Matahari sudah berada di atas puncak singgasananya saat kami tiba di sebuah tebing berbatu-batu cadas. Kami duduk di atas tebing melepas rasa lelah yang luar biasa menghantam punggung, pinggang, dan kaki. Nun jauh dari celah-celah dedaunan pohon yang rimbun tampak lautan dan puncak bukit Ujong Pancu. Selebihnya hanya awan putih dan sinar matahari yang menyilaukan saat menerobos dedaunan dari atas kepala. Pohon-pohon berbagai ukuran tumbuh lebat di kiri-kanan jalan.
Hampir 2 jam lamanya kami berlima mendaki: Aku, Dika, Ilham, Bulek, dan Karim. Di atas bebatuan itu kami terduduk dan mengistirahatkan badan sambil menikmati semilir angin yang mengeringkan keringat dan meluruhkan lelah. Karim, di atas batu cadas itu dia duduk sambil mengisap rokok dan sebuah galon air yang masih berisi penuh di sampingnya. Santai.
Sekitar setengah jam dari tebing tadi, kami menemukan sebuah parit kecil yang mengaliri air yang dibendung oleh lempengan batu besar yang menyerupai bangunan dam. Permukaan batu datar setinggi 5 meter dengan kemiringan 60 derajat. Air bening mengalir di atas batu membasahi lumut-lumut dan daun-daun mati. Kami melangkahkan kaki di atas tanggulnya dan kembali menempuh jalan setapak yang mulai menurun.
Beberapa kali perjalanan kami diteriaki oleh kawanan monyet dari atas pohon sambil berteriak riuh sambil berloncatan dari satu dahan ke dahan pohon yang lain, seolah marah lalu pergi menjauh dari kami. Mungkin terganggu karena ada makhluk asing yang memasuki daerah kekuasaan mereka atau mungkin memang sedang berebut wilayah dengan kawanan monyet yang lain? Entahlah, aku tak sempat memikirkan tingkah para monyet karena perhatianku teralihkan oleh mendengar suara ombak dari kejauhan.
Jalan setapak terus menurun dan berbatu-batu lalu berakhir di sebuah padang ilalang seluas setengah lapangan bola, hijau terhampar setinggi pinggang orang dewasa. Sebuah batu berwarna abu-abu mencuat di tengah-tengah rimbun ilalang. Aku yang bercelana pendek merasakan gesekan-gesekan ujung dan pinggir daun ilalang pada kulit yang menimbulkan lecet hingga perih dan gatal-gatal.
Di pinggir padang, karang dan sampah-sampah plastik berserak di bawah rindang pohon. Pasir putih terhampar bersama ribuan patahan-patahan koral mati dan kulit kerang. Ombak yang menjilatinya mengeluarkan bunyi kerisik halus.
Memandang ke laut lepas, aku berhadapan langsung dengan Pulau Bunta. Warna biru pekat di tengah laut membuatku bergidik membayangkan kedalamannya. Namun di dekat pantai, air laut berwarna hijau tosca tampak begitu menggoda untuk direnangi.
Aku cepat-cepat mengeluarkan masker dari ransel, membuka baju dan celana terus berlari ke pinggir tebing mencari tempat yang bagus untuk terjun ke dalam air. Terumbu karang di daerah ini menurutku lumayan bagus. Tidak nampak bekas-bekas pemboman. Meski ikan berwarna-warni tak terlalu banyak, malah didominasi ikan Taji seukuran telapak tangan berwarna coklat pekat yang berenang bersama gerombolannya.
Kami mendirikan kemah di bawah tebing batu setinggi 10 meter. Sebuah gua menganga lebar pada tebing yang jika dilihat sekilas tak terlihat karena terlindungi oleh bayang-bayang pohon Keutapang yang tumbuh di depannya. Permukaan pantai di areal ini hampir seluruhnya tertutupi oleh tanaman Tapak Kuda. Bunga-bunganya yang berwarna ungu cerah membuat pantai ini seperti ditutupi permadani yang elok.
Semakin rendah matahari ke permukaan laut, cahayanya semakin memesona. Warna biru perlahan-lahan memudar dan berganti dengan warna keemasan. Langit dan laut semuanya ditutupi warna kuning emas, pulau Bunta menjadi siluet yang menarik lingkaran bulat matahari dan mengantarkannya ke belahan bumi yang lain.
Momen matahari mengganti shift wilayah penerangannya kali ini bagiku adalah salah satu yang paling indah yang pernah aku saksikan. Kekagumanku tak selesai pada senja itu saja. Malam hari, decak kagum kembali disambung dengan menatap milyaran bintang di langit dan kunang-kunang yang beterbangan ke sana-kemari. Kami berlima berbaring di pantai setelah sebelumnya mengusir seekor ular laut yang berusaha naik ke darat. Rasa dingin pada karang-karang di atas pasir menimbulkan sensasi rileks yang membuat kami semakin mengantuk lalu tertidur pulas di sana.
Entah jam berapa, aku terbangun dan menemukan kawan-kawan masih terlelap di samping. Aku segera naik ke atas, mengeluarkan sleeping bag dan menggelarnya di atas semak tapak kuda di samping api unggun yang mulai padam lalu langsung tidur lagi. Sesaat kemudian aku mendengar suara ribut-ribut kawan yang masuk ke dalam tenda. Tapi mata terlalu berat untuk dibuka kembali hingga suara-suara mereka menjadi samar dan lenyap.
Lihat juga video yang dibuat oleh Bang Dicko Andicko di sini:
//
keren x citraaa…
Aslinya lebih keren lagi Lhok Keutapang, Za. :D
Salut banget sama dirimu, Cit. Bener-bener calon petualang sejati…kok kaya bahasa iklan ya hehe…
Aaaamiiin…semoga jadi model iklan beneran ya, Bang. :D
Keren chit
Makasih, Kak. Unforgettable kali sunsetnya. :D
Foto bintangnya keren. Berapa menit Cit bukaan kameranya?
25 atau 30 deh kayaknya..
Love the sunset photos!
Terima kasih, Bang Adam. :)
gaya penulisan citra saat ini ada rasa ‘taste’ berbeda dari sebelumnya :)
Iya kah? Aku juga merasa ada yang beda tapi ga tau dimananya yang beda. :D Tapi, ‘taste’-nya bagus atau enggak bagus, Aulia? :D
menurutku ‘taste’ seperti ini layak dibukukan, minimal di e-book dulu (beberapa judul tulisan pilihan) jadi akan terasa lagi. Beberapa tulisan yg mengalami perubahan warna menurutku tetap bagus dan berkesan :)
wah jalan-jalan terus ya :D Asikk petualang sejati! Foto-fotonya bagus2 jadi kepingin pergi kesana juga hehe
Gantian, Bang. Aku ke dua minggu lagi ke Lange, Bang Anak yang ke Lhok Keutapang. :D
Hehe.. sip sip lanjutkan!
Bangga jadi satu tim pendakian dengan penulis…:D
begitu banyak potensi wisata yang indah di Aceh..im proud as Acehnese and Indonesian!
i’m proud as one of your team! :D Thank you beuh… :)
apa rasanya ya didatangi ular laut pas minim cahya
ckckck…
Penerangannya cahaya bulan dan senter. Kalau sempat tergigit…ga tau apa yang akan terjadi.
Ceritanya kayak kepotong atau nanggung ya bang? :D.
Itu lagi kenapa Nama ane jadi dicko andicko haaahhh???
Gakpapa, Bang. Biar keren aja namanya. :D
Wow.. ini keren sekali!
Apalagi bisa foto langit malam seperti itu. Bukti bahwa memang minim pencahayaan yah disana?
Iya, hanya penerangan dari bulan dan bintang saja. :)
Huaaaa….
langit yang dipenuhi bintang…
pantai…
matahati terbenam….
semuaaaa bikin nginjakin kaki ke sana… (/ >o<)/
Keren kan alamnya? :D
klo udah membaca perjalanan Travellingnya rasanya serasa ikut mengunjungi pantai ini. hasil gambarnya membuat pembaca ingin juga untuk ikut travelling ke Pantai ini.
Terima kasih, Azhari.. :)
eh berarti kami lumayan cepat ya hikingnya. cuma 2.45 jam padahal medan baru aja diguyur hujan. :P
Iya..tapi kalian ga ada yg bawa satu galon aqua plus nyasar-nyasar kan? :D
nyasar sih ga. tetap aja licin lah. tadi aja hampir masuk jurang. menantang ga hiking pas hujan? :P
Haha..apalagi yg manjat tebing batu :D
iya itu lagi mana kemarin penuh dgn lumpur dan batunya berlumut :P
Hi Citra, buka google nyari Lhok Keutapang, eh, dapat tulisanmu :-) keren abis liputan n fotonya. jadi ngiler pengen kesana :-D
Hai Kak Ros. Ketemu pula di blog. Haha… Makasih Kak. Tapi perempuan susah sekali dapat ijin untuk pergi ke Lhok Keutapang. :(