Bromo!

Jeep yang aku tumpangi bersama lima penumpang lainnya bergerak turun dari parkiran Pananjakan menuju Bromo. Matahari sudah meninggi dan mengusir hawa dingin yang tadi membuat jari-jari tanganku yang terbuka hampir kebas. Di depan ku duduk sepasang bule Amerika yang begitu tidak sabaran untuk segera tiba di Gunung Bromo. Di depan di samping supir, duduk dalam diam dua orang perempuan asal Switzerland. Ku perhatikan, hampir semua turis dari luar negeri ini hanya berdua-dua saja. Jarang sekali yang lebih dari itu. Dan salah satu dari mereka pasti membawa kitab suci Lonely Planet ke mana-mana. (:

Jalanan mendaki, menurun dan berkelok melewati kebun-kebun hijau segar dan rumah penduduk. Beberapa rumah yang berhalaman meskipun hanya seluas 1×1 meter pun ditanami sayur-sayuran seperti bawang. Di pinggir-pinggir jalan yang beraspal bertumpuk pasir-pasir hasil erupsi Bromo.

Jalan beraspal putus dan kami menyusuri padang pasir keras bergelombang dan berkilau memantulkan kembali sinar matahari pagi. Palang-palang penunjuk jalan berdiri tegak dan menuntun jeep hingga ke pagar-pagar besi sebagai pembatas tempat pemberhentian kami dan dilanjutkan berjalan kaki sejauh lebih kurang 2 kilometer berjalan kaki hingga ke kaki gunung Bromo.

Kali pertama menjejakkan kaki ke tanah, kami segera diberondong dengan tawaran menyewa kuda oleh pemiliknya. Aroma khas kuda tercium. Kulit-kulit kuda yang berbulu di dekatku berkilat-kilat seperti diminyaki. Pria-pria Tengger dengan ciri khas mereka yang kemana-mana selalu terlihat dengan kain sarung menggantung di leher. Kalau mereka menggunakannya untuk menahan udara dingin, aku menyiapkannya untuk digunakan sebagai penahan badai pasir di puncak Bromo dan sekaligus juga berfungsi untuk menahan angin dingin yang masuk dari kerah baju.

Gunung Batok. Terlihat hijau pada sisi depan ini dan tandus di sisi lainnya.

Lanjutkan membaca “Bromo!”

Iklan
%d blogger menyukai ini: