Melewatkan hari minggu di Lhokseumawe tanpa kemana-mana adalah 12 jam yang membosankan. Jika ke pantai Ujong Blang sudah terlalu mainstream, ke bukit Blang Panyang pun sudah terlalu sering, akhirnya aku berjalan-jalan tanpa arah yang jelas dan akhirnya tersesat di Nisam.
Mengendarai motor, aku berkeliling sebentar di kota Lhokseumawe lalu keluar dan berbelok ke arah Unimal. Sebuah jalan besar di sebelah kanan mengarah ke Bukit Rata. Dari kejauhan rimbun pepohonan jati menutupi pandangan ke jalannya yang menanjak. Beberapa gedung baru milik salah satu sekolah tinggi berdiri di sisi kanan yang masih tampak kosong. Tanpa berpikir panjang, aku membelokkan motor ke jalan ini dan menyadari kalau ini adalah juga jalan Len yang mengarah ke kilang gas di Matangkuli dan Arun.

Kondisi jalannya masih bagus, sepi dan dipagari tebing-tebing bukit dan semak belukar dan kadang-kadang melewati kerumunan sapi di pinggir jalan. Aku mengambil jalan lurus ketika menemukan perempatan dan melewati gudang Indofood di sebelah kanan jalan. 5 kilometer dari sana, jalan beraspal mulus putus. Perjalanan dilanjutkan melewati jalan bertanah keras. Petak-petak sawah pada kiri-kanan jalan hampir semuanya ditumbuhi enceng gondok dan rumput yang tumbuh tinggi.

Setelah sejam berkendara rasanya jalan ini seperti tak berujung. Sejauh mata memandang ke depan yang kulihat hanyalah jalan tanah coklat yang lurus. Tapi aku terus laju tak peduli kemana jalan ini berakhir. Perasaan asing melewati jalan di tengah-tengah sawah di kampung entah berantah ini mengalihkan pikiranku dari keinginan untuk berbalik arah. Terik matahari pun tak lagi terasa menyengat kulit. Semakin jauh, kegiatan di persawahan mulai kelihatan. Tanaman padi mulai terlihat menghijau di petak-petak sawah yang sedang disiangi petani, anak-anak berlari-lari di pematang dan kambing mengembik di pinggir jalan. Eh, tiba-tiba nostalgia masa kecil menyerang. Jadi ingat kalau dulu suka menjaring udang di dalam parit di pinggir sawah. Kehilangan uang koin seribu rupiah ketika melompat-lompat di pematang sawah. Hah, masa kecil yang menyenangkan. :D
Yang menandakan kita memasuki kampung yang lain ketika berada di areal persawahan ini adalah dengan melihat tanaman padinya. Pada petak-petak sawah pertama yang dilalui padi baru saja ditanami. Lalu petak-petak berikutnya, bulir-bulir padi berwarna kuning keemasan sudah merunduk hampir menyentuh tanah. Biasanya masing-masing kampung memiliki musim tanam padi yang berbeda-beda. Jadi antar satu kampung dengan kampung yang lain belum tentu menanam padi pada saat bersamaan. Dan jenis padinya pun dapat kita bedakan dengan melihat warna pada kulit ari padi. Seperti yang aku lewati tadi, ada yang berwarna kuning kecoklatan atau ada bercak coklatnya adalah beras ketan. Nah, jika beras nasi warna kulit arinya berwarna kuning keemasan. Gampang kan membedakannya? :D
Nisam!
Jika melihat peta, NIsam itu letaknya jauh sekali dari Lhokseumawe. Ketika membaca alamat yang tertulis di papan nama sebuah mesjid sontak membuatku terkejut. Aku tidak menyangka bisa sampai ke bekas daerah konflik ini. Bukan bekas konfliknya yang bikin aku kaget, tapi jaraknya itu lho. Jauh sekali. Tapi syukurlah kondisi sekarang sudah amat sangat aman. Buktinya aku bisa berjalan-jalan di sini tanpa tatapan aneh dari warga kampung. Mereka pun dengan senang hati menunjukkan jalan jika tersesat seperti yang aku alami hari itu. Nah, jalan perkampungan di sini banyak pula persimpangannya dan membuatku kebingungan. Setelah bertanya sana-sini, beberapa warga mengarahkanku mengambil jalan ke arah Ujong Pacu. I have no idea dimana itu Ujong Pacu. Hanya pernah mendengar namanya saja.

Setengah jam melewati jalanan berbatu tapi teduh oleh pepohonan di Nisam, aku berhasil sampai di Ujong Pacu. Tadinya aku tak menyangka jika Ujong Pacu ini adalah salah satu kecamatan yang masuk dalam Pemerintahan Kota Lhokseumawe. Letaknya berbatasan langsung dengan Krueng Geukeueh dan Nisam, Aceh Utara. Jalan beraspal mulus membelah persawahan yang sebagian besarnya tidak ditanami padi itu dialiri sungai keruh di sisi kanan jalan.
Suara mesin traktor terdengar meraung-raung ketika aku berjalan kaki menaiki sebuah bukit. Jalan setapak yang terbuat alami oleh kuku-kuku keras lembu menanjak terjal yang berpotensi menggulingkan tubuh kembali ke parit di pinggir jalan. Jika itu terjadi, puaslah anak-anak di bawah menertawakan.
Tak perlu waktu lama mendaki hingga ke puncak tertinggi di barisan bukit Ujong Pacu ini. 15 menit saja cukup. Atur nafas sejenak sambil menikmati hamparan sawah, perbukitan nan hijau dan langit biru yang cerah. Awan-awan berkilau memantulkan cahaya matahari yang hampir berada di tempat tertingginya. Semua kombinasi yang terlihat dari atas sini menciptakan keindahan alam yang sempurna.


Kemana lagi ya hari minggu nanti,?
//