“Yoh ke Sabang yoh minggu depan?”, ajak seorang kawan. Waktu itu aku masih anak baru di Pangkalpinang. Masih awam sekali nama-nama daerah di Pulau Bangka. Tadinya aku berpikir kalau Sabangnya Bangka ini seperti tempat tandingan Sabang di Aceh. Seperti beberapa julukan destinasi wisata yang kerap kita dengar di artikel-artikel traveling: Maldivesnya Indonesia, Grand Canyonnya Indonesia, bla bla bla. Tapi Sabangnya Bangka ini ternyata tidak seperti itu.
Orang Kota Pangkalpinang dan sekitarnya menyebut Sabang untuk Toboali karena letak geografisnya berada paling ujung pulau Bangka. Sama seperti Sabang yang berada paling ujung pulau Sumatra. Kalau keindahan daerahnya, sudah pasti tiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri. Mencapai Toboali dapat ditempuh selama 3 jam dari Pangkalpinang dengan mobil atau bus. Tapi dengan keahlian menyetir Bapak Manajer Muda berjiwa Lewis Hamilton, Hans memangkas waktu tempuh normal menjadi setengahnya!
Toboali adalah sebuah kecamatan sekaligus sebagai ibukota Kabupaten Bangka Selatan. Sabang atau Habang–orang Toboali melafalkan s menjadi h, Sabang menjadi Habang, sampo menjadi hampo–adalah sebuah kota kecil yang punya akses paling dekat ke pulau Belitong dengan kapal.
Karena kotanya kecil sekali, jadi tidak begitu banyak objek menarik yang dapat dilihat di sekitar kotanya. Kota ini sendiri mengingatkanku pada kota Tapaktuan di Aceh Selatan yang pernah dijuluki ‘Kota Seratus Meter’ saking kecilnya. Tapi aku suka kedua kota ini. Biar kecil tapi unik. Ah, jadi kangen Aceh lagi kan?! Hehe.
Mobil yang membawa kami tiba di Rumah Sakit Timah. Seorang dokter muda lumayan tampan kelihatan sibuk di dalam ruangan IGD. Andre, Lord Mayor of Habang masih sibuk mengurusi pasien ketika kami tiba. Kami datang karena undangannya untuk melihat Habang dan sekalian juga membawa seorang kawan couchsurfing asal Kalimantan berjalan-jalan, Juwita.
Destinasi terdekat adalah Benteng Toboali peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1882. Benteng yang digunakan untuk menjaga tambah timah ini berdiri di atas sebuah bukit kecil yang menghadap ke laut. Puing-puing benteng menjelaskan bangunan tua ini dulunya terdiri dari beberapa ruangan untuk prajurit, gudang, dan kamar mandi karena ada sekat-sekat dinding. Beberapa jenis pohon besar tumbuh di sekitar benteng seperti pohon kenari, seolah menjadi payung dari sengatan matahari. Musim kemarau yang panjang membuat dedaunannya yang lebar-lebar berubah warna dari hijau ke oranye dan merah.
Di bawah bukit, sebuah pantai pasir putih yang tak begitu lebar dipenuhi sampah-sampah plastik dan dipagari pepohonan. Arena bermain anak-anak seperti perosotan, ayunan, dan pondok berdiri dihiasi guguran daun dan sampah yang bertaburan.
Tak jauh dari arena bermain anak, sebuah mercusuar menjulang menembus rimbun pohon. Beberapa buah anak tangga baja sudah hilang. Aku yang nekat naik harus melompat dan bergelantungan pada anak tangga paling atas lalu mengangkat badan hingga mencapai pijakan. Dahana-dahan pohon yang menjulur di antara rangkaian baja membuatku agak kesulitan memanjat. Tanpa sadar aku mengusik sarang semut merah sebesar kepalan tangan, membuat prajurit semut beringas menggigit kakiku. Ketika sampai di puncak, aku harus mengaduh lebih keras lagi, pintu baja jatuh menimpa kepala. DUH!
Aku selalu takjub dengan apa yang bisa aku lihat dari atas. Kalau bahasa kerennya tuh, bird’s eye view. Aku menikmati proses demi prosesnya. Menaiki tangga, menahan rasa gamang karena ketinggian, kadang-kadang dapat bonus seperti digigit semut dan ditimpa pintu tadi misalnya. Masih untung tidak disuruh turun sama penjaga. Tapi kesulitan itu dibayar dengan pemandangan indah yang belum tentu dapat dilihat oleh semua orang. Bisa melihat lebih jauh, lebih luas, lebih tenang. Makanya aku paling senang menaiki menara atau mercusuar. Karena ketika berada di atas sana, selain bisa melihat pemandangan indah sejauh mata memandang, juga bisa membantuku berpikir lebih baik, membantuku berpikir dengan point of view yang berbeda. Entah apa hubungannya tapi itu sangat membantu.
Sore hari kami habiskan dengan nongkrong di pantai yang letaknya lumayan jauh dari pusat kota. Ada beberapa pantai yang terkenal di Habang, tapi letaknya saling berjauhan satu dengan yang lain. Kami hanya sempat mengunjungi dua saja. Pantai Tanjung Kerasak dan Pantai Batu Perahu. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, kami buru-buru pindah dari pantai Tanjung Kerasak menuju Pantai Batu Perahu. Karena letaknya yang lumayan jauh, meski buru-buru pun, momen detik-detik matahari tenggelam pun tak terkejar. Tapi kami masih beruntung dapat melihat sisa-sisa cahaya matahari yang memesona. Gradasi warna di cakrawala seperti enggan ditelan malam. Perahu-perahu kayu ditambat tak jauh dari pantai bergerak pelan, bagai gerakan slow motion, sepelan memudarnya lembayung senja.
Kalo dilihat dari ketinggian Toboali keren juga ya ternyata. :) bawa oleh-oleh belacan gak Nan? hehehe. Belacan-nya Toboali juara! :)
wahhhhhhhhh keren citttttttttttttt
Jom ke Bangka! :D
woww.. indah! Yang paling saya suka reruntuhan bentengnya. Mudah-mudahan terus dirawat biar bisa terus seperti itu. Pantainya juga cantik
Iya. Semoga ga ada yang mencoret-coret dinding dan buang sampah sembarangan lagi. :)
Waah.. Artikel trip ke Toboali November kemarin!! Quite well written, walaupun ngeremehin yang bawa mobil yaa kalo Pangkalpinang – Toboali ditempuh selama 3 jam haha.. Oia, sedikit koreksi. Mungkin teknik pengambilan gambar dari atas atau lebih tinggi dari objeknya yang dimaksud itu Bird Eye View ya? :)
I’ve told you, toboali would never disappoint anyone who look for the beauty of natures.
Ayok visit toboali agik..
ya ampyuun, rabu-jumat minggu lalu aku barusan dari sana bang. beda dines sama edwin tapii. dia ke koba. hahaha. iyaaap, toboali emang ga ngecewain. aku ke benteng belanda itu, ke tanjung krasak juga, minum bandrek & makan martabak mesir malem-malem, ke pantai yang ada reruntuhan kapal di pinggir pantainya (lupa namanya), hehe. cuma ga sempet main ke sawah aja kemaren tuuu~~
Kami cuma sempat ke pantai dan makan mie. :(
nantiik kapan-kapan ke sanaa lagi kitaaa~
:D
Siiiiaaaap… Ada teman yg bilang kalau ada saung di dekat situ. Katanya makan ala raja-raja or something. Aku belum punya gambaran apa-apa gimana makan ala raja itu. Sekalian mau beli madu penurun berat badan. hehehee
eh, ini di kantor ada orang Habang juga, tapi dia juga belom pernah denger ada tempet gitu.
huahahaha, madu penurun berat badan dapet di manaa cobaak? :3
Eh kok jadi ngomongin madu sik. Madu kan di Namang. Hahaha.. Mulai error pagi-pagi.
yassalaam *tepok jidaat*
hahaa. iyaa. kemaren akuu barusaan beli madu namaang. *pamer sikit*
:P
Benteng dan pantainya mantab Mas.
Senja di pantai memang tidak pernah mengecewakan :haha
Alam ga pernah bikin kecewa sih ya. :)
kakaknyaaa.. itu di foto pertama aerial viewnya dari mana?
aku ngakak baca ==> berjiwa Lewis Hamilton hahahah jadi inget pak supir yang nganter aku dari Padang ke Bukit tinggi, rasanya di kursi belakang juga butuh injakan rem deh :))
Aerial view diambil dari atas menara suar, kakaknyaaa… Yang di bawah bukit dekat benteng itu. Pengennya sih punya quadcopter tapi belum ada yg endorse. hahaha… :p
Haha, bukan masalah anak kosnya sih, cuma kalo orang gak mau makan terasi, biar gratis juga gak mau biasanya hihihi
Mau doooong. Cuma belum dapat gratisannya yang udah siap makan. Hehe
Haha.. Lewis Hamilton! Anyway, good thing that you climbed up to take the pictures. Jadi bisa ngelihat Toboali dari angle yang ngga biasanya ;)
Wah !! Keren gitu ya bang..
Nggak jauh-jauh beda sama Sabang kita lah ya. Ada bentengnya juga. :D
Foto-fotonya paten bang. Berasa gimana gitu. Jadi pengen ke sana
Hahaha..makasiii…padahal kamera udah jamuran tu. :D
kamera ngak terlalu ngaruh bang. yang penteng cara ambelnya aja. wkwkwkwkwk
“Toboali, ada lima perkaranya…”
(eh) (itu Tombo Ati ding)
Sama, bang. Aku juga suka melihat pemandangan dari ketinggian, padahal aku takut ketinggian hahaha. Kalau ke Bandung, coba naik ke Menara Masjid Raya, bang :D
Foto senjanya cakep!
Ntar temenin naik yah. :D
Ahaha. Siap, mas! :D
Kiranya itu dulu benteng pertahanan Belanda untuk melindungi Bangka, karena Bangka memiliki Sumber Daya yang bisa menggemukkan perut-perut kolonial.
Catatan yang indah cit! :)
Betul, Bang Farchan. Rupanya banyak yang mengincar sumber daya alam Toboali ini pada zaman dulu sampai dibikin benteng ini oleh Belanda. Terima kasih sudah mampir, Bang. :)
iiiih cakeppppp bikin mupeng cit
huper hekali :-P
Mantab sekali tapi sayang gak sempet cobain belacan TOboali :D
Boleh minta contact nya ga? Rencananya dalam waktu dekat ini saya mau ke Bangka.
Wah maaf mas/mbak. Saya sudah tidak tinggal di Bangka lagi. Untuk ke Habang bisa menggunakan mobil sewa. Saya punya nomor kontaknya kalau mau. Silakan hubungi saya dengan email yang tertera di halaman kontak http://hananan.com/kontak/. :)