Di sebuah desa antah berantah, puluhan kilometer dari ibukota kecamatan yang memiliki sarana kesehatan dan pendidikan dan agama. Nun jauh di sana. Antara Sinabang dan Sibigo, sebuah pondok papan berdiri di pinggir jalan yang menjorok di atas jurang dangkal. Sebuah keluarga sederhana hidup dari menangkap ikan dan menambal ban. Penerangan dari lampu strongkeng dan selebihnya hanya gelap belaka, daerah ini belum tersentuh jaringan listrik sama sekali. Setiap malam mereka diserang gelap dan nyamuk serta serangga lainnya, lalu siang hari mereka diterpa debu jalan yang tak kunjung beraspal, pacat yang menggeliat di atas bukit di depan rumah mereka, asap dari tungku yang menyesakkan dada, lalu ombak laut ketika sang bapak pergi melaut ditemani anak atau istrinya. Setiap malam dan terus bergantian.
Bertahun anak-anak ini melewati masa-masa kecil mereka bersama orang tua yang berpindah-pindah dari Rantau Prapat, Sibolga, Medan, Nias lalu kembali terdampar di kampung halaman bapak dan ibunya, Simeulue. Kerasnya hidup, menempa mereka menjadi pribadi yang kuat nyaris tak takut pada apa dan siapapun.
Setiap hari anak-anak itu diboncengi hingga ke sekolah yang berjarak puluhan kilometer, menghirup debu dan dipanggang terik matahari dan menempuh perjalanan berbahaya. Pulang sekolah, mereka bermain bersama. Hanya berempat atau bertiga jika si sulung harus membantu ayah melaut. Setiap hari.
Mendengar cerita anak-anak ini, seperti melihat foto-foto yang berserak dari albumnya.
“Kau lahir di Medan!”
“Aku lahir di Rantau!”
“Abangku lahir di Sibolga!”
“Kalau aku lahir di Nias!”