Meulaboh u Meulaboh

Aku menarik gas kencang ketika lampu berubah hijau di pertigaan Setui menuju Lhoknga. Lurus. Lurus saja kuarahkan motorku. Lalu lampu merah lagi dan hijau lalu kuning.
Angin laut berusaha merebahkan tubuhku yang melaju kencang dengan Supra x 125 R merah.

Jalanan aspal abu-abu berganti hitam dan berganti dengan tanah keras yang berbatu. Backpack sengaja kutaruh di depan supaya punggungku tidak cedera menahan guncangan yang akan terjadi selama perjalanan Banda Aceh – Meulaboh ini.

Leupung. Mungkin. Aku penderita lupa yang bisa dikatakan parah. Terlebih lagi jika mengingat nama tempat dan orang. Jalan utama di daerah ini belum beraspal sedikitpun. Hanya tanah merah keras yang dipadati batu-batu kecil dan sengaja dibuat gundukan seperti kuburan setiap melintasi pemukiman penduduk.

Semakin lama aku terhempas di jalanan berbatu dan berlubang-lubang itu semakin cantik pula pemandangan yang aku temukan.
Juga bertambah pula pengalamanku melewati daerah-daerah baru ini. Bukan hanya itu, aku juga belajar banyak selama perjalanan ini. Ketidaknyamanan mengajarkanku untuk tidak mengeluh. Resiko membuatku berani. Kesendirian membuatku percaya diri dan optimis. Semua hal yang kulihat, kudengar dan yang kurasa mengajarkanku banyak hal-hal penting.

Lamno

Hal pertama yang terlintas ketika memasuki Lamno adalah jalan baru yang menghubungi daerah ini ke Calang. Sama seperti di Leupung. Tanah keras merah berbatu dan becek. Dari kejauhan dapat kulihat papan petunjuk berwarna hijau bertuliskan Meulaboh yang dilatarbelakangi kubah mesjid di Keudee Lamno. Lalu aku belok kiri dan semua yang berada di atas motor kembali berguncang.

Puluhan kilometer terlewati. Juga para pekerja yang sedang terus mengeraskan jalan dengan alat-alat berat. Semakin jauh dari Lamno sinar matahari semakin terik. Aku telah meninggalkan pedesaan berhawa sejuk yang rimbun akan pepohonan di belakang sana. Tak sempat ku menoleh ke belakang. Jalanan yang kutempuh belum juga mulus dan matahari terus menyemangatiku dengan cahayanya membuat punggung telapak tanganku menjadi hitam kemerahan dan mengeluarkan bintik-bintik keringat.

Masih di jalanan berbatu dan bertanah merah, aku berdampingan dengan pantai yang meniupkan udara asin yang menyegarkan kepala dan dadaku. Beberapa ekor kumbang menabrak kaca helmku dan perutnya pecah dan meninggalkan cairan coklat disana. Seekor kumbang mungil berwarna hitam dan bintik-bintik kuning hinggap atau lebih tepatnya terdampar di atas tutup ranselku. Bergetar hebat melawan angin dengan kaki-kakinya yang rapuh. Terus bergetar selama berpuluh-puluh menit kemudian bersamaku mengendarai Supra X merahku.

Kumbang hitam kuning itu pun menjadi temanku.

Bahkan sampai di Lhok Kruet pun dia menemaniku menghirup debu yang beterbangan dan udara asin yang dihembuskan angin melewati akar-akar pohon yang membusuk. Sesekali kulihat serorang tua melempar jala di sebuah kolam yang terbentuk akibat gelombang tsunami beberapa tahun silam. Beberapa meter darinya seorang bapak hanya dengan kolor dan kaos lengan panjang sedang mengangkat jaring penangkap ikan bersama anak laki-lakinya yang juga berkolor.

Sesekali angin kencang berhembus dari sisi kanan membuat kelopak sayap temanku berkelepak-kelapak tak berdaya tapi masih terus bertahan. Kaki-kakinya yang hitam kecil bergerak menyeret tubuh dan sayap-sayapnya ke sisi kanan tutup ranselku. Perlahan tapi akhirnya dia sampai juga disana. Lalu diam. Lalu pandanganku kembali berkonsentrasi pada jalan yang beraspal. Beberapa lubang berhasil aku elakkan dan acap kali tubuhku terguncang juga karena ngebut di atas lubang-lubang yang tak sempat aku hindari. Perhatianku sering terbagi-bagi ketika melihat pantai dan gunung dan pemukiman penduduk.

Beberapa kali aku mengajak teman kumbangku berbicara. Tapi dia tak pernah menjawabku. Dia masih terus sibuk mempertahankan posisinya. Jalan aspal terputus dan kami melewati jalanan tanah keras merah yang berbatu-batu lagi. Tiang dan kabel listrik juga dengan setia menemani kami. Mereka terpancang kokoh dan meliuk dengan anggun sepanjang jalan yang bertanah keras merah dan berbatu tajam dan beraspal hitam. Mereka tetap kokoh dan anggun dan mengalirkan arus listrik meskipun pemiliknya terus dicaci-maki.

“Betul kan, teman kumbangku? Bagaimana menurutmu PLN itu? Apa mereka lebih baik tutup saja dan menarik kembali tiang-tiang dan kabel yang kokoh dan anggun itu? Apa kau peduli dengan itu semua?”

“Oh, kau pun pasti tak mengerti masalah manusia-manusia itu. Aku juga sering tidak mengerti dan jarang peduli akan masalah-masalah umatku sendiri. Aku lebih sering peduli dengan pantai dan laut, gunung dan pohon, sapi yang memamah makanannya di pinggir jalan, hutan bakau, kambing kurap yang hampir kutabrak, kerambah rusak, perahu-perahu pecah di pantai, jembatan berlubang, tiang dan kabel listrik, aspal hitam, aspal merah, aspal abu-abu dan penjual mie rebus.”

Kumbang hitam kuningku tak pernah bersuara.

Aspal hitam berubah merah karena tanah yang terus dikeruk dari bukit merah yang tinggal setengah. Debunya diterbangkan setiap kali mobil angkutan L300 melintas.Berjam-jam sudah aku meninggalkan keteduhan dan kesejukan Lhong dan Gerutee di belakang sana. Aku ingin lagi menikmati aroma durian yang semerbak di Lhong. Terbayang pula buah-buahnya bergelantungan di pohon di kiri-kanan jalan. Lalu ketenangan di puncak Gerutee sembari di temani kopi dan mie seduh membuatku lapar dan merindukan saat-saat itu.

Temanku. Kumbang hitam kuning itu sudah pergi rupanya. Tanpa pamit. Aku tak sempat berterima kasih padanya atas kesediaanya menemaniku. Padahal aku ingin sekali mengajaknya menaiki rakit penyeberangan dan menunjukkannya dara Aceh yang berdiri diam di samping kiriku. Selintas sosoknya seperti Cut Nyak Dhien yang kulihat di poster yang ditempel di kelas waktu SD dulu.
Gadis itu juga mengendarai Supra X 125 R Merah. Sama seperti punyaku, sama seperti aku. Melewati semua jalan hitam dan merah sendirian tanpa takut.
Kini gadis itu memimpin iringan-iringan sepeda motor. Paling depan. Aku di belakangnya. Sesekali dia atau aku terseok di pasir yang gembur.

Lalu kami sampai di rakit penyeberangan kedua. Menunggu kedatangan rakit yang sedang memuat sebuah mobil pribadi dan beberapa motor lainnya. Banyak orang Jawa di situ. Dan seorang remaja sok tahu yang berbicara dalam bahasa Aceh dan memaki orang Jawa itu.

“Ka leuh koh boh?” suaranya hampir mirip dengan teriakan, cempreng menyakitkan telinga. Lalu kalimat-kalimat lainnya yang membuatku geram. Ingin sekali kubenamkan kepalanya itu ke sungai kuning itu. Supaya kepala dan mulutnya yang kotor itu tercuci bersih oleh air sungai. Aku segera menaiki motorku ke rakit dan meniggalkan bocah itu dengan ocehannya yang tak penting.

Kini sendiri lagi. Dara yang kutemui tadi sudah menghilang dari pandanganku. Aku berharap ada kumbang hitam kuning yang menemaniku. Tapi tiang dan kabel listrik lebih setia mengiringiku sepanjang jalan.

Calang semakin dekat.

Aku memasuki pemukiman yang di kiri kanan jalannya berdiri kios-kios. Di depannya bergelantungan ikan-ikan kering dan asin. Aroma khasnya masih dapat kubaui. Aku tak membaca apapun tentang daerah itu. Namun beberapa hari kemudian aku melihat foto pasar itu di koran. Patek.

Calang semakin dekat.

Ilalang. Bukit merah yang tinggal setengah, masih kutemui juga. Alat-alat berat bersilewaran di atasnya. Truk kuning mondar-mandir di sampingnya. Seekor kupu-kupu kuning terbang zig-zag di atas aspal hitam. Aroma ilalang menyegarkan otakku. Pecahan ombak berwarna putih bersih menyapaku ketika menuruni sebuah bukit. Seiringan off roader melintas. Di kaca depan jeep-jeep itu bertuliskan LANTAK. Aku tak bisa melihat orang-orang yang di dalamnya. Mereka pastilah manusia-manusia pemberani. Aku ingin sekali seperti mereka. Tapi aku hanya punya Honda Supra X 125 R merah. Dan cukuplah ini dulu. Tapi aku juga sama pemberaninya dengan mereka. Juga seperti dara yang serakit denganku tadi. Juga kumbang hitam kuning yang menjadi temanku tadi. Satu persatu dari mereka melewatiku.

Aku tidak berhenti. Belum waktunya kupikir.

Aku semakin dekat dengan Calang. Karena aku terus bergerak 80 kilometer perjam. Meninggalkan rumah-rumah mungil di belakang. Seorang nenek sedang mendorong grek yang dipenuhi tumpukan kayu bakar. Satu lagi aku menemui wanita tangguh. Wow. Aku terpesona melihatnya. Aku memperlambat motorku supaya bisa menyaksikan lebih lama nenek itu. Tapi aku tidak berhenti. Karena Calang semakin dekat.

Dan di Calang lah aku kini. Aku juga tidak berhenti. Karena Meulaboh dua jam perjalanan lagi. Aku melewati Teunom dan memasuki Lhok Bubon dan menaiki rakit lagi menuju Sama Tiga – Seuneubok lalu Meulaboh.

Motorku bergerak lambat sekarang. Teringat kembali perjalanan indah hari ini dan 6 hari lalu. Flashback. Potongan-potongan gambar muncul di dalam pikiranku. Kebutan pemicu adrenalin di sebuah bukit di kawasan Tungkop yang menyebabkan motor terpeleset dan hilang kendali. Terperosok dan terseret ke dalam lubang di pinggir jalan. Tanah yang gembur membuatku juga hampir penyet dilindas alat berat di Lamno.

Meulaboh.

Tak peduli berapa sering aku nyaris mati. Tak peduli berapa sering aku nyaris terluka.
Karena aku sudah di rumah. Meulaboh. Aku akan terus berlabuh di sini. Di pelabuhan ini aku menambatkan hati dan melempar perih sebagai sauh. Meulaboh menerimaku hidup dan menerima matiku.

Iklan

Penulis: Citra Rahman

Blogger cilet-cilet aka blogger ecek-ecek. :D

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: