Bermalam Minggu di Tengah Hujan dan Badai

Terakhir kali aku berkemah dulu itu ketika mengikuti ekskul Pramuka waktu kelas 1 SMP. Sudah sepuluh tahun lebih dan pengalamannya yang bisa kuingat hanya sebatas minta tandatangan senior, disuruh push-up, main bola dangdut sambil hujan-hujanan, dan mandi di aliran sungai dari pegunungan Leuser yang super dingin. Di kala itu aku dan para anak-anak bawang lainnya belum diajarkan bagaimana bertahan di tengah hutan, hujan dan badai. Semua dijaga dan diatur oleh kakak pembina. Pelajaran kecil penting ini baru aku rasakan di hari sabtu tanggal 7 Juli lalu. Meski cuma semalam, aku belajar banyak hal dari dari alam.

Pantai Lhok Mata Ie dan di depan sana adalah Pulau Bunta yang tak berpenghuni.

Seperti yang pernah aku ceritakan di postingan terdahulu (bisa baca di sini) kami  bertiga sudah berencana untuk berkemah di Ujong Pancu, yaitu sebuah kampung di kabupaten Aceh Besar. Lokasi ini berpotensi menjadi salah satu tujuan Aceh tourism baik lokal maupun domestik. Sesuai namanya, Ujong yang berarti ujung merupakan bagian paling ujung pulau Sumatra. Ada 2 peternakan ayam yang berbatasan langsung dengan jalan beraspal di pinggir pantai. Tempat ini dijadikan starting point dan sebagai tempat parkir orang-orang yang pergi berkemah dan para pemancing. Jika musim hujan, bau kotoran ayam yang basah menguar menyesakkan dada.

Perjalanan menyusuri jalan setapak kali ini sedikit sama saat kami lalui sebulan yang lalu. Sedikit becek. Tapi kali ini dengan beban yang lebih banyak. Sebuah tenda berkapasitas 2-3 orang, matras, jas hujan, sebuah headlamp jadul yang gara-garanya aku di-bully semalam suntuk, air minum, dan…tiga bungkus nasi untuk makan malam. Ya, kami memutuskan untuk tidak memasak di lokasi berkemah karena cuaca yang sering hujan, pasti sulit mencari kayu kering. Padahal akan makin seru jika kami bisa memasak nasi dan mi instan di depan tenda. Tapi untuk pertama kalinya setelah lebih sepuluh tahun tidak berkemah, modal seadanya ini sudah cukup untuk bertahan selama semalam di tengah hujan dan badai.

Beban yang tak seberapa berat pun ternyata cukup memeras keringat. Ditambah lagi dengan jalanan yang berlumpur sedikit menghambat langkah dan lumpur coklat terasa dingin dan licin di kaki. Rimbunnya semak di kedua sisi jalan setapak melibas kulit kaki yang tak tertutup celana. Perjalanan kami juga ditingkahi oleh teriakan nyaring monyet-monyet dari atas pohon dan babi-babi dari balik pepohonan berlumut yang dari kejauhan terdengar seperti auman harimau.

Menuju Lhok Mata Ie

Kami beristirahat sejenak di tempat pemberhentian yang letaknya tepat di puncak bukit. Sebuah tungku dari batu dan papan pengingat untuk tidak membuang sampah berdiri oleng di sana. Sementara kami melepas lelah, beberapa orang pencari rotan yang terdiri dari ibu-ibu paruh baya melintas. Segulung besar rotan berwarna putih kekuningan mereka yang angkut di kepala. Setelahnya diikuti serombongan pemancing dan satu keluarga yang lewat dan memberi salam.

Kami tidak berlama-lama di tempat pemberhentian tadi karena hari semakin sore. Laju langkah semakin cepat karena medan jalan yang menurun, melewati padang ilalang dan kolam mata air pertama yang berwarna hitam. Ketika sampai di mata air kedua, semangat semakin menderu karena setelah turunan terakhir ini kami akan tiba di pantai Lhok Mata Ie. Dari sini sudah terdengar suara riuh orang tertawa di antara deburan ombak.

Tiba di pantai dan excited mau mendirikan kemah. (:

Dua buah tenda sudah berdiri di atas dataran berumput di dekat pantai karang saat kami tiba. Ada sekitar 15an orang. Kami memilih tempat yang agak lebih dekat ke pantai dan mendirikan tenda di sana dengan bantuan foto-foto panduan dari handphone Dika. Aku yang belum pernah mendirikan tenda benar-benar blank, tidak tahu harus memegang apa. Ini benar-benar pengalaman baru. Mengabaikan rasa malu pada rombongan lain akhirnya tenda berwarna oranye kami berdiri dengan sukses. :D

Ternyata memasang tenda itu mudah. Apalagi jika dipasang oleh mereka berdua. lol

Jam 6 sore, satu rombongan lagi datang dan mendirikan dua tenda persis di tepi pantai. Beberapa kali tenda mereka hampir diterbangkan angin yang memaksa mereka untuk memindahkannya beberapa meter dari tempat semula ke balik pohon.

Rombongan terakhir yang tiba di pantai.

Cahaya matahari semakin redup, awan-awan hitam mulai bergayut di atas Pulau Bunta. Aku segera melepas pakaian dan berlari ke dalam laut. Berenang dan mengejar ikan bunta dan todak. Lagi-lagi aku merasakan sensasi yang berbeda setiap kali berenang di laut dengan cuaca yang tidak cerah seperti ini. Berenang bersama-sama ikan dan mendengar suara dari gesekan-gesekan karang patah ketika ombak pecah. Suara gemericik halus yang menenangkan. (sigh)

Menanti magrib di depan tenda sambil memperhatikan boat-boat nelayan yang lalu lalang di depan Pulau Bunta.

Hari sudah sepenuhnya malam. Kami keluar dari tenda memungut sampah-sampah plastik sebagai pengganti minyak untuk membakar ranting-ranting pohon yang lumayan kering untuk dijadikan api unggun. Kalian bisa menduga kalau tidak ada ranting yang terbakar. Kami memandang tumpukan ranting itu dengan tatapan putus asa. Lalu anak-anak dari rombongan sebelah datang membawa karet ban dan membantu membakarnya. Nah, dapat ilmu lagi kan? Plus kami juga dikasih bocoran beberapa lokasi kemping dan satu lokasi rahasia yang sepertinya hanya anak-anak kemping yang tahu lokasinya. Sip!

Menghangatkan diri di depan api unggun sebelum dipadamkan hujan.

Malam itu hujan turun lebat disertai angin kencang. Air merembes ke dalam dari sela-sela jahitan retsleting pintu tenda. Di luar sana suara ombak pecah semakin beringas, suara hujan menghantam tenda terdengar keras, sekeras suara tawa kami yang pecah karena kondisi cuaca yang seharusnya membuat kami cemas. Sejenak kami terdiam, bertatap-tatapan dan kembali tertawa. Bukan menertawakan alam yang seenaknya berlaku, tapi menertawakan diri sendiri yang belagu.

We’re building it up to break it back down, we’re building it up to burn it down, we can’t wait to burn it to the ground – Linkin Park

Ditengah terpaan badai dan dinginnya rembesan air membuatku sadar, alam bukan untuk ditaklukkan, tapi diri sendirilah yang harus dikuasai.

Perlahan hujan mereda tapi tak sepenuhnya berhenti. Kami keluar dari hangatnya tenda dan berdiri menghadap laut. Samar-samar Pulau Bunta terlihat hitam dari kejauhan. Di sisi kanannya lampu-lampu jermal dan boat nelayan berbinar keemasan. Dedaunan basah gemerlap ditimpa cahaya bulan yang menembus awan-awan gelap tipis. Angin basah dari laut bertiup membuat malam minggu semakin dingin dan syahdu. Kami berjalan melewati pantai dan menaiki tebing-tebing batu dan duduk beberapa lama di sana. Memandangi kemah-kemah yang berguncang ditiup angin dan orang-orang yang sibuk memasak.

Hujan kembali turun lebat dan kami bisa tidur nyenyak meski air terus merembes. Pada dini hari, aku terbangun karena air dingin jatuh mengenai badan. Lalu kembali tertidur setelah mendengar angin melolong dan gemerisik daun dan ranting. Sempat terpikir bagaimana kabar kawan-kawan yang berkemah di belakang kami. Kemahnya hanya selapis terpal untuk atap saja. Satu sisi yang terbuka melawan arah angin. Tapi rasa kantuk terlalu berat dan aku kembali pulas di antara Kindi dan rembesan air hujan.

Jam 7 pagi.

Gelap mulai menyingsing dan satu-persatu orang mulai keluar dari kemahnya masing-masing. Semua dengan raut wajah seperti-tidak-terjadi apa-apa-tadi-malam dan saling lempar senyum dan sapa. Aku berjalan pelan-pelan di atas rumput dan sesekali menarik nafas dalam-dalam, menikmati sensasi udara dingin nan segar dan gelitik rumput-rumput basah di telapak kaki. Aku memandang ke depan, Pulau Bunta tertutup kabut dan lampu-lampu jermal dan boat sudah menghilang. Perhatianku teralih ke laut, rintik hujan di permukaan hijau tosca kembali menarik perhatian. Sekejap kemudian aku sudah berada di dalamnya, hilang dan timbul. Memang tidak ada terumbu karang seindah seperti di Iboih, Pulau Weh, karang-karang di sini banyak yang mengalami pemutihan sedangkan yang lainnya berwarna kecoklatan. Di sinilah menjadi tempat bermainnya ikan seperti ikan bunta, todak, ikan tanda, pari, dan ikan-ikan berwarna cerah yang tak kuketahui  namanya. Hujan turun semakin lebat, Dika dan Kindi ikut masuk ke laut, kawan-kawan seperkemahan lain bergerombol di tebing batu dan memancing.

Menikmati hujan di pagi hari sambil berenang dan menyaksikan ikan-ikan berenang. Nikmat sekali.

Ah, jika saja kegiatan seperti ini bisa aku lakukan setiap akhir minggu, takkan ada waktu yang habis percuma di warung kopi atau di kamar kos yang sepi. Dan hati ini akan selalu mengucap syukur kepada tuhan atas anugrahNya kepadaku dan orang-orang yang tak pernah merasa sepi di tengah keterasingan seperti saat ini.

Benar sekali jika ada yang bilang kebahagiaan itu mesti dicari, ia tidak diwariskan pun diberi. Ia semacam kepingan diri yang menanti untuk kembali ditemui. Aku bersama dua orang kawan yang luar biasa ini, menemukan salah satu kepinganku di Lhok Mata Ie. Karena kami adalah sang pencari.

~~~~~~~~

Baca juga tulisan dua kawanku di sini:

Kindi: Bermalam Minggu di Lhok Mata Ie Banda Aceh Bersama Para Jombloers

Dika: Camping Ala Amatir Campinger: Lhok Mata Ie

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

47 tanggapan untuk “Bermalam Minggu di Tengah Hujan dan Badai”

  1. Tempatnya kayaknya masih alami banget, tapi enggak juga ding kalau liat batu karangnya yang sudah mulai rusak..
    Tapi pemandangan seperti ini memang indah sih, meski harus melewati hutan dan badai,,

    1. Iya, Bang. Sepertinya pernah ada pemboman di sana untuk menangkap ikan, tapi setelah beberapa kali ke sana sudah tidak ada lagi aktifitas merusak terumbu karang seperti itu lagi. Dan tempatnya memang indah sekali. Keren lah.. :)

  2. paling berkesan pas tidur di tenda yang mungil berdesakan dalam cuaca angin dan hujan, air nya merembes ke dalam tenda trus sambil bertatapan kemudian tertawa bersama, sweet the moment

  3. Hayoo ada Shalat tu gak? kayaknya gak disindir apapun mengenai ibadah kepada yang telah menciptkan dan memberi nikmat kepada kita.. hhohoh

    :D

      1. oh gitu yaa. emang nikmat betul ya tidur dalam tenda ketika hujan. hohoh .. namun sebaiknya lain laksanakanlah shalat walau apapun yang menghalanginya. jaman dulu umatmuslim shalat walauppun saat akan perang. orang sakit yang masih sadarkan diri aja masih wajib shalat. heheh :D

        shalat kn wajib masbro :D,… oke deh.. keep update ya. semoga sehat selalu. :)

  4. Hai ceu maman….selamat yaaa…akir’a blog yey ada yg copas sebagai bahan berita ϑ salah satu web berita ϑ Aceh…itu artinya…qe pantes jd wartawan… Hihihiihihiiii…
    Tapiiii…yang sedihnya aq ga diajak… (╥﹏╥)

      1. kalo abg baca sih, gaya menulis Citra itu serius tapi sesekali bercanda. Bagus juga asal tetap luwes yah. Maksudnya, penempatan ‘candaan’ yg pas bakal bikin cerita jadi lebih menarik. Gitu. :)

          1. Tergantung Citra-nya aja. Kalau lagi pengen becanda, ya becanda. Lagi pengen serius ya serius. Yang penting ceritanya tersampaikan. :)

  5. Kelihatannya bawah lautnya pernah terkena coral-bleaching ya atau rusak karena nelayan? Kondisi karangnya sudah kurang bagus lagi. Semoga bisa recover di kemudian hari … Seru juga nih kayaknya acara kempingnya.

                1. Siaaap…ntar di sana juga bisa aku kenalin ke kawan-kawan. Siapa tau bisa jalan bareng atau ikut trip salah satu kawan yang bikin paket wisata ke pulau-pulau kecil yang pernah aku tulis di blog. Kabarin aja ya… :D

                    1. Siaaaap, tenang kalau itu sih. Kabar-kabarin aja kalau mau ke Bogor. Yang penting jadwalnya cocok. Soalnya aku tiap bulannya cuma dua minggu di Bogor, sisanya aku kerja di lepas pantai Natuna hehe :-)

  6. hahaha kalau ingat hujan dan badai, jd ngat juga pengalaman naik gunung sindoro, yg waktu itu terjebak hujan badai, sampai ada temenku yg kepelset dan kakinya kesleo dan ada yg kena hipotermia.. yaahhh

Tinggalkan Balasan ke hevi Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.