Pukul 3.50 WIB waktu di Sibigo
Kami bertolak kembali ke Sinabang dari kantor Sibigo dengan rasa puas hati. Senang karena telah berhasil melewati medan yang sulit.
Belasan kilometer kami lalui dan rasanya begitu cepat melewati jalan-jalan yang tadinya dilewati. Rumah-rumah bantuan yang mungil, rumah-rumah papan yang hampir ambruk tapi masih dihuni, tower BTS yang tidak berfungsi lagi karena belum ada aliran listrik di daerah itu. Warga hanya diberi bantuan genset untuk penerangan pada malam hari.
Kami tiba di hutan lebat di kiri-kanan jalan yang belum diaspal, ban motor Bang Acon bocor! Dan parahnya ban belakang pula yang bocor. Karena pemukiman penduduk masih sangat jauh, pasti akan sangat menguras tenaga dan waktu jika harus mendorong. Bang Acon terus mengendarai motor tapi duduknya dimajukan ke depan-di atas tangki bensin. Beuuh, pasti posisi itu sangat susah baginya karena harus mendaki dan menuruni beberapa bukit yang berbatu-batu dan berlubang dan becek, ditambah lagi dengan berat badan yang overweight.
Seseorang yang kami temui di jalan memberitahukan kalau ada bengkel tambal ban sekitar 300 meter di belokan yang tadi sudah terlewati. Aku membantu Bang Acon mendorong motor hingga sampai ke bengkelnya.
Setengah jam kemudian, berpeluh keringat aku mendorong motor mendaki bukit dan memasuki perkampungan dan menemukan bengkel tersebut. Alhamdulillah, cuma bocor halus dan kami bisa jalan lagi setelah ditambal.
Penderitaan ternyata belum juga usai. Beberapa kilometer kemudian giliran motor yang kutumpangi pula yang bocor. Ban belakang! Dan lokasinya pun tidak tanggung-tanggung. Tepat di tengah-tengah perbukitan kebun kelapa sawit! Aku harus jogging mendaki dua bukit. Terakhir baru kutahu kalau bukit tempat aku jogging itu terkenal angker.
Cahaya matahari mulai pudar. Saat magrib kami menemukan bengkel di tepi jalan tak beraspal. Sebuah rumah papan yang dibangun di tepi tebing jalan. Di belakangnya terlihat sebuah teluk mungil dan beberapa motor diparkir di tepi pantainya. Terlihat beberapa orang sedang menarik-narik tali pancing.
Itu foto motor kami yang bocor. Kata Abang Tukang Tambal, ban dalamnya harus diganti karena besi pentilnya lepas dari karet ban. Kami menunggu tukang tambal itu membeli ban di bengkel lain selama setengah jam dalam gelap malam. Satu-satunya penerangan adalah dari lampu strongkeng yang dikerubuti anai-anai dan serangga malam.
Sekembalinya dari bengkel untuk memblei ban dalam, dia bercerita bahwa baru saja melihat ular sebesar paha di dalam rawa.
Hilanglah semangat kami mendengar kabar tak enak itu. Hari sudah malam dan perjalanan masih begitu jauh. Entah rintangan seperti apa lagi yang akan kami termui nanti. Mendengar berita itu membuat nyali kami ciut. Tapi tak bisa pula kami berlama-lama di sana. Harus segera pulang setelah ban siap terpasang.
Kami menembus gelap malam dan melalui jalan rusak yang cukup parah dan licin. Udara dingin kadang-kadang menyergap kemudian hawa hangat merayap menyelubungi kulit. Suasana sering mencekam karena tak ada yang berani lagi mengeluarkan candaan. Entah karena tenaga yang tinggal sisa-sisa atau termakan oleh cerita seram yang tadi didengar di bengkel.
Berjam-jam kami terus berjuang di gelap malam dengan beberapa kerusakan pada spare part motor. Hingga akhirnya memasuki zona aman yaitu daerah yang berpenduduk sekalipun debu tebal beterbangan ke segala penjuru. Sedikit melegakan.
Jam 9 malam kami tiba di Sinabang. Alhamdulillah. Petualangan yang sebenarnya telah usai malam itu. Hahhh…Akhirnya rasa penasaran itu pupus juga. Terobati sudah.