Ilham menyusul kami ke ujung pulau sebelum matahari tenggelam. Dia membawa senter untuk penerangan selama kembali ke kemah nanti. Pemandu lokal sudah pulang lebih dulu ke bawah dan kami menyusul setelah hari mulai gelap. Lampu suar berputar-putar di atas menara. Bintang-bintang berkelap-kelip di langit. Dua ekor anak babi berkejar-kejaran di bawah menara berebut makanan yang mereka temukan. Rombongan pekemah di dekat dua ekor babi itu sama sekali tak terusik. Atau mungkin mereka terlalu sibuk hingga tak menyadari jika ada babi berkeliaran di belakangnya.
Dalam kegelapan kami menyusuri jalan setapak di pinggir lereng bukit berpohon lebat. Suara ombak terdengar keras menggempur tebing di bawah. Jika salah satu dari kami terpeleset, alamat badan berguling dan tercebur ke laut. Fika sudah mengganti sandal jepit bertali-talinya dengan sepatu nelayan yang dipinjamkan Bang Juntak Ganteng, petugas jaga mercusuar yang menyediakan rumah dinasnya untuk digunakan kawan-kawan beribadah.
Perjalanan pulang malam itu terbilang sulit karena keadaan gelap dan tenaga yang hampir terkuras habis seharian demi menemukan keindahan-keindahan eksotis Pulau Bunta. Selayaknya sebuah pencarian memang tak bisa lepas dari melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan yang tak pernah kita lakukan sebelumnya pun menguras waktu dan tenaga lebih banyak untuk mendapatkan apa yang dicari. Hari berganti malam. Para pencari tak pernah berkurang, para pejalan tak pernah berhenti. Meski perut sudah mulai bernyanyi.
Malam semakin larut. Kak Zatin dan Fika sudah terlelap di dalam tenda setelah menyantap ayam bakar. Kawan-kawan pria sedang asyik bermain sambung kata sambil menyeruput kopi tarik racikan Ikal. Aku menyendiri ke pinggir pantai untuk mengambil foto langit malam. Rasanya tak afdal jika tak punya foto malam yang bertabur bintang. Tapi posisiku terlalu ke bibir pantai. Kakiku basah dijilat ombak. Reflek aku melihat ke bawah dan betapa kaget melihat ada pendar cahaya di riak air laut. Tak hanya satu, tapi ada ratusan pendar biru neon kecil ketika ombak memecah. Aku tak ragu lagi jika yang kulihat adalah binatang bioluminescent: plankton!
Keberadaan plankton ini membuat kami semua terpana dan penasaran. Binatang yang dulu hanya dapat kusaksikan di film-film seperti The Beach, Life of Pi, dan Kontiki itu kini berkelap-kelip di antara kaki-kaki kami. Terseret ke pasir dan berpendar di atasnya. Aku mengeruk pasir tempat plankton yang terseret ombak. Ukurannya sangat kecil dan berwarna transparan, nyaris tak kelihatan tapi bentuknya dapat kukenali karena menyerupai udang. Jika pernah menonton film Happy Feet, pasti mengenal duo Krill yang memisahkan diri dari kawanannya. Aku rasa, plankton yang kami lihat memang Krill.
Malam itu angin tidak bertiup lebih kencang dari tadi siang. Tapi dinginnya sampai menusuk tulang. Aku menarik hammock dari dalam ransel dan menyelimuti tubuh lalu berbaring beralas life jacket di tepi pantai. Mataku semakin lelah menanti bintang jatuh. Setelah melihat satu, segera kupejamkan mata dan tertidur lelap.
Tak ada suara ayam berkokok ketika matahari pagi menyapa. Hanya suara ombak mendebur terumbu karang yang kembali menampakkan diri ke permukaan karena laut surut. Setelah sarapan, kami berjalan menuju mercusuar. Kami ingin memicu adrenalin dengan menaiki mercusuar setinggi 80 meter. Mercusuar yang dibangun dengan kontruksi baja seperti BTS provider ini tentu punya tantangan tersendiri. Yang takut ketinggian, pengalaman ini amat menyiksa. Belum lagi harus menahan kencangnya tiupan angin selama naik. Aku puluhan kali menyugesti diri sendiri dengan bilang: jangan lihat ke atas, jangan lihat ke atas, sedikit lagi, sedikit lagi-sambil terus melangkahkan kaki pelan-pelan.
Tantangan menaiki mercusuar masih bisa kami sebut perkara ringan dibandingkan tak bisa berangkat pulang siang itu. Semua kawan-kawan harus pulang ke Banda Aceh di hari yang sama. Jika tidak, beberapa dari kami harus bolos masuk kerja besok, ketinggalan ujian final di kampus, dan batal menemui dosen pembimbing skripsi. Siang itu alam membuat hati kami ketar-ketir. Air surut lebih cepat dari perkiraan. Ketika kami tiba di kemah, boat sudah tak bisa lagi keluar dari tempat berlabuhnya. Akhirnya kami terpaksa menunggu air pasang pada malam harinya. Itupun jika angin tak bertiup kencang. Menunggu hari gelap dan air pasang, kami bermain-main di pantai, membaca buku, dan bermain scrabble yang dibawa Bang Rahmat.
Alhamdulillah, seperti yang kami harapkan, malam itu angin tak bertiup kencang. Semua barang kami muat ke dalam boat. Dengan pencahayaan minim dari senter, Bang Midi berusaha mengeluarkan boat dari perairan dangkal. Kami duduk diam di dalam boat. Masing-masing berdoa semoga tak kenapa-kenapa di jalan.
Setengah perjalanan malam itu masih terbilang mulus-mulus saja. Aku masih bisa menikmati kelap-kelip bintang dan bulat sabit di langit dan pendar-pendar biru neon plankton dari percikan air laut yang dibelah boat. Namun ketika boat mendekati ujung tebing berbatu Lhok Mata Ie, jatungku berdegup lebih cepat, cengkeramanku pada kerangka boat semakin kuat. Boat terseret arus kencang menuju langsung ke tebing. Bang Midi dengan sigap memutar kemudi hingga posisi boat kembali lurus dan bergerak maju.
Di bawah samar-samar cahaya bulan, permukaan laut bergejolak seperti air mendidih. Bukan seperti riak ombak yang bergelombang. Ternyata inilah arus kuat yang dulu pernah ayah ceritakan ketika ikut kapal pemancing ikan. Jika tak berpengalaman, kapal akan hancur menabrak tebing batu dan puing-puingnya akan terseret ke bawah dan terdampar entah di mana. Boat kami tak bisa bergerak cepat. Boat seperti diayak; seolah ada yang menggoyang dasar boat dari bawah. Baling-baling dipaksa berputar melawan arus. Knalpot mesin tak hanya mengeluarkan asap hitam, tapi bercampur dengan percikan api. Ujung besi knalpotnya sudah menjadi bara, merah menyala. Kak Zatin yang berada di dekatnya duduk seperti patung. Tak bergerak sama sekali. Pendar-pendar plankton tak lagi dapat menghibur. Hanya lampu-lampu kota yang semakin dekat yang menjadi pelipur.
“That was the scariest trip i’ve ever been”, ungkapku pada Agus ketika boat menyentuh pasir di tepi kuala. Lega sekali akhirnya tiba dengan selamat dan melihat senyum sumringah pada wajah-wajah kelelahan malam itu. Bang Midi bercerita kalau arus tadi itu belum seberapa. Masih ada yang lebih kuat lagi. Mereka menyebutnya dengan Abah Masam Muka yang artinya arus muka masam. Karena setiap kali nelayan tiba di lintasan arus itu, muka mereka langsung berubah masam.
Perjalanan ini menjadi pengalaman baru bagi kami. Mendaki tebing setinggi 20 meter, berjalan dalam gelap di pinggir tebing, memanjat menara setinggi 80 meter, dan menerjang maut di arus Abah Masam Muka. Siapa yang bisa menyangka ternyata kami mengalami petualangan yang seru hingga perjalanan ini berakhir. Menakutkan sih memang. Tapi ketakutan itu pula yang menjadikan perjalanan ini lebih terasa adventure-nya. God saves the best for last.
Baca pengalamanku sebelumnya di sini:
The Real Escapade to Pulau Bunta
Baca juga pengalaman Kak Zatin dan Bang Rahmat di sini:
Memacu Adrenalin di Pulau Bunta bagian pertama oleh Bang Rahmat
Memacu Adrenalin di Pulau Bunta bagian kedua oleh Bang Rahmat
Pesona Pulau Bunta oleh Kak Zatin
biru lautnya itu yang bikin saya demen maen ke pantai
yah meskipun belom bisa berenang juga sih..
apalagi kalo pulaunya sepi kaya gini nih
aah serasa milik sendiri
Kulit menjadi legam pun tak jadi masalah ya, Ga.
Serius nih bang plankton bioluminescence?? Waah, jadi iri! kepengen lihat!! XD
Iya, Zam. Zamer harus lihat sendiri supaya percaya. :D
Tulisannya semakin bagus. Aku suka cara membuka tulisannya :)
Makasih makasiiiih… :)
Btw, blog barumu juga kereeeeen…
Kereeen kereeen, kapan lagi kesana? kemarin pada pengen ikut, tapi ngga bisa ninggalin koas -_-
Rencananya tanggal 22-23 Februari nanti sama tanggal 8-9 Maret. Yuk ikut? :D
Wow….. keren dek, ceritanya hidup dan pembacapun ikut terbawa suasana, apalagi kalau mengingat pengalaman malam itu, keindahan bulan sabitpun tak mampu melukis senyum
Makasih, Kak. Alhamdulillah bisa pulang dan sampai dengan selamat ya kak. :D
Mantap
Sering mondar mandir si P. Bunta, tapi ga pernah mampir.. Best spot for fishing… Mingu kmaren, angin-a udah mulai teduh..
Iya Bang. Banyak pemancing yang ke Bunta waktu itu. Semoga mereka ga datang lagi.
Keren petualangannya.
Walau mendebarkan juga.
Pulaunya juga cakep, biru airnya bikin pengen nyebur.
Iya tuh. Biru dan seger banget.
Wowwww….. sadappp :-)
Oya Citra, gmn follow blog ini? Kok gk ada menu follow?ngk diaktifin ya ?
Biasanya ada tombol follow di paling atas blognya, Bang.
Jadi ikutan degdegan juga bacanya..seru sekali pertualangan y kak..
Makasih, kakak Borneo. :)
Gw paling ngilu kalo naik mercusuar tower yg terbuka gini, selangkangan gw nyut2an kalo pas liat ke bawa :-0 tapi pemandangan nya juara banget begitu sampai atas
Iya Bang Cum. Menderita kali untuk melihat pemandangan bagusnya. :D
mantap blognya…saleum meuturi rakan
Terima kasih, Bang. Saleum meuturi. :)
Pulang malam lebih terasa adventure nya…! tapi resiko nya itu..hahhaha
Keren abis salam dari bogor…. Baca blog ini hampir lupa turun kereta…
Dari dulu pengen kemari, gak terwujud-wujud, malah bulan Desember lagi angin kencang, seremm huaaaa :'(
Masih ada waktu lah kalo qe di Aceh. :D
keren deh..
tapi mas bro..saya masih penasaran gimana cara motret bintang cakrawala sebagus mereka-mereka itu lho..
kaya gini nih tulisan yang bagus, bisa membuat pembaca terbawa suasana..
Terima kasih, Kak Raven.
Wahhh tempatnya indah kayak gini. Kayaknya kami harus merencanakan perjalanan kesini…
Harus banget tuh, Kak. Masih ga banyak wisatawan yang ke sana lho.
wah pantainya indah,, jadi penegn ke aceh
Ayo kak main-main ke Aceh.
Wahh sungguh sebuah cerita perjalanan yang mendebarkan.
Pemandangan yang disediakan semesta ternyata memang indah dan mempesona.
Salam kenal dari kami Ibadah Mimpi
Salam kenal kembali, Ibadah Mimpi. :)
Salam kenal kembali, Kak Ibadah. :)
Terima kasih ya sudah mampir ke blog kami.
Tega sekali, aku tak pernah kau ajak berpetualang..