Rasa ingin mendaki gunung Sinabung itu sudah lama ada. Sekali pernah gagal. Tapi kali ini Monza Aulia yang punya rencana. Merayakan kelulusan kuliah, katanya. Tapi aku sudah tiba di Medan lebih dulu. Dan menginjakkan kaki di puncak Sinabung lebih dulu. Sebab Monza tak melihat kalender dan tak menyadari kalau tanggal 29 Maret 2013 adalah hari libur nasional. Jadilah aku sendiri yang berangkat dan taheue (bengong) di pinggir Danau Lau Kawar menunggu dua pendaki lagi yang belum pernah kulihat rupanya: Bang Khalil dan Bang Manoek.
Gunung Sinabung yang terletak di dataran tinggi Karo, Sumatera Utara ini memiliki tinggi 2.460 mdpl yang pada kakinya terdapat sebuah danau kecil yang disebut Lau Kawar. Di sinilah para pendaki berkumpul dan bersiap untuk mendaki baik malam atau pagi hari. Untuk menuju Lau Kawar, dibutuhkan waktu kurang lebih 3 jam dari Medan. Estimasi waktu ini tergantung pada ketersediaan angkot yang ngetem di pasar Berastagi. Jadi bisa lebih lama lagi jika angkot belum penuh. Waktu menunggu yang mungkin saja akan lama bisa kamu gunakan berjalan-jalan dulu melihat-lihat boru-boru suasana di dalam pasar.
Angkutan ke Berastagi di Medan berpusat di Jalan Jamin Ginting/Padang Bulan, aku menaiki mini bus Sutra yang berwarna biru jurusan Berastagi-Kabanjahe dan membayar ongkos Rp.15.000. Aku tiba di Berastagi dan diturunkan di depan pasar. Dari sini aku melanjutkan perjalanan dengan angkot bertuliskan Rio berwarna oranye yang sudah dipenuhi dengan inang-inang dengan bakung sugi mencuat dari balik bibir dan juga boru-boru (gadis dalam bahasa Karo) yang tatapannya bikin jantung berdesir-desir. Saking gugupnya, aku sampai menanyakan berkali-kali ke bang sopir jika angkot yang aku naiki ini sudah benar angkot yang jurusan ke Lau Kawar. Ongkosnya kalau tidak lupa Rp.7.000. Memasuki gerbang danau, setiap pengunjung akan membayar retribusi sebesar Rp.4.000,-
Bang Khalil dan Bang Manok tiba sekitar pukul 3 siang. Kami bergabung dengan tim mahasiswa dari Pangkalan Brandan yang mendirikan kemah di pinggir danau. Mereka terdiri dari 14 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Kami bertiga sepakat bergabung dalam rombongan ini yang mendaki pada jam 11 malam nanti, jadi besok subuh kami sudah tiba di puncak sebelum matahari terbit.
Tepat jam 11 malam, sesuai dengan rencana, setelah briefing dengan semua anggota tim, kami bergerak meninggalkan lokasi kemah, berjalan dalam formasi anak bebek-memanjang ke belakang. Kami bertiga masing-masing memanggul ransel dan 2 orang kawan dari tim ini memanggul carrier yang ukurannya lebih tinggi dari kepala pemanggulnya sendiri. Yang satu berisi penuh dengan persediaan air dalam berbotol-botol kemasan air dan yang satu lagi stok makanan dan tenda.
Kami membentuk lingkaran dan berdoa semoga perjalanan nanti dilalui dengan lancar dan aman. Lalu beriringan kami menaiki dakian memasuki ladang tomat, jagung, dan cabe. Tiba-tiba satu-satunya anggota yang perempuan, Kak Neyla, tiba-tiba rebah. Debu dari jalan bertanah kering berterbangan karena langkah panik. Kak Neyla terbaring dengan kepala dipangku. Matanya terpejam namum kelopak mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti menahan sakit. Dia mencoba mengangkat badannya sambil bilang “beraaat…beraaaat” berkali-kali. Panggilan dan ucapan kami seperti tak terdengar olehnya. Kami segera mengangkat dan menurunkannya kembali ke lokasi perkemahan.
Satu jam menunggu Kak Neyla tapi tak kunjung sadar juga. Tapi kami tetap harus naik malam itu. Kak Neyla ditunggui oleh pacarnya dan seorang kawan yang tak jadi ikut dan tidur di sebuah warung di pinggir danau. Dengan sedikit perasaan tak enak, kami melanjutkan perjalanan.
Pada pintu rimba, kami berhenti untuk meletakkan sesajen berupa rokok yang dibakar lalu diselipkan di ranting dan dipancang di tanah. Mereka bilang untuk menghormati penunggu gunung dan untuk keselamatan bersama. Di sini kami kembali berdoa dan diingatkan agar tidak terlalu ria dan jangan sampai ‘kosong’. Jika melihat sesuatu yang ‘aneh-aneh’, kami disarankan untuk diam saja dan tidak menceritakan apa-apa selama perjalanan ini dan nanti. Begitulah, perjalanan kembali dilanjutkan memasuki hutan lebat nan kelam.
Penerangan hanya berasal dari senter. Selebihnya adalah sinar bulan yang menerobos dari rimbun pepohonan dan memantul pada daun-daunnya. Hanya suara serangga malam, suara kawan-kawan dan suara dengus nafas kami yang terdengar. Selebihnya hanya pekat malam dan bayang-bayang pohon yang membentuk bayangan-bayangan dan kelebat aneh. Aku segera mengalihkan pandangan ke depan dan sekali-kali melihat ke belakang.
Dari kelimabelas orang ini, tidak sampai setengahnya yang pernah mendaki gunung. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 4 jam, molor sampai 5 jam. Bagaimana tidak, sepertinya hampir setiap 20 menit kami berhenti untuk beristirahat. Aku yang baru pertama kali mendaki gunung mengaku benar-benar capek luar biasa. Tak terasa lagi udara dingin. Baju sudah basah hingga merembes ke celana. Slayer yang kupakai bahkan harus diperas berkali-kali saking banyaknya keringat selama perjalanan ini.
Entah sudah berapa pos yang sudah kami lewati, aku ingat pada pos terakhir, pepohanan mulai jarang-jarang tapi tetap rapat dengan batang pandan duri dan semak-semak pakis. Jalan setapak dari tanah berganti dengan bebatuan dan akar-akar pakis yang empuk ketika dipijak. Dari sini aku bisa melihat pendar lampu-lampu dari rumah warga di bawah sana. Sepertinya puncak sudah semakin dekat.
Benar saja, setelah merangkak ala Spider Man di tebing-tebing batu selama setengah jam, kami tiba di sebuah dataran kecil. Di depan kami terhampar pemandangan lampu-lampu kota Berastagi. Mendekati jam 6 pagi, gelap malam berangsur pudar berganti ungu, biru dan kemerahan. Matahari perlahan-lahan terbit. Namun awan sedikit enggan mempertunjukkannya pada kami yang mulai kedinginan karena tak banyak bergerak. Kilat menyambar-nyambar dari balik awan yang menutupinya. Dramatis.
Aku memanjat tebing batu menuju puncak tertinggi gunung Sinabung dan berdiri di tengah-tengah rombongan pendaki ABG cewek yang sebagian terkapar di tanah dan sebagian lainnya malah riang berfoto dengan latar matahari terbit.
Tatapanku mengarah ke ujung cakrawala yang tertutup awan bersemburat jingga. Nun di bawah sana, halimun menutupi permukaan bumi. Seperti menjadi batas waktu bagi orang yang sedang tidur lelap di kasur empuknya dengan para pendaki yang sedang menikmati dingin yang menusuk kulit dan cahaya matahari yang dibiaskan awan. Awan tipis bergerak cepat terbawa angin dari lereng gunung menutupi puncak tempat kami berdiri. Udara dingin membuat kering rongga hidung dan kerongkonganku. Aku melilitkan lipatan kain sarung di sekitar leher hingga menutupi hidung agar tetap hangat.
Ketika sedang menyaksikan warna-warna ajaib ketika matahari terbing, tiba-tiba aku merasa tempat ini menjadi sangat ideal untuk merenung. Tapi ketika itu juga aku tidak bisa memikirkan apapun lagi selain takjub memandang keindahan alam yang begitu sempurna di depan mata.
Setelah hari terang, aku mendaki satu bukit kecil di dekat kawah, dari atas sana aku bisa melihat asap seperti gelegak air panas berbau belerang membubung dari balik bukit berbatu-batu. Begitu juga puncak Sinabung tempat aku berdiri tadi dan orang-orangnya yang terlihat begitu kecil, seperti aku melihat diri sendiri di atas sana sedang menyaksikan kabut menutupi tanah Karo yang amat subur. Ketika di bawah sana, rasanya aku bisa menggenggam dunia, tapi di atas sini, aku menyadari betapa kesombonganku selama ini cuma sampah, bukan apa-apa. Semakin lama aku melihat ke bawah, rasanya aku semakin kecil, menjadi kerdil ketika matahari mulai bersinar garang. Ah, sudah waktunya pulang.
Rekaman singkat saat di puncak Sinabung:
Beberapa foto diambil saat perjalanan turun dari puncak.
Taheue adalah bahasa Aceh yang berarti bengong.
Boru-boru adalah bahasa Batak yang berarti gadis. Bahasa Karo-nya adalah Diberu. Sedangkan Inang-inang dalam bahasa Batak berarti ibu-ibu, bahasa Karo-nya adalah Nande-nande.