Island Hopping ke Batu Becinte

Ketika kecil dulu, kita sering memandangi awan-awan dan melihatnya dalam bentuk binatang atau wajah orang. Tapi sepertinya orang jaman dulu di Belitong bermain tebak bentuk dengan cara yang lain. Yaitu dengan memandangi batu-batu dan menamainya dengan bentuk yang menyerupainya. Berikut adalah catatan perjalanan bacpacker cilet-cilet ketika hopping island melihat berbagai bentuk batu yang unik-unik di seputaran Pulau Lengkuas.

Semua travel agent di Bangka maupun Belitong pasti menawarkan paket island hopping ke setiap tamu yang berlibur ke pulau dengan julukan Negeri Laskar Pelangi ini. Salah satunya adalah Belitung Tours yang dikelola oleh kawan kami ini, Bang Edi. Ada banyak paket menarik yang bisa kamu sesuaikan dengan keinginan kamu di websitenya: http://belitungtours.com. Puluhan kapal kayu kecil bersauh di pantai Tanjung Kelayang di antara perahu-perahu nelayan. Para awak kapal kayu itu sudah menanti tamu-tamu yang antusias untuk berkeliling pulau-pulau cantik selama seharian.

Jumlah teman ngetrip kali ini bertambah tiga orang lagi. Selain Aku, Vero, dan Oja, ada Kadet, dan Hadi yang baru tiba kemarin sore dari Bangka, dan Bang Edi. Kapal sudah kami booking dari kemarin malam seharga empat ratus lima puluh ribu rupiah perhari. Selasa pagi itu kami berangkat dengan sepeda motor ke Tanjung Kelayang setelah menikmati sarapan di warung Mak Jannah yang terkenal lezat di Tanjungpandan.

Batu Garuda

Berkeliling pulau selalu menjadi atraksi yang menarik jika berlibur di daerah kepulauan. Meski keindahan pulau yang dikepung warna laut hijau memukau adalah karakteristik pemandangan kepulauan di Indonesia, tetap ada nuansa berbeda di tiap keindahannya. Pulau-pulau kecil di Bangka Belitong memiliki pesonanya tersendiri dengan bebatuan granit dan laut hijau tosca jika datang pada musim-musim yang tepat. Pernah aku membaca sebuah tulisan di blog tentang kekecewaan si penulis berlibur di Belitong. Air laut butek dan angin kencang. Tak ada apa-apa yang menarik minatnya lagi selain segera angkat kaki dari pulau itu.

Pemanasan global sepertinya telah mengubah musim-musim di Indonesia. Jika pada masa aku masih sekolah dulu, musim kemarau dan musim penghujan dapat kita hitung dari nama-nama bulan, seperti jika musim hujan berlangsung pada nama bulan yang berakhir ‘-ber’. Tapi sekarang tak tentu lagi kapan dimulainya musim penghujan, kapan redanya musim kemarau, dan kapan datangnya musim angin barat. Informasi cuaca dari warga lokal adalah solusi tepat sebelum kamu memutuskan berlibur ke daerah manapun. Bergabunglah dengan beberapa grup traveling yang dapat ditemukan di facebook untuk menemukan orang lokal.

Batu Garuda adalah destinasi pertama yang kami datangi. Tapi kami hanya melihatnya saja dari atas kapal yang melambatkan lajunya saat mengitari susunan batu granit ini. Dari jarak sekitar sepuluh meter dapat kusaksikan beberapa buah lampu sorot ditempel di atas permukaan batu dengan solar panel terpancang dengan suatu jarak di permukaan batuan yang lebih rendah dan rata. Tiga ratus meter dari Batu Garuda, kami singgah di Batu Layar. Sebuah pulau yang hanya terdiri dari pasir putih dan beberapa batu besar bertumpuk-tumpuk. Salah satunya adalah batu besar nan lebar berdiri bak layar terkembang dilihat dari kejauhan. Tapi jika dari dekat, ia hanyalah batu bulat setinggi rumah yang ditopang batu granit lain di belakangnya.

Batu Layar

Tak jauh dari Batu Layar, nampak perairan dangkal yang dasar pasirnya sudah dapat kukira kedalamannya meski dilihat dari jarak seratusan meter. Sebuah kapal berwarna biru seperti kapal-kapal angkutan turis lainnya telah tiba lebih dulu menurunkan satu pasangan suami istri. Keduanya berjalan di atas gundukan pasir yang tak begitu luas itu. Sang istri terlihat terlalu antusias daripada suaminya yang  memasang ekspresi muka ‘oh dear ini hanya gundukan pasir di tengah laut’ dan sebelum berbalik melihat kapal kami, dia mendelik dengan tatapan menahan kesal karena ingin segera naik ke kapal. Tapi sepertinya kawan-kawan tak begitu peduli dengan drama hollywood di depan kami. Mereka segera berlompatan ke dalam air yang hanya setinggi mata kaki. Tiga ekor bintang laut dengan duri-duri berwarna kecoklatan di punggungnya terdampar di atas gundukan pasir yang sepertinya memang sengaja dinaikkan oleh guide yang datang sebelum kami untuk menarik minat turis sebagai objek foto; yang kemudian dilemparkan kembali ke dalam lautan oleh Bang Edi.

Beningnya air laut membuatku ingin melompat ke dalamnya dan berenang-renang. Tapi rasa takut kedalaman dan warna biru tua di bawah laut membuatku merasa seram jika berenang sendirian. Kutahan keinginanku untuk beberapa waktu lagi. Pulau Lengkuas sudah tak begitu jauh dari tempat kami berada karena di sanalah tujuan para turis berenang melihat keindahan terumbu karang di dalam beningnya lautan.

Kapal memutari Pulau Burung, melewati pondok kerambah ikan yang dipancang tak jauh di lepas pantai. Sebelumnya ada dua bongkah batu raksasa di pinggir pantai. Bongkah pertama berbentuk kepala burung, mencuat miring dari dalam laut seolah hendak menimpa bongkahan batu kedua yang mirip dengan lekukan punggung paus. Begitulah imajinasi orang-orang jaman dulu yang kemudian menasbihkan rupa batu pertama menjadi nama pulau tersebut. Jika kuperhatikan lagi, kubayang-bayangkan, tak ada pun miripnya dengan kedua binatang itu. Kecuali susunan bongkahan batu granit di balik pulau yang disebut Batu Becinte. Letaknya tersembunyi di balik lebat hutan pada sisi lain pulau.

Bekas penginapan di Pulau Burung

Aku berjalan ke tengah pulau yang ditumbuhi ilalang lebat setinggi paha. Ujung dan pinggir daun ilalang yang tajam dan runcing jika bersentuhan dengan kulit ketika menyusur jalan setapak akan membuat goresan tak kasatmata yang bisa bikin gatal selama seharian. Padang ilalang berganti dengan rerimbunan pohon kelapa, pohon cempedak, dan pohon-pohon lain yang tak kutahu namanya. Hutan lebat ini berbatasan langsung dengan pantai sempit dengan dasar laut berlantai batu granit berlumut dan pasir. Bebatuan mencuat di mana-mana. Termasuk Batu Becinte yang kusebutkan tadi. Butuh waktu lama untukku menangkap imaji orang bercinta pada susunan batu yang kupandangi dari atas batu raksasa di depan reruntuhan pondok. Pondok itu pun didirikan di atas permukaan batu granit yang rata. Terasnya terdiri dari dahan-dahan kayu sebesar lengan orang dewasa. Dari atas batu itulah aku mencocokkan bentuk batu dengan namanya. Memang benar pula bentuknya mirip seperti sepasang manusia yang sedang berpelukan atau berciuman. Jika imajinasi ditarik lagi lebih vulgar tinggi , bagian batu atau bagian ‘tubuh’ lain yang hanya dapat dilihat lewat ruang imajinasi menguatkan nama ‘batu bercinta’ pada susunan batu itu. Penasaran mau melihat langsung batunya? :D

Coba tebak yang manakah susunan batu yang mirip dengan posisi sepasang kekasih sedang berpelukan? ;)
Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

9 tanggapan untuk “Island Hopping ke Batu Becinte”

  1. Haduh, kapan saya ke belitung ya… :(

    Bicara soal cuaca, memang kini ikoim jadi rumit, jadi buku2 RPAL atau Geografi dulu udah ga bisa jadi panduan lagi hehe. Salam kenaaalll :)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: