Perjalanan ke Balawan, Bondowoso

Banyak hal-hal yang tak terduga ketika kita berada di suatu daerah asing dan mengalami kesusahan. Kenyataan yang kita temukan mengenyahkan semua ekspektasi-ekspektasi yang sudah dibangun sebelum tiba. Apalagi jika itu menyangkut sebuah perjalanan yang sudah direncana sedemikian rupa namun harus mengalami perubahan. Di saat-saat genting seperti ini pertolongan datang dengan cara yang tidak biasa. Tawaran ke Ijen.

Masih teringat jelas ketika obrolan dengan Pak Arman pada malam hari itu di lobi hotel. Aku baru saja tiba di Probolinggo setelah empat jam menempuh perjalanan dari Bandara Juanda, Surabaya. Berawal dari pertanyaanku tentang transportasi menuju Cemoro Lawang besok subuh, aku dan seorang kawan butuh angkot supaya bisa mengunjungi Gunung Bromo dan bertanya ke beliau perihal transportasi dan segala macamnya. Pak Arman memberikan beberapa alternatif. Pertama, kami harus mencarter angkot karena tidak ada yang naik dari Probolinggo ke Cemoro Lawang pada subuh hari. Kedua, naik motor. Ide ini kedengaran sangat menantang. Tapi resikonya juga tak bisa kami abaikan; bocor ban, mogok, terperosok di dalam pasir. Kedua alternatif ini berongkos mahal.

Terakhir, kami ditawarkan untuk ikut ke Kawah Ijen dengan empat orang turis asal Holland. Paketnya adalah Pananjakan – Bromo – Ijen – Pelabuhan Ketapang. Lima ratus ribu rupiah saja untuk ke semua tempat tadi. Angka itu terus terngiang-ngiang dan aku merasa itu masih terlalu mahal karena aku belum tau Kawah Ijen itu seperti apa dan apa yang akan aku temui di sana nanti. Kawah Ijen di bayanganku hanyalah para penambang dan pengangkut belerang yang sibuk bekerja. Itu saja, tak lebih dan tak kurang.

Awalnya semua sangat meragukan bagiku. Tak ada referensi yang dapat membantu untuk mengambil keputusan. Angka segitu itu kupikir masih terlalu besar dan alternatif lain juga masih terlalu mahal. Dipikir-pikir, kapan lagi coba aku bisa mengenal Kawah Ijen tanpa pergi melihat langsung ke sana? Belum tentu tahun depan bisa. Kalaupun bisa, tawaran seperti ini tak mungkin datang untuk kedua kalinya. Lalu aku menawar-nawar supaya bisa dapat diskonan sedikit lagi tapi beliau tetap bertahan. Tapi memang harga segitu sudah sangat murah. Ini baru aku ketahui ketika malam itu selesai makan malam lalu pergi berjalan-jalan. Aku memasuki sebuah kantor agen travel yang pemiliknya mirip sekali dengan Agustinus Wibowo :D . Pada brosur untuk biaya perorangnya hanya untuk ke Ijen saja sebesar 475 ribu. Saat itu juga ragu-ragu ku lenyap!

Sedikit tentang Probolinggo, aku memendam rasa iri sama kota kecil ini. Lalu lintasnya tertib, kotanya bersih dan banyak pohon pula. Angkotnya beroperasi 24 jam. Hotel bertebaran dan agen-agen wisata yang banyak dijumpai di pinggir jalan. Tidak melulu melihat bangunan kantor, pertokoan dan rumah namun diselingi dengan kebun-kebun jagung dan danau kecil yang dikelilingi pepohonan. Adem.

Selesai di Bromo, kami kembali ke hotel Moronyoto untuk check out lalu berangkat ke Balawan, Bondowoso. Seperti yang semalam diceritakan oleh Pak Arman, pemilik hotel Moronyoto, kami akan menginap di sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sudah diubah fungsi menjadi penginapan. Catimore Homestay namanya. Dari Probolinggo ke Balawan dibutuhkan waktu hampir 6 jam dengan mobil L300. Di beberapa kilometer kami mendapati kondisi jalan yang rusak parah, aspal yang sepenuhnya sudah tergantikan dengan bebatuan dan tanah.

Sepanjang jalan mulai dari kota Bondowoso hingga ke area PTPN kita disajikan dengan pemandangan hutan jati, kebun tembakau, kebun tebu, hutan jati lagi, kebun tembakau lagi lalu pohon-pohon cemara yang disadap dengan batok-batok penampung getah menempel di dekat akar. Hingga memasuki hutan-hutan lebat yang bagaikan menerobos lorong waktu yang membawa kami ke masa prasejarah. Pohon-pohon pakis tinggi dengan pucuk pelepah muda hijau yang melengkung dan berbulu tumbuh sendiri-sendiri di tengah-tengah semak atau menerobos bebas melampaui pucuk dedaunan pohon lain. Pohon-pohon tinggi dengan kulit kayu berwarna putih dari kejauhan. Bukit-bukit hijau yang seperti saling mendaki satu sama lain dan yang paling tinggi hilang dikepung kabut lalu menyatu dengan langit putih kelabu. Dedaunan hijau yang berkilat basah setelah diguyur hujan lebat. Hanya suara uir-uir yang memecah keheningan hutan dan mengantarkan kami ke batas hutan dengan perkebunan kopi.

Jalan aspal kembali kami lewati. Pohon-pohon di kiri kanan jalan berangsur lebih teratur. Kami sudah memasuki area perkebunan PTPN XII. Sambutan pertama adalah barisan pohon kopi yang tumbuh rendah. Kurang dari semeter tingginya. Teman seperjalanan kami, seorang ibu asal Belanda begitu terpesona dengan banyak pepohonan selama perjalanan ini. Beliau berkali-kali menyetop sopir untuk memoto rumpun tebu, kopi dan pakis dan sangat mengagumi sapi.

Pukul 5 sore kami tiba di Balawan. Kiri kanan jalan utama kini diapit deretan rumah-rumah berdinding tripleks berwarna putih dengan taman-taman kecil bersih yang dihiasi berbagai macam sayur dan bunga. Hampir semua rumah di sini memiliki kolam ikan kecil di tengah-tengah tamannya. Sederhana dan asri.

Catimore Homestay sendiri berada di paling ujung jalan setelah melewati pabrik kopi. Sebuah bangunan peninggalan Belanda yang kemudian difungsikan menjadi penginapan. Kamar kami adalah bangunan membanjar yang terpisah dari bangunan utama yang asli peninggalan. Sebuah kolam, hot spring, kolam ikan hias dan ruang makan terbuka memisahkan bangunan tua dengan banjaran kamar-kamar yang kami tempati.

Catimore Homestay. Foto oleh Ari Murdiyanto

Hari masih lumayan terang namun akan menjadi cepat gelap karena langit memutih ditutup awan. Aku melangkahkan kaki dengan cepat menuruni tebing basah berbatu sebagai jalan pintas agar bisa cepat sampai ke air terjun Balawan. Sebuah jembatan kecil melintasi sebuah aliran sungai kecil dan dilanjutkan dengan menaiki tangga yang bergerak memutar memasuki hutan dan tebing yang suram. Sebuah kolam alami kecil penampung air panas berwarna kuning kemerah-merahan. Airnya mengucur keluar dari sebuah pipa dalam tanah dan mengalir dari bak penampungan dan menyatu ke dalam lumpur. Aliran sungai tadi terputus di sebuah tebing setinggi lebih kurang 10 meter dan menimpa batu-batu berkapur di bawahnya. Pada sisi sebelahnya dinding tebing  yang lebih tinggi sepenuhnya tertutupi lumut hijau yang selalu lembab. Jika saja kami tiba lebih cepat ketika hari masih terang, keindahannya pasti lebih dapat terlihat. Aku berbalik pulang menaiki undakan-undakan melewati sebuah pohon besar dan berpapasan dengan beberapa turis asing yang baru saja tiba.

Ketika hari mulai gelap, suasana hening dan udara yang sejuk mulai menyergap. Hanya suara gemericik air dari pancuran di tengah kolam dan suara kecipak ikan dalam kawanan. Ditemani kopi panas Balawan sambil duduk di teras dan menyaksikan puluhan ekor ikan mas itu lemah gemulai berenang di dalam kolam. Suasana begitu tenang dan menentramkan seperti menjadi obat untuk rasa letih.

Malam terus berlalu dan semakin dingin. Dua gelas jus stroberi segar makin melayukan mata dan sebagai pengingat sudah waktunya tidur untuk keberangkatan besok subuh ke Kawah Ijen.

Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

6 tanggapan untuk “Perjalanan ke Balawan, Bondowoso”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: