Memang benar, belajar langsung di alam jauh lebih menyenangkan dan lebih gampang masuk ke dalam kepala daripada belajar teori di dalam kelas. Begitu yang aku rasakan ketika mengikuti Field Camp Mahasiswa FMIPA Unsyiah di Lhokseudu, Aceh Besar. Tak terhitung berapa ‘Wooogh’ yang keluar dari mulutku ketika Pak Sura menerangkan satu persatu temuannya kepadaku.
Jika tak diundang oleh Bang Muslim, seorang tour guide kawakan dan dosen IT di Unsyiah, mungkin aku tak akan pernah tahu kalau ada patahan aktif berjarak 28 KM dari Banda Aceh. Mungkin aku tak akan pernah tahu kalau koral-koral putih yang terhampar di pantai adalah bahan alami pemutih gula yang halal dan juga sebagai salah satu bahan serat optik. Atau aku tak pernah tahu kalau Lhokseudu adalah daerah penghasil awan hujan yang diekspor ke Saree. Dan banyak mungkin-mungkin lainnya karena ketidaktahuan yang baru aku ketahui di di field camp ini.
Science Hunting. Begitu istilah yang disebut Pak Sura ketika beliau menimang-nimang sebuah rumah kerang berukuran kepalan tangan orang dewasa yang penuh ditempeli kulit kerang. “Belajar langsung di alam seperti ini memang lebih menyenangkan dan mudah dipahami jika dibandingkan kita belajar di dalam kelas”, ujarnya ketika kami kembali ke boat setelah meninjau lokasi science hunting untuk esok pagi. Aku berjalan tertatih-tatih menahan perih akibat cucukan karang pada kulit kaki telanjangku ketika mengikuti beliau dari samping.
Bagaikan hujan turun dari langit, setiap kalimat dari bibir Pak Sura bagaikan air yang membasahi rumput-rumput kering. Segar sekali. Kata-katanya seperti siraman pada rohani nan menyejukkan. Memang terdengar berlebihan, tetapi aku sendiri merasakan pencerahan dengan mengetahui beberapa fakta menarik yang berada di sekitar kita. Hal-hal sederhana sekali dan remeh, yang sering kita lihat, tapi sering kita abaikan karena ketidaktahuan.
Pak Sura terus menjelaskan dengan santai tentang fenomena alam yang kami lewati dan kami temui di sepanjang pantai. Beliau mengorek lumpur di perairan yang sedang surut dan menemukan beberapa buah kerang. “Nah, kerang ini menjadi indikator kebersihan air di tempat ini. Jika airnya tercemar, sumber makanannya akan hilang dan kerangnya juga akan mati”, jelasnya sambil memperlihatkan beberapa kerang temuannya kepadaku. Aku ikut mengorek lumpur dan menemukan dua kerang hidup berukuran kecil. Aku mengenali kerang ini karena sering dijual sebagai menu jajanan di Rex Peunayong, Kerang Rebus dengan saus nenasnya yang lezat. “Oh, jadi kerang ini sama seperti bulu babi ya, Pak? Hanya bedanya, bulu babi semakin banyak jika tingkat pencemaran air juga tinggi”, balasku ketika tiba-tiba teringat pada bulu babi yang biasa disangkutpautkan dengan pencemaran air.
Keesokan harinya, kami dibangunkan subuh-subuh. Aku segera keluar dari kantung tidur di samping tenda. Aku nyaris terjerembab ke dalam laut karena posisi tempatku tidur memang persis di pinggir tebing setinggi satu meter. Setelah menunaikan shalat subuh, aku menarik sebuah kursi santai dari warung di atas bukit, lalu kembali terlelap setelah melihat satu bintang jatuh di ufuk utara.
Science hunting dimulai ketika semua peserta berlabuh di pantai Pulau Beurandeh. Letaknya di hadapan kemah yang kami dirikan di atas bekas jalan aspal yang terputus oleh tsunami, letaknya tepat di bawah lereng sebuah bukit karang di Lhokseudu. Kami diangkut oleh sebuah boat dengan dasar kaca untuk dapat melihat terumbu karang di dasar laut. Sayang sekali kondisi karang di teluk Lhokseudu ini banyak sekali yang rusak. Patahan-patahan koral putih terhampar di dasar laut. Sangat menyedihkan.
Jika saja ada transplantasi terumbu karang kembali, dalam masa 10 tahun ke depan, tempat ini akan menjadi tempat favorit untuk snorkeling dan menjadi tempat tinggal ratusan binatang –binatang ajaib. Wisata laut berbasis konservasi dan juga sebagai lokasi belajar dan mengenal alam paling efektif bagi anak-anak sekolah, mahasiswa, dan masyarakat.
Matahari semakin tinggi. Aku dan Bang Muslim terus berjalan mengikuti jalan setapak melewati lintasan sapi warga di tepi hutan yang berbatasan dengan laguna. Pohon-pohon dan semak tumbuh rapat-rapat. Kami harus berkelit dari ranting-ranting berduri dan merunduk melewati kanopi semak yang tumbuh rendah. Setiba di ujung jalan setapak, pantai penuh patahan karang-karang putih terhampar sepanjang 1 kilometer. Hanya menyisakan sedikit saja pantai pasir putih yang terlihat. Sebatang pohon ketapang berdiri kokoh di pinggir pantai. Seperti sengaja tumbuh di sana sebagai payung bagi pejalan untuk berteduh sejenak sebelum mencapai tebing batuan beku setinggi 30 meter.
Di ujung tebing, ada sebuah gua yang konon kabarnya pernah dijadikan tempat persembunyian anggota GAM. Untuk memasukinya harus berenang dan menyelam memasuki pintu gua. Aku jadi ingat pada kisah Harry Potter yang sedang mencari horcrux di sebuah gua bersama Profesor Dumbledore. Apakah di dalam sana ada benda-benda berharga yang tersimpan? Mungkin harta karun? Atau malah senjata AK-47? :D
Tapi tak perlu menempuh resiko mencari harta karun ke dalam gua. Harta karun yang sebenarnya malah tersebar di sepanjang pantai dan di pinggir tebing ini. Harta karun itu adalah ilmu pengetahuan yang bisa kita dapatkan setiap saat. Mampukah kita mengungkap semua harta karun itu atau malah kita merusaknya?