Pekebun Cilik di Danau Aneuk Laot

Hari keduaku di Sabang tanggal 28 Mei lalu, Mus mengantarku ke Danau Aneuk Laot. Lokasi camping berada di tempat pemancingan milik Bang Fatwa yang pernah aku ceritakan sebelumnya di SINI. Kami tiba sudah agak sore. Tampak ada tiga orang sedang memancing di atas dermaga yang ternyata adalah guru Mus di SMA. Lima ekor ikan nila sebesar telapak tangan berhasil dipancing dari danau.

Selain tempat memancing, danau juga dimanfaatkan untuk berbagai hal. Beberapa kegiatan kurekam dalam beberapa foto di bawah ini:

Lanjutkan membaca “Pekebun Cilik di Danau Aneuk Laot”

Iklan

Camping Cilet-cilet di Sabang

Sebuah anjungan kapal kayu besar terlihat menjulang tinggi dari balik pagar beton di pinggir jalan Kota Bawah, Sabang. Dinding luar kapal yang mengelupas dan terlihat lapuk menarik perhatianku. Kuparkirkan motor di depan pintu pagar dan bergegas masuk ke areal docking. Kapal kayu itu sepenuhnya berada di atas rel besi yang ditopang supaya tidak terbalik. Cat dan oli berceceran dimana-mana. Bercampur air laut sehingga mengeluarkan aroma yang khas. Sebagian pelapis dinding lambung kapal sudah mengelupas dan sebagian lainnya sudah dilumuri oli dan ditempeli seng. Dua tangga besi disambungkan sebagai akses pekerja naik ke atas kapal. Tapi tak tampak seorang pun yang bekerja. Hanya beberapa alat berat tergeletak di samping kapal, berlumur oli.

Jalan-jalan ke Sabang bermula dari docking kapal ini. Perjalananku kemudian dipandu oleh Musrizal, seorang blogger Sabang dan calon mahasiswa Geofisika yang bersedia mengantarkanku ke beberapa tempat berkemah di pesisir Pulau Weh. Sambil menunggu Mus datang, aku menemui Pak Saifullah yang sedang duduk santai di atas tumpukan batangan besi sambil menghisap rokok kreteknya. Sebuah cangkir kopi yang tinggal tahinya dibiarkan dikerumuni semut di samping kanannya. Pak Saiful inilah mandor yang mengurusi kapal yang sedang docking itu. Beliau berusia empat puluh delapan tahun. Laki-laki paruh baya asal Langsa ini sudah menggeluti dunia pelayaran selama puluhan tahun. Beliau mulai melaut sejak umur empat belas, akunya. Pun begitu, tak terlihat kesan rapuh dan lemah dari wajahnya. Sambil berbincang, mata coklatnya terus menatap kapal di depan kami. Seolah sedang menatap kekasih yang sedang tertidur pulas.

Cerita terus mengalir. Dari perpolitikan hingga ke perompak. Ternyata perompak yang sering dihadapi para pelaut atau kapal-kapal barang itu tak hanya ada di perairan Thailand dan Laut Jawa saja. Aceh pun punya perompak. Timbul rasa kagum, meski bukan hal yang bisa dibanggakan sebenarnya. Tapi mengetahui kenyataan kalau orang daerah ‘timur-utara’ sana selain keras di darat, keras di laut juga rupanya. Ah, bodohnya aku. Bukankah para leluhur Aceh sejak dulu memang ahli berperang di berbagai medan? Mungkin sekarang mereka tidak  berperang untuk memperjuangkan kedaulatan kerajaan seperti dulu, tapi keberanian itu sepertinya belum pudar. Jika perompak sudah merapat di kapal, beliau bercerita, tak ada yang dapat diperbuat lagi selain mengabulkan apa-apa yang mereka inginkan.

Beliau juga bercerita tentang anak gadisnya (ehem) yang sedang kuliah dan anak laki-lakinya yang sudah bekerja di perusahaannya sendiri. Juga tentang docking yang sedang dikerjakan bersama beberapa anak buah yang dia komandoi. Normalnya, docking selesai dalam satu bulan. Docking sendiri dijadwalkan setiap satu tahun sekali. Sayangnya, tempat docking di Sabang ini adalah satu-satunya di Aceh dan itu pun milik swasta. Beliau menaruh harapan bila suatu saat pemerintah dapat membangun  setidaknya satu unit tempat docking di daerah lain untuk mempermudah kapal-kapal di kabupaten lain untuk docking. Semoga pihak-pihak terkait segera mengetahui kebutuhan para pelaut seperti Pak Saiful ini. Amin.

Tepat pukul dua, Mus datang dengan senyum mengembang. Aku berpamitan ke Pak Saiful dan menyambut Mus di pintu gerbang. Tak banyak basa-basi, kami memacu motor menuju ke Benteng Jepang. Perjalanan dari kota bawah ke Anoi Itam memakan waktu sekitar satu jam dengan sepeda motor melewati pantai-pantai berbatu dan berpasir putih. Beberapa spot pantai sudah dipadati dengan resort-resort dan bungalow. Meski banyak bangunan baru, tapi pohon-pohon tak lantas ditebas habis. Aku masih melihat banyak pohon memayungi pondok-pondok di kawasan Sumur Tiga sehingga suasana pantai dan jalan tetap asri dan sejuk.

Mus mengaso sejenak di pantai Pasir Putih ketika mengantar backpacker cilet-cilet keliling Sabang.

Jalan aspal lumayan mulus saling menghubungi dua kecamatan bahkan hampir setiap gampong di sepanjang pesisir barat pulau Weh. Jika salah belok, kamu bisa-bisa tiba di sisi lain pulau. Tapi tak ada ruginya jika ingin melihat-lihat suasana kampung yang masih asri di Pulau Weh. Seperti Gampong Batee Shok yang tanpa sengaja kulewati ketika mencari jalan menuju sumber air panas di Jaboi. Parit besar di pinggir jalan dialiri air sungai yang jernih dengan serbuk-serbuk kuning menyelimuti akar-akar pohon dan semak, anak-anak bermain di pekarangan, ibu-ibu sibuk mengangkut pinang dan cengkeh yang lalu dijemur di pekarangan dan tepi jalan. Kadang-kadang aku harus memelankan laju motor karena ada kerbau, kambing, atau ayam yang melintas di tengah jalan.

Benteng Jepang

Menurut informasi dari Mus, Benteng Jepang adalah kompleks benteng terbesar yang ada di Pulau Weh. Ada beberapa bangunan pos yang saling terhubung yang jaraknya berdekatan. Setidaknya ada empat pos yang tampak. Satu berdiri persis di pinggir tebing karang, satu yang paling besar di atas bukit dan dua lagi di jalan masuk. Masing-masing pos saling terhubung lewat lorong-lorong bawah tanah. Katanya, lorong-lorong itu memanjang hingga ke pusat kota Sabang yang terhubung di beberapa gedung peninggalan Jepang yang sekarang menjadi kantor kepemerintahan. Tapi pintu masuk semua lorong itu sudah ditutupi dengan beton. Pasti seru kali ya, kalau dibikin wisata bawah tanah dengan menyusuri beberapa lorong yang nantinya perjalanan berakhir di Benteng Jepang ini. Tapi pemkot lebih memilih untuk menutup akses bungker demi kepentingan keamanan dan keselamatan.

Awalnya aku berencana mendirikan tenda di lokasi benteng. Karena tak ada sumber air tawar di sekitarnya, aku memilih untuk bermalam di Balik Bukit saja. Balik Bukit adalah nama kawasan yang memang berada di balik bukit yang dapat diakses lewat Iboih atau Jaboi. Aku tiba di lokasi saat magrib dan mendirikan kemah dalam gelap di samping pagar tembok setinggi dua meter yang mengelilingi sebuah bangunan tua peninggalan depo PAM (Perusahaan Air Minum). Sebuah sumur sedalam tak lebih dari dua meter berada di sudut di dekat pintu pagar. Meski letaknya hanya sepuluh meter dari pantai, airnya sangat jernih dan rasanya tawar.

Lampu-lampu resort yang letaknya persis di jalan masuk ke lokasiku berkemah mulai dinyalakan. Tapi cahayanya tertahan oleh pagar dinding bekas depo PAM. Selama sejam pertama, mataku harus beradaptasi dalam gelap. Gempuran ombak di karang-karang dan suara serangga membuat suasana malam itu terasa sedikit mistis. Ditambah lagi ternyata ada sumur lain di samping pohon di dekat tenda, sempat membuat otakku memikirkan yang aneh-aneh. Tapi sejam kemudian, aku dapat mengontrol rasa takutku lalu berbaring di atas puing tembok bekas penahan ombak. Menatap gemintang di langit yang berkelap-kelip ditutupi awan.

Sabang menawarkan destinasi wisata alam yang lumayan komplit. Selain taman bawah laut dan keindahan pantainya yang memang sudah dikenal di mana-mana itu, Sabang juga memiliki Air Terjun Pria Laot, Gunung Api dan sumber air hangat di Jaboi, Danau Aneuk Laot, dan hutan yang masih cukup lebat. Bagi pencinta kupu-kupu, kamu akan menemukan banyak sekali jenis kupu-kupu di pinggiran hutannya.

Seekor Graphium Agamemnon sedang hinggap pada sehelai daun. Kupu-kupu tropis ini adalah objek penelitian Agus Adhiatsyah di Sabang. Foto-fotonya yang lain bisa kamu lihat di http://superbiologi.blogspot.com

Keunikan wisata kuliner di Kota Sabang pun bukan cilet-cilet. Mie Jalak dan Mie Sedap adalah dua tempat makan yang menyajikan mie kocok dengan rasa kaldu yang unik. Sate guritanya pun tak kalah memanjakan lidah. Meski porsinya sedikit dan kecil-kecil, tapi lontong dan sambal kacangnya lumayan membuat kenyang. Apalagi makannya di sore hari sambil menikmati matahari tenggelam, perut pun segera tenang.

Danau Aneuk Laot

Setelah dipilih-pilih antara pantai lagi atau di dekat air terjun, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di pinggir danau. Sayangnya Mus tidak bisa ikut menemani meski rumahnya tak jauh dari situ. Tapi sebagai ganti, seorang jurnalis muda dari Banda Aceh meminta ikut, Makmur Dimila. Lokasi berkemah kali ini berada di areal tambak ikan milik Bang Fatwa. Sebuah pondok yang berfungsi sebagai meunasah kecil dibangun di pinggir danau. Di belakangnya, sebuah dermaga kecil apung menjadi tempat memancing warga sekitar. Beberapa buah sampan bersandar mengelilingi dermaga.

Camping selalu menjadi lebih menarik jika langit bersih dari awan, cahaya bulan, dan lampu kota. Malam lebih indah jika kita benar-benar dalam kegelapan total. Hanya samar pepohonan dan milyaran bintang di angkasa. Kadang, jika suhu udara tak terlalu dingin, milyaran bintang itu yang menjadi atap sampai subuh menjelang. Apalagi jika berkemah ketika milkyway berada di garis lintang yang tepat. Tak terperikan bagaimana ketakjubanku ketika menyaksikannya sambil berbaring. Tapi sayangnya malam itu milkyway baru tampak selepas tengah malam. Hanya beberapa gugusan rasi bintang saja yang berpendar di antara arakan awan. Semakin malam, gugusan bintang semakin condong ke timur lalu hilang dibalik awan tebal. Belum tiba tengah malam, aku dan Makmur sudah meringkuk di dalam tenda, tidur lelap hingga subuh.

Traveling cilet-ciletku di Sabang berakhir seiring menjauhnya KMP Papuyu dari daratan dan mengantarkanku kembali ke Banda Aceh. Ada sedikit rasa sedih ketika melihat Weh dari kejauhan. Beberapa hari lagi, tak akan kulihat lagi sosok pulau ini dari ujung Banda Aceh seperti biasanya. Seperti ketika berkemah di Krueng Raya misalnya, Pulau Weh seperti punya magnet yang selalu menarik tatapanku untuk memandanginya lama-lama. Membayangkan keindahan bawah lautnya, rencana belajar diving, jogging di hutan bakau Iboih, dan rencana berenang ke Pulau Rubiah dari Iboih. Tapi rencana-rencana itu sepertinya harus disimpan dalam-dalam dulu.

Ah…Sabang, Mus, dan Makmur, sampai ketemu lagi. Bakalan rindu kali aku sama kalian nanti. :)

Camping Cilet-cilet di Sabang

Sebuah anjungan kapal kayu besar terlihat menjulang tinggi dari balik pagar beton di pinggir jalan Kota Bawah, Sabang. Dinding luar kapal yang mengelupas dan terlihat lapuk menarik perhatianku. Kuparkirkan motor di depan pintu pagar dan bergegas masuk ke areal docking. Kapal kayu itu sepenuhnya berada di atas rel besi yang ditopang supaya tidak terbalik. Cat dan oli berceceran dimana-mana. Bercampur air laut sehingga mengeluarkan aroma yang khas. Sebagian pelapis dinding lambung kapal sudah mengelupas dan sebagian lainnya sudah dilumuri oli dan ditempeli seng. Dua tangga besi disambungkan sebagai akses pekerja naik ke atas kapal. Tapi tak tampak seorang pun yang bekerja. Hanya beberapa alat berat tergeletak di samping kapal, berlumur oli.

Lanjutkan membaca “Camping Cilet-cilet di Sabang”

%d blogger menyukai ini: