Hiking Ke Gunung Tajam

Kami disambut senja yang indah di pantai Tanjung Pendam ketika tiba di Pulau Belitong. Pantai ini tak jauh dari pelabuhan Tanjungpandan, tempat Kapal Express Bahari berlabuh setelah melintasi Selat Gaspar selama empat jam di hari sabtu yang cerah. Permukaan laut berombak tenang telah mengantarkan kami lebih cepat satu jam dari perkiraan waktu tempuh biasanya. Jika perjalanan itu kami tempuh sampai lima jam, mungkin kami keluar kapal dengan tubuh membeku. ACnya luar biasa dingin! Bukan empat jam perjalanan yang menyenangkan terperangkap dalam suhu dingin.

Aku, Vero, dan Oja tiba lebih dulu di Belitong. Lalu menyusul Kadet dan Hadi dua hari kemudian. Kami berlima menginap di rumah seorang kawan, Edi, pengusaha travel agent Belitungtours.com yang ‘kadang-kadang’ mukanya mirip sekali dengan Jet Lee. Nah, kalau mau traveling ke Belitong, bisa kontak Bang Edi ini, silahkan cek paket-paketnya di website belitungtours.com. :D

Hari minggu yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia adalah hari pertama kami efektif menjelajahi Belitong. Destinasi pertama adalah Gunung Tajam di Kecamatan Badau yang berjarak sekitar dua puluh tiga kilometer dari kota Tanjungpandan dengan jarak tempuh kurang dari satu jam perjalanan dengan menaiki mobil. Gunung Tajam adalah gunung tertinggi di pulau Belitong dengan ketinggian 510 mdpl. Gunung ini juga dikenal dengan sebutan Keramat Gunung Tajam karena ada makam Syekh Abdullah Abubakar di puncaknya. Konon, beliau adalah syekh yang berasal dari Aceh yang menyebarkan agama Islam pertama kali di Belitong. Beliau mendapat perlawanan dari Kiai Agus Bustam yang memerintah di Kerajaan Balok. Cerita lengkapnya bisa kamu baca di sini: Asal Mula Keramat Gunung Tajam.

Sebelum mendaki ke makam, kami bermain-main air dulu beberapa lama di Air Terjun Gurok Beraye. Sebuah kolam besar terisi penuh oleh air yang bening dan sejuk. Puluhan ekor Ikan Tanah bersisik belang garis-garis seperti kue lapis bergerombol berenang di dekat kaki, berharap mendapat lemparan makanan. Satu jam pertama kami habiskan dengan berfoto-foto dengan tema 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Bendera Merah Putih dikibarkan di tengah tebing air terjun berganti-gantian.

Air kolam yang bening amat menggoda untuk direnangi. Tapi aku tidak membawa celana ganti, karena dari awal Bang Edi pun tak bilang kalau ada air terjun untuk mandi-mandi. Aku berharap kedua kawan perempuanku itu menghilang sejenak supaya aku bisa menanggalkan pakaian. Ketika mereka kemudian tak terlihat lagi di atas tebing air terjun, aku segera melepas pakaian luar dan segera melompat ke dalam air. Aaaah…segar sekali! Bang Edi kemudian menyusul melompat ke dalam kolam setelah melihat-lihat ke atas tebing dengan was-was! Haha…

Sebuah papan petunjuk arah bertuliskan Makam Syekh Abdullah Abubakar 350 m terpancang mengarah ke atas tanjakan di sebelah kiri jalan, tak jauh dari tempat parkir kendaraan. Ah, dekat ternyata. Kami pun menapaki anak tangga demi anak tangga. Seratus meter, tiga ratus meter, lima ratus meter. Loh? Mana makamnya? Hampir setengah jam mendaki pun tak terlihat tanda-tanda makam. Sepasang suami istri bersama seorang anaknya sudah mendaki selama dua jam dan memutuskan untuk kembali turun karena tak kunjung bertemu makam yang dituju. Kami tetap naik karena merasa sudah di tengah-tengah perjalanan.

Semakin mendekati puncak, pohon tumbuh jarang-jarang dan kurus-kurus. Permukaan tanah ditumbuhi lumut hijau yang mengering karena sudah beberapa hari ini tak turun hujan. Tangga semen terus menanjak membelah hutan, menyusuri punggungan gunung. Meski melelahkan tapi perjalanan tetap dilanjutkan setelah beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan perbukitan dari celah pepohonan.

“Kuburkanlah aku di antara bumi dan langit,” pesan Syekh Abdullah Abubakar sebelum beliau wafat dibunuh Kiai Agus Bustam. Awalnya Syekh dimakamkan di lereng gunung, lalu dipindahkan oleh muridnya sesuai permintaan Syekh. Menurut cerita, seekor kucing ikut mengantarkan yang kemudian dia mati di puncak. Kucing ini pun dikuburkan di dekat kaki syekh dan dibuatkan pula nisan. Tadinya aku pikir itu makam anak-anak karena bentuknya tak jauh berbeda dengan makam Tuk Kundo, murid Syekh, yang berada di sisi kiri.

Makam ini sering diziarahi pada hari-hari tertentu. Jaraknya yang lumayan jauh tak menyurutkan niat orang-orang untuk mendaki hingga ke sini. Sebuah altar kecil sudah disiapkan untuk para peziarah sebagai tempat berdoa dan sembahyang. Beberapa drum fiber berisi tampungan air hujan berjajar di bawah atap untuk berwudhu.

Sejarah makam Syekh Abdullah Abubakar dapat kita peroleh dari internet atau bertanya langsung pada warga di lereng gunung. Pada lokasi makam sendiri tak ada penjelasan apapun tentang beliau. Informasi tentang asal Syekh ini sendiri tak dapat kutemukan di laman website manapun. Apakah benar beliau berasa dari Aceh, kampung halamanku? Wallahualam.

Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

9 tanggapan untuk “Hiking Ke Gunung Tajam”

  1. gak sabar pengen baca tulisan kamu berikutnya cit.itu promosi kamu tentang furma Sang Pengusaha Tour lebih menjurus ke promosi krim wajah.hahahaha.4 jempol buat tulisannya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: