Pantai-pantai di Pulau Bangka memang unik bila dibandingkan dengan pantai-pantai di kawasan lain Indonesia. Tapi menurutku, tak adil rasanya jika keindahan satu pantai dibandingkan dengan pantai daerah lain. Karena pantai-pantai yang bagus itu memiliki ciri khasnya sendiri. Tidak bisa kita bandingkan siapa yang paling bagus di antara yang lain.
Begitu pula dengan Pantai Tanjung Layang yang akhir pekan lalu aku kunjungi dengan Miaw dan Vero. Bagi orang yang pertama kali datang, mungkin akan setuju dengan apa yang aku rasakan, pantai ini memberikan pengalaman yang beyond expectation. Tak hanya pasir putih yang bagaikan tepung beras yang kalau diinjak berbunyi ‘kesret-kesret’, batu granit raksasa bertaburan dari darat hingga ke tengah laut, dan tentu saja laut birunya yang menggoda. Tapi ada sesuatu lain yang membuatku rela tiduran di pantainya saat malam tanpa alas apapun. Membiarkan kulit betisku digelitik kutu-kutu pantai.
Aku sangat bersyukur. Pindah ke Bangka bisa bertemu dengan kawan-kawan ajaib seperti kawan-kawan di grup Couchsurfing BaBel ini. Salah duanya adalah Miaw dan Vero yang menerima ajakanku untuk berkemah di pantai. Yang kemudian kami putuskan berkemah di Pantai Tanjung Layang, Sungailiat. Satu jam perjalanan dengan motor dari Kota Pangkalpinang.
Meski hujan lebat mengguyur pada awal keberangkatan, tapi tekad tetap bulat. Setelah singgah sebentar membeli makanan dan minuman di kota Sungailiat, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Tanjung Layang, melewati Pantai Parai dan Teluk Limau. Kawan-kawan bilang, kalau Parai pantainya lebih bagus dan bersih. Tapi karena dikelola oleh swasta, untuk masuk ke sana harus membayar 25 ribu perorang. Kemungkinan besar tidak diizinkan untuk mendirikan tenda di kawasan resort. Lagian, buat apa bayar mahal jika ada lokasi gratis yang lebih tenang, aman, dan nyaman?
Sekitar tiga ratusan meter dari Parai, dikawal bunga-bunga ilalang di kiri-kanan jalan, ada pantai Teluk Limau yang penuh sesak dengan bebatuan granit raksasa dan perahu nelayan yang ditambat rapi di dekat pantai. Kami harus berjalan sedikit lagi ke atas, memasuki jalan setapak merah yang tergerus air dan menjorok ke bawah hingga ke pantai. Pohon-pohon kelapa tumbuh acak membatasi pantai dengan vegetasi hijau di lereng bukit batu granit.
Memilih tempat di antara semak perdu berdaun tebal lebar-lebar, kami mendirikan dua tenda di atas rumput yang langsung berbatasan dengan pantai. Sebuah pohon kelapa tumbang melintang, membatasi kedua tenda laki-laki dan perempuan. Karena hujan tadi siang, semua ranting basah. Artinya malam ini kami tidak bisa menghidupkan api unggun untuk mengusir nyamuk yang mulai berdengung dan mengerubuti betis-betis telanjang kami. Syukurlah angin tak bertiup kencang, hanya sepoi-sepoi yang sesekali datang.
Kami berbuka puasa dengan rebusan mie instan yang sudah dibeli sehari sebelumnya. Ditambah dengan ayam goreng dari kedai cepat saji di Sungailiat, kami makan lahap di atas pasir dingin di depan tenda. Setelah kenyang, haripun perlahan-lahan menggelap. Satu persatu bintang mulai bermunculan diikuti lampu-lampu dari bagan di tengah lautan.
Petualangan malam menembus galaksi kami mulai. Aku membuka aplikasi Google Sky Map di handphone untuk melihat posisi rasi bintang Scorpio. Bang @sianakdesa dulu pernah mengajarkan ketika berkemah di dekat Gampong Lhok Mee, Aceh Besar, untuk mengetahui posisi milkyway, berpatoklah pada rasi bintang scorpio, yang pada saat itu berada di sebelah selatan.
Malam itu, kabut-kabutnya belum terlihat jelas karena sisa-sisa lembayung masih lumayan terang. Mulai pukul 8 malam, kabut-kabut Bima Sakti mulai terlihat di antara pelepah-pelepah daun kelapa yang kemudian perlahan-lahan naik. Semakin larut, semakin terlihat jelaslah kabut-kabut bima sakti itu.
Menit pertama kami membaringkan badan di atas pasir, sebuah bintang jatuh segera mencuri tatapan lurus ke atas kami untuk segera menoleh ke barat. Ia sekelebat saja terlihat. Ekornya menyala oranye terang selama satu detik lalu menghilang. Serempaklah kami berteriak girang dan berceloteh senang dengan apa yang terlihat. Serempak pula mata kami jelalatan melihat kembali ke langit, ke sana-ke mari, takut-takut terlewatkan melihat bintang jatuh yang lain.
Jika ditotal, ada lima bintang jatuh yang terlihat jelas. Dua di antaranya merupakan bintang jatuh berukuran paling besar yang pernah kutemukan. Apalagi bintang jatuh yang terakhir. Selain berukuran besar, juga paling lama tampak. Ekornya panjang dengan kepala yang membesar sebelum musnah terbakar. Sisanya yang lain berukuran kecil. Bahkan di luar hitungan itu pun sebenarnya juga terlihat tapi hanya saja ukurannya amat kecil, seperti sehelai jaring laba-laba yang dihembus angin. Sampai aku pun tak begitu yakin jika yang terlihat itu adalah bintang jatuh.
Jam 3 dini hari aku terbangun untuk sahur. Karena malas mengeluarkan trangia dan memasak mie, aku memutuskan sahur dengan air putih saja. Aku keluar dari tenda dan berjalan ke pantai. Lalu menengadahkan muka ke langit. Allahu Akbar! Langit terbelah! Persis di atasku, kabut-kabut bima sakti terlihat bagaikan membelah hamparan permadani hitam legam bertabur milyaran intan. Memanjang dari atas pucuk nyiur hingga ke ujung cakrawala yang dibatasi lampu-lampu bagan. Seperti rekahan bunga mawar pada awal rekahannya. Sangat manis, ajaib, menakjubkan. Tak terasa mataku berair, penuh, tumpah.
Gemintang di atasku mengabur seperti melihat pantulan cahaya dari balik kaca-kaca retak. Aku terbangun oleh teriakan Vero yang memanggilku untuk bangun melihat matahari pagi. Langit biru diselaputi awan merah jambu dan ungu. Pantai semakin lebar karena air sedang surut. Tak ada sesiapa, hanya kami bertiga, berkelana dari ujung ke ujung, meloncat dari batu granit ke batu granit. Sesekali Miaw bernyanyi sepenggal lirik lagu: “you shot me down” dan mengulangnya di saat-saat yang tak terduga. Bukan hanya Miaw saja, Aku dan Vero juga di you-shot-me-down-kan oleh pemandangan tak terperikan di pantai Tanjung Layang.
Dulu waktu aku, silvia sen, rasyied, ahung, dan dana kemping di tanjung layang aku juga menikmati menit berlalu tanpa tidur.
mereka tidur di dalam tenda, tapi aku nekat tidur di batu karang dengan alas kain,sekitar pukul 12 malam karena banyak kutu, jadi tidak bisa tidur karena banyak kutu pantai. Yang dilakukan sampai pagi hari menjelang adalah berjalan-jalan di pantai, menikmati indahnya bintang, merasakan energi positif, berpikir adakah UFO terbang?
Ah…. I love the moon, the stars, the sky, the sands.. I hope i will feel it again soon
So you must join us some time. :D
Foto-fotonya bikin ngiler, Wak. :D
Pemandangannya indah..
milkywaynya bagus bang, jarang sekali ngeliat begitu di jakarta, apa karena udah banyak polusi kali yaa :(
Iya, De. Polusi cahaya dan udara juga. :(
Wow. Amazing citra! What a beautiful beach! Speechless nih
Lebaran kemarin mau kesana hujan…. karena kesorean akhirnya memilih Pantai Matras yang agak ramean :-D
Ah keren banget … bisa nenda dan liat bertaburan bintang itu serasa surga :-)
kerennnn kalii
sampe nganga baca dan liat gambarnya
Aaaw….makasih, Bang. Aku terharu. :’D
Gue akui langit pagi harinya keren banget, bang! (Foto kedua terakhir). Daaannn, kyaaaaaa bintang jatuh! Kayaknya gue belum pernah lihat bintang jatuh. Apakah harus ke tempat-tempat terbuka seperti itu untuk melihatnya?
Harus ke tempat terbuka dan minim polusi cahaya, Nug. Kalau di BaBel hampir tiap malam bisa melihat milkyway dan bintang jatuh karena jarang sekali berawan ketika malam.
bloggernya org aceh ya?
Iya, Bang. :)
ini reupdate ya kak cit? keren ya malamnya
Iya, Bang. Setelah dibaca-baca lagi, ada kata yang salah. Hehe…