Langit di pagi hari pertamaku di Balai hampir sepenuhnya ditutupi awan putih. Hanya sedikit menyisakan celah berwarna biru yang membuat perasaan sedikit tenang. Cuaca di pulau biasanya berbeda dengan cuaca di daratan. Hujan bisa turun kapan saja dan berhenti tiba-tiba. Prakiraan cuaca yang berlaku dari tahun ke tahun di pulau ini adalah akan semakin sering hujan pada bulan September hingga Februari. Rencanakan liburan kamu pada bulan-bulan mulai dari Maret sampai Agustus jika ingin ke Pulau Banyak.
Bagiku tidak ada cuaca yang buruk, tapi tidak bagi para nelayan, hujan dan badai adalah momok bagi mereka. Jika awan-awan hitam mulai terlihat menggelantung maka tertundalah rencana mengumpulkan rejeki yang tersebar di dalam laut. Namun resiko jika berlibur di pulau adalah kita harus mengikuti fenomena alam yang bisa saja terjadi. Satu-satunya jalan keluar adalah sabar di rumah jika awan gelap dan hujan akan/sudah runtuh.
Malam sebelumnya, aku dan Bang Tekno, teman seperjalananku, berbelanja stok makanan untuk 5 hari seperti beras dan air minum di sebuah kedai kelontong di dekat warung ibu langganan kami. Rencana awalnya kami akan berkemah di Pulau Palambak. Namun oleh Pak Putri (pemilik Wisma Putri) menyarankan untuk berkemah saja di Pulau Asok. Lalu ke Pulau Asok lah kami.
Bang Sam sudah menunggu di pelabuhan ferry dengan perahunya yang dicat hijau. Musik dangdut membahana dari speaker yang terhubung ke vcd player kecil di dekat tempat kemudi. Tembang lawas dari Rhoma Irama sudah terdengar mulai dari kami memasuki pintu gerbang pelabuhan. Aku senyum-senyum sendiri mendengar lagu itu. Entah kapan terakhir kali aku mendengarkan lagu itu. Yang pasti sudah lama sekali.
Meski langit memutih namun semangatku tak kalah pacu dengan deru mesin perahu. Aku duduk di atas geladak paling depan. Mengawasi perairan dangkal yang berkarang dan berharap bisa melihat binatang laut dari atas. Di belakangku, Bang Sam tekun mengarahkan tuas kendali mesin perahu sambil menikmati alunan musik dangdut nostalgia yang mengalun-alun syahdu. Perpaduan antara musik dan pemandangan pada saat itu menciptakan suasana yang unik namun menyenangkan. Seperti terdampar ke masa yang tak terdefinisikan oleh waktu.
Perahu Bang Sam terus menggerung mengarungi lautan membuat percikan dan buih putih di belakang. Haluan perahu semakin mendekat ke Pulau Sikandang, dengan kecepatan perahu Robin milik Bang Sam, waktu tempuh memakan waktu sekitar 1 jam dari Balai. Sikandang sendiri adalah sebuah pulau yang tiga kali lebih besar dari Balai. Di sini terdapat sebuah bungalo yang dikelola oleh Simon, warga negara Jerman yang kemarin satu boat dengan kami dari Jembatan Tinggi. Tarif penginapan di sini Rp.150.000,-/hari dan untuk makan dikenakan biaya yang sama untuk setiap orang perharinya.
Garis pantai di Sikandang tergolong panjang dengan pasir putih halus dan dasar laut pantai yang sedikit curam dan berterumbu karang. Di belakang bungalo, pohon-pohon tumbuh dengan rapat dan semak belukar yang lebat. Namun pada sisi pantai yang lain ada banyak lokasi yang sangat cocok untuk lokasi berkemah. Penjaga bungalo adalah seorang pria lokal, dia sedang duduk di teras bungalo memperhatikan perahu kami yang merapat ke pantai.
Sebelum tiba di Sikandang, kami mampir sebentar di Pulau Biawak. Pulau kecil yang cantik ini tak berpenghuni. Aku pikir, sesuai namanya pasti pulau ini dihuni oleh biawak, namun aku tak melihat seekor biawak pun di sini. Seperti pulau-pulau kecil yang lain, daratan pulau ini didominasi oleh pohon-pohon kelapa dan perdu berdaun lebar yang menjadi tempat tinggal berbagai macam serangga. Kumbang-kumbang terbang mengitari pucuk-pucuk daun dan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain. Di bawah sebuah ranting, seekor laba-laba sedang membalut mangsa barunya.
Setelah Biawak dan Sikandang, kami bertolak ke Pulau Balong yang hanya dihuni oleh satu keluarga. Mereka adalah penjaga kebun kelapa yang buahnya dijual dalam bentuk kopra yang diangkut setiap minggunya ke Pulau Balai. Kebanyakan para penjaga kebun yang menempati beberapa pulau kosong berasal dari Nias. Orang-orang Nias sendiri telah hidup lama sekali di kepulauan ini. Pulau Tuanku misalnya, adalah pulau dengan mayoritas penduduk yang berasal dari Pulau Nias. Beberapa dari mereka telah berbaur dengan masyarakat di pulau lain dan hidup dengan rukun meski berbeda suku dan agama.
Dari Balong, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Tailana. Sebuah pulau kecil nan menawan ini juga menyuguhkan keindahan pantai yang tak kalah cantik dengan pulau-pulau sebelumnya. Sebuah penginapan yang terdiri dari 4 bungalo berdiri di dekat pantai. Menurut informasi dari Bang Sam, bungalo ini hanya buka ketika musim liburan saja. Saat aku tiba di sini, bungalo menjadi tempat bermain anak-anak penjaga kebun yang sepertinya kurang cakap berbahasa Indonesia.
Sudah lewat tengah hari, kami kembali ke perahu dan bergerak ke Pulau Orongan. Pulau ini juga dihuni satu keluarga yang tinggal di sebuah pondok kecil. Vegetasi di Orongan lumayan lebat dan variatif. Kami berjalan mengikuti garis pantai yang berkelok-kelok dan berhenti di bawah rindang kelapa gading. Pasir putih menjadi tikar yang tergelar alami dengan angin sepoi-sepoi yang membuat mata semakin berat setelah menyantap makan siang. Nasi putih dengan ikan asin goreng balado siang itu benar-benar nikmat sekali!

Gerimis mulai turun ketika kami meninggalkan Orongan. Karenanya Bang Sam segera mengantarkan kami ke Pulau Asok yang berjarak tempuh sekitar 20 menit. Disinilah kami mendirikan tenda dan berkemah. Aku dan Bang Tekno cepat-cepat membongkar muatan perahu ke bawah pohon kelapa dan segera mendirikan kemah. Setelah semua beres, Bang Sam kembali pulang ke Balai dengan pesanan nasi bungkus untuk besok siang.
Laut di depan pantai masih terlihat biru dan bening meski mendung berarak di atasnya. Permukaannya beriak ditetesi hujan yang semakin lebat dan suhu udara berubah menjadi semakin dingin. Aku melompat dan membenamkan diri ke dalam laut yang segera mengusir rasa dingin itu. Berenang di laut ketika hujan bagiku memberikan efek yang mampu merelaksasi tubuh dan pikiran. Rasanya begitu bebas dan lepas. Menikmati tiap tetes air dan membiarkannya membasuh muka. Rasa letih larut serta ke dalam laut.
Hujan berhenti sejenak seolah ingin memberiku kesempatan untuk menikmati pemandangan langit yang menakjubkan malam itu. Langit gelap bertabur bintang dan nebula-nebula yang terlihat seperti sebaran debu yang bercahaya terlihat begitu jelas. Menurutku, spektakuler adalah sebutan yang tepat untuk pemandangan malam itu. Pemandangan yang tidak akan pernah kita temukan lagi di kota.
Malam belum larut benar. Bintang-bintang kembali ditutupi awan dan langit kembali bergemuruh. Tak lama kemudian hujan kembali runtuh dan aku bergegas memasuk ke dalam tenda. Cuaca yang dingin membuat kantuk menyerang lebih cepat. Aku dan Bang Tekno segera pulas setelah tak sanggup lagi menahan kuap.
jadi pengen kesana..
Oww nge-trip nya bareng Om @Lostpacker to…
edun ini pulau, semoga someday bisa kesini. amien!!
bro ini keren bro