Pacu Kude di Tanah Gayo

Keputusanku ke Takengon tanggal 23 Februari 2013 lalu terbilang sangat nekat dan mungkin akan kusesali jika malam minggu itu terjadi hal-hal yang aku khawatirkan karena suhu udara yang amat rendah. Hipotermia.

pacukude-2.jpg

Malam itu setelah perut kenyang, api unggun padam dan mata mulai mengantuk, aku memutuskan untuk tidur di dalam kemah yang hanya beralaskan terpal tipis, tanpa sleeping bag. Baju kulapisi lagi dengan jaket tipis dan mantel hujan. Celana jeans dan memakai sepatu. Tapi semua itu tak mampu mengurangi rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku hanya tidur sebentar-sebentar. Sebentar tidur, sebentar bangun dan menggigil, aku sudah khawatir sekali jika terkena hipotermia. Ketika terbangun lagi, hari sudah subuh. Aku menyalakan nesting di dalam kemah karena udara semakin dingin. Lanjutkan membaca “Pacu Kude di Tanah Gayo”

Iklan

Mencapai Batas Barat Indonesia

Ada batas-batas yang memang tak bisa kita lampaui. Meski kecenderungan untuk melakukannya sungguh besar namun tak sebesar kita menghargai dan menjaga batas-batas yang ada.

Udara pagi di Pantai Balu-Pulau Breueh tak begitu dingin, aku berjalan-jalan ke ujung pantai dan menemukan batu-batu raksasa dan karang di bawah tebing bukit. Sebuah sungai kecil mengalirkan air berwarna coklat yang bermuara ke laut. Namun di dekat kuala, tepat di bawah tebing, ada mata air jernih yang keluar dari sela-sela kerikil dan batu-batu besar. Jika kelak kembali ke sini, air jernih ini bisa dipakai untuk memasak.

puloaceh-1puloaceh-3

Matahari terus bergerak naik, aku bergegas kembali ke kemah dan berkemas. Pagi ini perjalanan dilanjutkan bersepeda ke Meulingge setelah aku mengantar Nisa kembali ke Gugop. Jalan yang baru diaspal sebenarnya sangat memudahkan kami bersepeda. Tapi jalannya menanjak terus hingga 3 kilometer ke depan lalu menurun sepanjang lebih dari 2 kilometer. Rasanya jalan ini seperti tak ada habisnya. Tak ada ujungnya. Belum lagi membayangkan perjalanan pulang nanti.

puloaceh-1

“Ini nanti baliknya gimana, Dik?”

“Apa kita sewa boat aja untuk balik ke Gugop?”

“Ya ampun, Dik. Pengen kali es krim di Gunung Salju atau es cendol di Pasar Atjeh!”, keluhku sambil membayangkan minuman dingin mengalir di tenggorokan.

puloaceh-10

Semua pertanyaan dan keluhan tadi segera dibungkam oleh pemandangan segar di depan mata. Nun jauh di bawah sana terhampar panorama Rinon yang indah sekali. Laut biru dan hijau toska, pantai pasir putih, bukit tinggi yang hijau terhampar indah. Sangat indah.

puloaceh-1-2

Kami tiba di Rinon pada tengah hari. Gampong Rinon adalah sebuah mukim yang juga terletak di pesisir pantai. Kampung ini adalah tetangga Kampung Meulingge. Itu artinya tujuan kami seharusnya tak begitu jauh lagi. Tanah keras berbatu-batu sepanjang 3 kilometer ini adalah satu-satunya jalan menuju Meulingge yang ternyata cukup menguras tenaga juga. Badan dan ransel ikut terguncang-guncang ketika ban harus melindas bebatuan.puloaceh-2

Kami tiba di kaki bukit. Tepat di ujung Kampung Rinon. Jalan beraspal mulus menanjak terus ke atas dan hilang berbelok tertutup tebing bukit. Tanjakan lagi?!

Setelah menyantap makan siang-yang rasanya tiba-tiba berkali-kali lipat enaknya-kami melanjutkan perjalanan menuju Meulingge yang berjarak 5 kilometer dari Rinon. Tanjakan ini adalah tanjakan terakhir dan terberat yang kami lalui karena di sepanjang jalan inilah kami memompa semua sisa-sisa tenaga dan semangat yang kami miliki. Rasa legaaaa sekali ketika akhirnya melihat jalan menurun.

puloaceh-4

Kami meluncur dengan kecepatan sekian belas kilometer perjam. Angin kencang menyejukkan tubuhku yang berjam-jam dibakar matahari dan lelah yang luar biasa. Keringat yang bercucuran dari kepala hingga badan kering oleh angin. Bajuku sudah kulepas karena basah dan kuikat di belakang ransel. Nyeri pada bahu karena memanggul beban carrier sejenak terabaikan.

Meulingge sendiri adalah sebuah kampung yang terbilang kecil. Tapi sudah ada satu sekolah dasar di sini. Dari atas bukit, dapat kita lihat pelabuhan yang tampak baru. Di sebelah kanan sebelum memasuki kampung, kebun-kebun kelapa yang tak lagi berbuah setelah tsunami dibiarkan bersemak. Sampai saat ini, semenjak tsunami, buah kelapa diimpor dari Banda Aceh. Aku pikir, hanya buah sagu (rumbia) saja tak berbuah pasca tsunami.

puloaceh-1-3

Kami tiba di depan sebuah sekolah dasar dan berjumpa dengan Bang Nazar dan Bang Zein. Bang Zein ini adalah seorang guru yang berasal dari Semarang dan ikut dalam program SM3T yang sudah berada di Meulingge sejak 6 bulan lalu. Di rumah beliaulah kami beristirahat sebentar dan menambah persediaan air sebelum melanjutkan berjalan kaki ke Mercusuar Willem’s Toren.

Mercusuar Willem’s Toren yang mulai dibangun pada tanggal 17 Agustus 1874 dan beroperasi pertama kalinya pada tanggal 20 Juni 1875 ini berdiri kokoh di paling ujung Pulau Breueh. Warnanya yang merah-putih dapat terlihat dari pantai Pasir Putih, Sabang. Bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda lainnya yang berdiri di belakang mercusuar pun masih berdiri meski bagian dalamnya seperti lantai yang terbuat dari papan sudah hancur. Hanya sebagian ruangan saja dari bangunan ini yang masih bisa dipakai untuk pemantau navigasi sebagai tempat tinggal.

puloaceh-29

Mercusuar yang sudah berdiri ratusan tahun lalu tetap setia menavigasi kapal-kapal yang melintas di dekat perairannya. Bangunan tua dan penting ini seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Tapi kenyataannya banyak bagian-bagian vital pada bangunan ini tidak diperbaiki seperti tangga. Beberapa anak tangga hilang dan hampir tanggal. Untuk naik ke atas puncak, aku harus melangkah pelan-pelan dan berhati-hati agar tak merusak tangga dan lantai papan yang sudah amat tua umurnya. Namun di hati kecil terbersit pula jika sebaiknya mercusuar ini tidak lagi dinaiki oleh pengunjung agar tak memperparah kerusakan yang sudah ada. Tapi rasanya tak puas hati pula jika tak naik setelah menempuh perjalanan berat menuju ke tempat ini. Ah entahlah, aku tetap melangkah pelan-pelan hingga ke puncak.

Berdiri di atas mercusuar dan memandang ke samudra lepas, menghirup udara segar dan merasakan angin yang berhembus bergerak-gerak di kulit wajah. Tiupan angin juga menggerakkan keping-keping jendela kaca setebal 2 cm yang sudah pecah dan goyah. Hanya menunggu waktu saja pecahan-pecahan kaca tebal itu lepas dan jatuh.

Lampu utama atau lampu asli di puncak suar sudah tidak berfungsi lagi. Dapat kabar kalau air raksa yang harganya amat mahal untuk lampu itu dicuri. Sungguh sayang. Sekarang lampu penggantinya dihidupkan dengan listrik tenaga surya.

Mercusuar yang hampir dilupakan ini berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan menjadikannya pula sebagai pulau terluar paling barat Indonesia. Mencapai tempat ini, kami mengerahkan semua tenaga hingga batas terakhir. Batas di mana kami tak bisa pergi lebih jauh lagi kecuali kembali.

Mata tak puas-puasnya memandang laut, debur ombak ke tebing karang, pepohonan, bangunan tua, Pulau Weh, dan perahu nelayan yang bergerak lambat. Semua yang dapat kulihat dari balik pagar di puncak mercusuar itu adalah menakjubkan. Tapi lagi-lagi waktu membatasiku untuk berlama-lama menikmati keindahan ciptaan Tuhan ini.

Tuhan selalu bersama para pejalan. Tak ada cara lain untuk kembali ke Gugop selain kembali mendayung pedal sepeda. Tapi Tuhan Maha Baik. Bang Zein menawarkan diri untuk mengantarkan kami menggunakan motor. Lalu Tuhan mengirimkan lagi bala bantuanNya melalui Pak Busra. Beliau sedang menuju Gugop dengan pick-up dan kami menumpang hingga ke Gugop. Aaahh lega sekali.

Malam itu kami mendirikan tenda di Pantai Lambaro. Bang Zein ikut makan malam dengan kami dan bercerita banyak sekali tentang Pulo Breueh. Tentang keramahan penduduknya dan segudang masalah pendidikan di daerah ini.

Malam semakin larut, api unggun mulai mengecil, dan langit semakin pekat karena mendung. Bang Zein pamit dan kembali ke Meulingge. Guru muda berkulit gelap ini tentu tak boleh masuk telat besok pagi. Kami mengucapkan selamat jalan dan terima kasih atas kebaikannya yang entah kapan dapat kami balas.

puloaceh-30

Hari itu aku belajar tentang batas. Ada batas-batas yang memang tak bisa kita lampaui. Meski kecenderungan untuk melakukannya sungguh besar namun tak sebesar kita menghargai dan menjaga batas-batas yang ada.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Ketinggalan pengalaman hari pertama kami di Pulo Breueh? Baca di sini: Hampir Gagal ke Pulo Breueh

Baca juga pengalaman kawanku, Dika, di sini: Menapaki Pulo Breueh (Bagian 2).

//

Hampir Gagal ke Pulo Breueh

Pada pertengahan bulan Februari 2013 lalu, ketika Banda Aceh hampir tiap hari diguyur hujan, aku, Dika, dan Nisa mengawali perjalanan laut kami yang pertama kali dan mendebarkan. Aku dan Dika, terjebak lalu lintas di Neusu ketika mencari spiritus. Dan Nisa menanti kami dengan harap-harap cemas di dermaga Lampulo karena waktu sudah menunjukkan jam 2 siang.

Spiritus yang nanti digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak tak juga ditemukan. Dika yang menyetir mobil pun seperti hilang kesadaran saat berbalik arah di tengah jalan yang ramai kendaraan. Pun aku heran, kota sebesar Banda Aceh ini kenapa tidak banyak toko bangunan yang menjual spiritus? Syukur tak ditinggal kapal meski kami sudah terlambat dari jadwal keberangkatan.

puloaceh-1-2

Kami tiba di dermaga Lampulo ketika hujan baru saja reda. Langit masih ditutupi awan kelabu dan angin meniupkan udara dingin menandakan hujan tak akan lama berhenti. Cuaca seperti ini bukanlah awal yang menenangkan untuk bepergian lewat jalur laut. Keluar dari kuala Krueng Aceh, kami langsung disambut dengan ombak tinggi hingga 1 meter. Tempias air yang menampar dinding geladak KM Jasa Bunda yang kami tumpangi menyiram mukaku dan tiga buah sepeda di antara tumpukan barang penumpang lainnya.

puloaceh-2-2

Berkali-kali kapal motor ini oleng dan berguncang. Semua penumpang yang duduk di geladak berpegangan agar tak terlempar ke dalam laut. Di tengah kekalutan hati memandangi ombak yang menggelegak, di sisi kiriku, seekor lumba-lumba menyembul ke permukaan.

Sontak kami bertiga bergerak cepat ke pinggir kapal menyaksikan parade lumba-lumba yang melompat ke permukaan. Pemandangan langka dan mengejutkan ini membuat kami sejenak lupa pada cuaca buruk yang mengocok isi perut.

KM Jasa Bunda hanya melayani penumpang dari Lampulo (Banda Aceh) ke Desa Gugop, Pulau Breueh setiap harinya kecuali hari jumat. Kapal berangkat setiap jam 2 siang dan memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan ongkos perpenumpang Rp.15.000.00. Jika ingin ke Pulo (Pulau) Breueh, aku sarankan bawalah sepeda motor karena di pulau tak ada penyewaan sepeda motor dan alat transportasi umum. Ongkos angkut permotor adalah Rp.30.000.00. Ongkos ini sudah termasuk menaikkan, mengangkut, dan menurunkan sepeda motor dari dan ke dermaga.

puloaceh-3-2

Pulo Breueuh sendiri adalah salah satu pulau di Kecamatan Pulau Aceh yang berada dalam Kabupaten Aceh Besar. Pulau ini bertetangga dengan Pulau Nasi. Ada beberapa pulau kecil lainnya yang tersebar di sekitarnya tapi hanya dua pulau besar ini yang berpenghuni. Pulau-pulau kecil itu di antaranya adalah Pulau Teunom, Pulau Bunta, dan Pulau U. Pulau-pulau ini sering didatangi para pemancing dari Banda Aceh.

Kami tiba di Gugop pukul setengah lima sore dan segera mengayuh sepeda menuju rumah pak keuchik (lurah). Tapi beliau ternyata sedang tak ada di rumah. Kami memutuskan untuk segera bergegas mengayuh sepeda ke Meulingge-begitu rencana awalnya.

puloaceh-8-2 puloaceh-7-2

Tapi…*sigh* siapa sangka kalau ternyata perjalanan menuju Meulingge itu harus menempuh jalur perbukitan? Nisa yang sedang tidak begitu sehat harus turun dan menuntun sepeda ketika jalan beraspal menanjak. Tanjakan pertama, kedua, lalu tanjakkan ketiga yang sangat panjang. Tenaga terkuras habis. Nisa menumpang naik motor seorang bapak yang lewat. Aku kembali mengayuh sepeda sambil memegang sepeda Nisa di tangan kanan. Dengan beban di punggung dan di tangan kanan, aku tak bisa melepaskan cengkeraman jari dari rem. Sedikit saja lepas kendali, antara masuk jurang atau tersungkur di aspal.

 puloaceh-9-2

Kami memutuskan untuk menginap di Pantai Balu. Pantai ini sebenarnya hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari desa Gugop. Tapi bagi kami, rasanya seperti puluhan kilometer. Pantai ini memiliki panjang hampir 1 kilometer dengan pasir putih yang luas dan gelombang laut yang tak begitu besar. Jika cuaca bagus, pantai ini menjadi tempat yang paling strategis untuk menikmati saat-saat matahari terbenam. Kami mendirikan kemah di lapangan di pinggir pantai yang penuh ‘ranjau’ sapi.

puloaceh-13

Jam 6 sore di Pulau Breueh, langit sudah dihiasi awan putih dan kelabu. Ujung cakrawala tertutup awan dan sinar matahari tak mampu menembusnya. Redaman warna oranye terlihat suram dan semakin buram seiring tenggelamnya matahari.

Menjelang malam, ketika sedang mengumpulkan ranting-ranting kayu, aku baru sadar satu hal: aku tidak membawa korek api! Pada saat itu aku merasa orang paling tolol sedunia. Kalau sudah begini baru menyesal kenapa tidak membuat daftar barang bawaan sebelum packing ransel dan mempersiapkannya seminggu sebelum berangkat. Sudah tidak ada bahan bakar, korek tak ada, membuat api pun tak bisa. Yasalam!

Untungnya tadi siang Nisa membeli nasi bungkus di Lampulo dan Dika membawa ayam goreng dari rumah. Perut kami bertiga malam itu terselamatkan dengan membagi-bagi makanan yang ada. Alhamdulillah masih bisa mengisi ulang tenaga buat besok dan yang paling penting adalah menerima pelajaran yang akan susah dilupakan: jangan sepelekan perlengkapan berkemah sedekat/sesingkat apapun perjalananannya.

Kami tidur cepat malam itu. Langit masih mendung tapi sepertinya tak akan turun hujan malam ini. Rasa lelah membuatku lebih cepat mengantuk dan tertidur pulas.

Ikuti pengalaman seru kami yang tidak kalah seru di hari ke dua di sini: Mencapai Batas Barat Indonesia.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Baca juga pengalaman kawanku, Dika, di sini: Menapaki Pulo Breueh (Bagian 1).

//

%d blogger menyukai ini: