke dalam hutan. Ke sanalah kami mandi pada malam-malam buta itu. Dan ini menjadi kali pertama aku mandi di pemandian umum dan gelap-gelapan pula. Sensasinya…. mencekam sekaligus seru!
Ba’da Isya, beberapa warga berkumpul di pondok khusus untuk rapat adat. Sebuah pertemuan akan digelar untuk membicarakan pantang dan larang di kawasan hutan suku Lom dan pembahasan-pembahasan pelik lainnya antara Suku Lom dengan pihak luar berkenaan dengan hutan dan kebun. Sebagai suku yang sangat bergantung pada hutan, suku Lom berhadapan dengan pemerintah dan pemilik kebun kelapa sawit yang semakin hari mempersempit ruang gerak mereka. Hektar demi hektar hutan terus dibuka dan Suku Lom yang masih hidup berpindah-pindah dan yang sudah menetap sekalipun semakin terjepit.
Pantang larang Suku Lom terdiri dari butir-butir pantangan dan larangan yang akan ditulis di papan pengumuman di beberapa tempat strategis seperti hutan, kebun, dan di pinggir jalan perkampungan. Seperti pantang adanya aliran air di tengah kebun, pohon yang mengarah ke sudut kebun, atau pantangan bagi nelayan membawa umpan dari darat untuk menangkap ikan di laut dan pantangan & larangan lainnya. Hal-hal seperti ini akan kembali digalakkan sebagai pengingat supaya tradisi leluhur dan keseimbangan hidup dengan alam tetap terjaga.
Rapat terus berlangsung, sesekali diselingi dengan candaan-candaan untuk mendinginkan suasana. Sementara itu bulan separuh telah naik sepenggalah dari cakrawala, menyembul dari balik awan yang bergerak cepat. Angin menarik dahan-dahan pohon riuh merunduk di atas atap genteng. Pondok berdinding dahan kayu jarang-jarang tetap hangat oleh pembicaraan yang lamban laun semakin sayup hingga rapat dibubarkan. Bantal-bantal kecil telah berpindah tempat dari ruang tamu ke dalam pondok balai adat. Beralaskan tikar pandan, kami tertidur pulas.
Itu jalanannya agak sempit buat ukuran truk Mas :hehe
Tapi seru bisa mandi-mandi gegelapan di tengah hutan, terusnya bisa interaksi dengan masyarakat asli sana dan tahu sedikit tentang sistem kepercayaan mereka yang masih kental dengan ikatan leluhur :))
Masih ada tulisan lanjutannya, Gar. :D
Ditunggu :D
Kemaren penelitian di sini sama bang edwin juga, aih.
Ketemu bang deqi juga. Pasti nanti nujuh jerami mau dateng kaan? Hohohoho
Sayang e bulan April ku lah dak ade agik di Bangka. Huhuhu… :(
Weh.. Lah nek pindah bang yee? :’)
Akhirnya sampai juga ya citra. Pengalaman yang sangat berharga bisa langsung berinteraksi dengan masyarakat suku Lom. :) Dulu waktu KKN aku ngajar di SMP Satu Atap di Desa Bintet, Belinyu. Ada salah satu murid dari suku Lom. Luar biasa ya perjuangannya… Itu jarak ke sekolahnya jauh sekali lho.
Iya. Aku baca tuh tulisanmu yang bilang ada anak yang sekolah di sekolah kalian itu, terus aku tanya lho sama orang Pejem jarak ke daerah kalian KKN itu. Buset jauh kali! Kan ga ada bus yang lewat situ.
Kalau ke Bangka penginnya sih ke rumah pengasingan Bung Karno, tapi kayaknya mengunjungi Suku Lom juga menariiik :D
Rekomendasi sekali, Kak Yus. Tapi ya susah ditransportasi sih kecuali sewa mobil atau motor. Dan kalau ke Bangka wajib emang ke Wisma Pesanggrahan dan Menumbing. :D
informasi lain mengenai Bangka, makasih ya :)
Sama-sama, Rachmat. :)