Sampah menggunung membentuk piramida di areal TPA Kampung Jawa. Aroma berbagai sampah busuk menguar di udara dan tercium oleh siapa saja yang lewat di sekitarnya. Apalagi jika memang sedang berada di atas gunung sampah itu. Tak ada yang mampu membendung aroma busuknya. Angin kencang pun tak bisa mengusir aromanya jauh-jauh dari menusuk lubang hidung.
Aku menarik gas motor semakin dalam ketika mendaki jalan selebar satu setengah meter. Motor bergerak cepat menaiki gunung sampah lalu kuparkir di samping tumpukan karung dan peti kemas bekas yang sudah berisi benda-benda hasil pulungan. Seorang pria muda duduk di atas sebuah peti kemas usang. Di jari tangan kanannya terselip sebatang rokok kretek yang tinggal setengah. Dia memakai sepatu pacok pendek dengan kaos kaki olahraga berbeda warna untuk setiap kaki kurusnya. Pria ini kemudian kukenali bernama Bang Jol.
Pria asal Sumatra Utara itu sedang berkelakar dengan teman kerjanya, Bang Andri, yang masih sibuk memilah barang-barang pulungannya ke dalam karung besar. “Na ukok sibak, dek? Ada rokok sebatang, dek?” tanya Bang Andri ketika melihatku datang. Tapi aku tidak merokok dan tidak pernah pula membelinya. Kutatap wajahnya sebentar. Ada raut kecewa di sana ketika kubilang tak ada rokok. Seperti wajah kecewa seorang musafir ketika tak menemukan telaga melainkan fatamorgana di tengah gurun.
“Kekginilah hidup kami, dek. Pe anam! Pergi kerja jam anam pagi, pulang jam anam sore. Yang penting kerja halal, tak kami curi punya orang,” cerita Bang Jol mengusir keheningan. “Penghasilan yang didapat dari memulung sampah memang tak banyak. Tapi sudah dapat mencukupi kebutuhan dapur rumah dan menyekolahkan anak-anak. Itu sudah lebih dari cukup. Tak peduli apa kata orang dengan profesi kami”, sambungnya.
“Barang-barang yang terkumpul dijual setiap hari, Bang?” tanyaku.
“Kalau sudah terkumpul banyak baru kita jual nya. Kayak atom, plastik-plastik, semua yang ada di sini bisa jadi uang. Kecuali pempes (popok) bayi karena nggak ada yang mau beli. Hasilnya cukuplah,” jawab Bang Jol dengan dialek Medan yang masih kental meski sudah tinggal di Banda Aceh selama tiga tahun.
Langit sore itu perlahan-lahan mulai gelap. Gradasi warna biru berubah menjadi merah oranye melingkupi perbukitan di Ujong Pancu. Aku memijakkan kaki ke sampah yang terlihat padat agar tak terjeblos. Kulangkahkan kaki seperti sedang meniti batu-batu untuk melintasi sungai. Kulompati gundukan sampah plastik dan mendarat di sebuah ban mobil. Lalu kulangkahkan kakiku lebar-lebar untuk menjejak pada sebilah papan di atas tumpukan popok bayi. Dari atas sana aku dapat melihat perbukitan di Ujong Pancu dan Pelabuhan Ulee Lheue. Lalat berterbangan, berlomba dengan serangga-serangga lain yang kocar-kacir dikejar burung walet.
Nun jauh di sana. Di atas Ujong Pancu, matahari memancarkan segenap cahaya kelembutannya. Membuai pasangan-pasangan yang dimabuk cinta di dekat Pelabuhan Ulee Lheue. Menjadi latar setiap foto selfie para ABG dan menyamarkan semu merah di pipi dara canden ketika mendengar rayuan manis si cut abang. Detik-detik terbenamnya menjadi penunjuk waktu bagi para nelayan untuk bergegas menarik jaring pukat. Lengkingan suara mengaji dari corong-corong toa mulai terdengar dari semua penjuru, memanggil para tetua di kampung berangkat sembahyang. Hari mulai berganti malam.
Sementara itu, di belakangku, Bang Andri masih terus mengepak hasil pulungannya untuk dijual esok. Sebuah karung besar telah terisi penuh dan diangkatnya ke atas becak barang. Bang Jol masih menikmati setiap isapan rokok kreteknya hingga mata terpicing-picing. Rasa lelah bekerja seharian dihembuskannya lewat mulut berupa asap-asap putih dan menguap di udara. Kucing-kucing mengeong, mengais-ngais sampah-sampah plastik berharap menemukan makanan.
Hidup kalau dipikir-pikir memang terasa sulit. Seketika ada banyak sekali keruwetan yang muncul ketika kita dihadapi pada persoalan akan masa yang belum datang dan yang belum pasti juga akan menimpa. Kita (atau aku saja kali ya?) suka menanyakan ‘bagaimana jika dan bagaimana kalau’. Pikiran-pikiran pada kemungkinan terburuk itu menjadi beban yang…hadeuh…bikin pusing kepala betmen. Padahal hidup seharusnya dibawa selow, seselow gaya merokok Bang Jol. Selebar dan secerah senyum Bang Andri ketika difoto.
Meski bekerja di tengah busuknya sampah-sampah dari dua ratusan ribu warga Banda Aceh, tapi Bang Jol dan Andri tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Tanpa perlu merasa takut kehilangan pekerjaan. Tak ada kontrak kerja yang akan habis masanya, karena sampah akan selalu ada setiap hari, terus menggunung. Mereka tetap bisa bersenda-gurau seusai ‘dinas’. Berbagi rokok pancong sambil menikmati keindahan matahari tenggelam. Aku bersyukur berada di sana dengan mereka yang mengajarkan melihat keindahan yang selama ini mulai terlihat buram.
Indahnya hidup itu memang saling berbagi dengan segelas kopi, dimana pun dan kapan pun itu :)
Mungkin minuman atau makanan kurang tepat jika berbagi di TPA. Tapi rokok juga bukan pilihan yang baik pula. :D
tulisannya membuat dada ini haru biru.
Aduh…ga tau balas apa, Bang.
jadilah pria sejati, seperti bang Andri dan bang Jol :-)
Emmm… dalam sekali maknanya ya, Kak. baiklah. :D
diksinya yahud, nice work, kapan aku bisa tulis seperti ini :(
Makasih, Bang Yoga. Belajar sama-sama yuk. :)
Aku semacam baca cerpen nih. Berarrti tulisannya keren
Makasih, Kak Heki. :)
Yahh,, sedih banget ngeliat yang beginian. GImana ya cara biar berton-ton sampah dapat cepat daur ulang. Tadi sekilas lihat foto yang pertama kirain kota. Eh ternyata sampah…
http://www.littlenomadid.blogspot.com
Mungkin salah satu caranya kita mulai dari diri sendiri kali ya, Velysia. Dengan cara mengurangi pemakaian plastik.
Betahnya ya mereka memulung.
Haru menyala membaca perjuangan mereka, hehe.
Spiritnya ya bang yang perlu kita contoh. :D
Izin menyimak, dan semoga ada yang bisa kita gerakkan untuk warga Banda Aceh ke depan yaa. aamin.
http://nowayreturn.blogspot.com/2014/02/memisahkan-sampah-basah-dan-sampah.html
Amin, bang Az.
(y) bagus cit..aku share ya
Makasih, Kak Mira. Silahkan di-share sebanyak-banyaknya. Hehehe
Cerita sampah, tapi isinya bagai berlian…!
Waduh, Bang Bos juga ikut komen. Tulisannya pun masih sampah, Bang Bos. :D
senyumnya gak keliatan, Bang. Gelap mukanya :))
Iya, Kak. Udah magrib soalnya waktu tu. Tapi kalau dikasih terang dikit jadi ga begitu bagus lagi. Tapi kan nampak tu giginya, Kak. Haha…
Selama tinggal di Banda, saya sama sekali tidak pernah menjamah daerah ini. Entah karena satu dan lain hal sehingga membuat saya tidak punya kepentingan ke sana. Terima kasih sudah berbagi tentang ini, suatu saat jika “jalan-jalan” lagi ke Banda saya akan mencari sesuatu yang menarik dari tempat ini.
Banyak tempat yang menarik di setiap daerah, Bang Bai. Asal kita mau membuka mata lebih lebar sih. Hehe…
oma keren kali bang……
Makasih bang surfer dan fotografer. Kapan-kapan ajari kami ya bang.