Bus umum yang aku dan Titi tumpangi pagi minggu itu berbeda dari bus yang biasanya kami naiki atau yang sering kami perhatikan ketika sedang berjalan-jalan di Bangkok. Bus yang ini agak sedikit usang dan berdebu. Lantainya sudah diganti dengan papan. Jendela kaca dan dinding bus berdebu dan kusam. Meski begitu, bus ini memiliki kipas angin yang masih berfungsi dengan baik. Walaupun baling-baling kecilnya yang berwarna biru sudah dilapisi juga dengan debu tebal berwarna kecoklatan.
Kam dan seorang kawannya, Nam’oon (baca: Nam’un), menanti kami di sebuah jalan di luar kota Bangkok. Aku sendiri lupa nama jalannya akibat panik karena bus yang kami tumpangi sudah melewati meeting point yang sudah ditentukan. Kami harus turun dan menyetop bus lain di jalan yang berlawanan arah hingga akhirnya bertemu mereka di dekat sebuah bengkel. Kam adalah seorang jurnalis di majalah traveling di Bangkok. Gadis imut ini masih berusia 24 tahun dan saat ini sedang berusaha mendapatkan beasiswa S2. Nam’oon adalah teman kuliah Kam yang bekerja di sebuah perusahaan yang berlokasi di Phra Sumen Road. Nam’oon menyetir mobil dan Kam sebagai navigator.
Hari pertama di bulan Desember itu, Kam membawa kami ke tiga destinasi wisata unik di provinsi yang terletak di bagian barat Thailand. Meski hari minggu, tapi lalu lintas menuju ke lokasi tak begitu ramai. Destinasi pertama adalah tempat favoritnya warga lokal untuk berpiknik yang bernama Don Hoi Lot, kedua pasar apung di Amphawa, dan yang ketiga adalah destinasi yang mulai populer di mata wisatawan asing, yaitu Train Market. Dua destinasi terakhir akan aku tulis di post yang berbeda.
Don Hoi Lot Market
Don Hoi Lot merupakan daerah pesisir penghasil makanan laut. Letaknya di mulut kuala sungai Mae Klong yang ditumbuhi hutan mangrove. Hutan inilah yang dijaga oleh masyarakat hingga sekarang mendatangkan keuntungan bagi mereka sendiri karena mampu mendongkrak perekonomian dengan menggiatkan ekoturisme berkat eksistensi hutan tersebut.
Don Hoi Lot sendiri berasal dari nama salah satu binatang laut, yaitu Hoi Lot (Solen generalis). Binatang laut sejenis kerang-kerangan ini hidup di dalam lumpur. Bentuk kerangnya panjang pipih sepanjang jari kelingking dengan daging berwarna putih. Hoi Lot adalah primadona di kawasan ini karena dapat diolah menjadi berbagai macam penganan yang tak kalah lezat dengan kepiting.
Penganan-penganan dari berbagai jenis kerang, kepiting, dan ikan olahan dijual di pinggir jalan menuju kuil Pangeran Chumphon. Para penjual didominasi oleh Ibu-ibu yang terlihat sibuk mengipas-ngipas panggangan dan menyapa setiap orang yang lewat untuk membeli. Tumpukan-tumpukan hoi lot berwarna merah siap makan menggunung di depan setiap pondok. Terlihat begitu menggiurkan.
Tapi aku harus bersabar sedikit untuk bisa menikmati makanan-makanan itu karena ada atraksi menarik di hutan mangrovenya yang sayang jika dilewatkan. Kami berempat menyewa sebuah boat untuk berkeliling melihat-lihat hutan bakau yang tumbuh lebat sepanjang hampir satu kilometer. Bangau-bangau berbulu putih terbang dan hinggap di dahan-dahan. Sesekali burung udang berkelebat dari balik pohon lalu menghilang kembali di pohon seberang. Warna bulunya yang biru berkilauan bagai pencuri perhatian pengunjung dari pukauan pesona bangau yang anggun.
Mesin boat dimatikan dan kami bergerak perlahan di dorong ombak di antara pohon bakau dan pancang-pancang bambu. Aku rasa pancang-pancang bambu ini berfungsi sebagai pemecah ombak. Sehingga arus air laut tidak merusak lapisan lumpur yang menjadi tempat tumbuhnya pohon bakau dan tempat tinggal bagi belasan jenis burung dan kerang yang hidup di bawahnya. Segerombolan burung camar berbaris rapi di pagar beton yang membatasi antara hutan mangrove dan kawasan pelabuhan. Lalu riuh terbang ketika mesin boat kembali dinyalakan untuk kembali ke dermaga.
Setelah puas berkeliling melihat Don Hoi Lot, saatnya berburu Hoi Lot! Berhubung laut sedang pasang, perburuan yang seharusnya bisa dilakukan langsung di permukaan lumpur diganti dengan berburu di pasar yang letaknya tak begitu jauh dari kuil Prince of Champhon. Hampir semua penjaja makanan laut di sini menjual makanan yang semuanya hampir serupa pula. Karena makanan-makanan yang dijual di sini masih aneh, tentu saja aku bingung memilih mana yang paling enak.
Kam dan Nam’oon dengan sabar menjelaskan berbagai jenis makanan yang dijual di sana. Seperti Thong Mooan Sod, makanan ringan ini berbahan dasar tepung beras, irisan kelapa, dan wijen. Dimasak dengan cara dikukus di atas perapian, setelah matang lembarannya digulung. Rasanya manis dan irisan kelapa di tiap lembarannya terasa kenyal ketika digigit.
Khoi Yang panggang. Ini juga menjadi favoritku. Kerang pipih ini hanya dipanggang sebentar hingga cangkangnya terbuka lalu ditambahkan mentega di dalamnya. Khoi dimakan tanpa sambal. Mungkin kalau dicocol ke sambal nenas pasti makin lezat! :D
Ka Nom Chak adalah olahan hoi lot atau kepiting dengan tepung beras. Kegurihan rasanya membuat lidah bergoyang dan tak ingin berhenti mengunyah. Ingin lagi dan lagi.
Dan yang terakhir, Ho Mok, ini adalah penganan paling juara di sini. Rasanya gado-gado. Ada manis, asin, dan pedas. Dari bentuk dan cara memasaknya, ho mok mirip dengan pepes di Indonesia. Ho mok berbahan utama kepiting dan hoi lot yang dicampur dengan bumbu-bumbu pedas manis dan sejenis sayuran di bagian paling bawahnya. Lalu ho mok dibalut dengan daun pisang dan dipanggang. Ketika pulang, aku membeli empat buah ho mok lagi untuk dimakan di hostel. Benar-benar membuat ketagihan!
Tak hanya makanan, di sini juga ada minuman unik yang dijual di tengah-tengah pasar. Manau namanya. Air enau atau ijuk yang dicampur dengan madu atau jeruk nipis. Wadahnya pun amat menarik perhatian yaitu berupa potongan bambu. Rasanya amat menyegarkan setelah kenyang menikmati ho mok, khoi, dan ka nom chak.
Pekarangan di samping kuil dijadikan tempat untuk berpiknik. Terdapat beberapa tempat penyewaan tikar sebagai alas duduk di atas susunan paving block. Kami menggelar tikar di bawah pohon cemara yang teduh dan menikmati semua makanan sambil bercerita-cerita. Tapi hati-hati jika piknik di lokasi ini bagi yang jantungan, di belakang kuil biasanya diadakan ritual membakar petasan sebagai wujud syukur oleh warga Chinese Thailand. Tanpa aba-aba, suara petasan meledak seketika.
Andai Aceh juga mau mengembangkan kawasan pesisirnya yang amat potensial dan subur untuk dijadikan hutan mangrove, aku rasa dapat dijadikan sebagai mata pencarian sampingan penduduk setempat dengan memanfaatkannya seperti yang dilakukan di Don Hoi Lot.
Air dan lumpurnya menjadi tempat tinggal berbagai jenis ikan dan kerang. Pohon bakau menjadi rumah untuk berbagai jenis burung. Akar-akarnya menjadi sarang berbagai jenis reptil dan serangga. Pemandangan keharmonisan alam ini mampu menarik minat wisatawan sekaligus menjadi lahan edukasi tentang kebencanaan dan lingkungan hidup. Sudah saatnya kearifan lokal masa lalu rakyat Aceh yang mampu hidup berdampingan dengan alam kembali dihidupkan. Belajar dari beberapa daerah yang di Indonesia yang telah melakukan gerakan penanaman bakau telah membuktikan kalau hutan bakau tak hanya sebagai pelindung pantai dari gerusan air laut, tapi juga melindungi berbagai aspek kehidupan di sekitarnya.
Memang asyik baca dan tengok gambar makanan terutamanya waktu lapar begini. Lumayan ya ada cewek di Bangkok :p
Saya baru berfikir untuk berkomentar seperti ini juga, tapi kalah start.. Jadilah begini komentar saya.. :)
Salam..
Tentu senang bila kawan yang menemani kita dalam perjalanan. Tunggu saya di KL, Bang. Ajari saya paragliding. :D
Ebuset deh busnya lebih jelek dari bus patas di Jakarta hahaha
Jangan menghina bus orang. wkwkwk
Ah tidak ada penghinaan kok, Wan. :)
Tapi lebih nyaman. Nggak perlu desak-desakan dan panas-panasan. :D
Nice journey Bro. Saya suka sekali pelototi foto2nya. :D
Nanti kita bikin trip sekali-kali ya. :D
Mangrove-nya ijo royo-royo.. Iri ngeliatnya *bandingin sama yg di negeri sendiri*
Mangrove kita juga ijo dan raya-raya kok. Semoga dalam waktu dekat ini bisa bekerja untuk menanamnya. Ikut? :D
makananannya enak y bang , serba seafood gitu ..
ada rencana bkin trip kesana ? :D
Insya Allah masih ada keinginan untuk kembali ke sana. Aku ingin mengunjungi Chiang Mai. Dan mango sticky rice-nya bikin kangen. Nagih! :D
ya Allah, masih bisa jalan bus nya?? aku khawatir kalau mendadak ada demonstrasi bus nya berubah jd transformer..
Beeeuh…biar rupa busnya seperti itu, Bang, tapi di dalamnya sejuk ada pendingin udara. Di dalamnya juga lapang. :D